tirto.id - Anda mungkin sudah bosan mendengar pernyataan yang menegaskan bahwa sepakbola bukan semata-mata tentang kemenangan. Bukan sebatas adu otot dan taktik antara 22 pemain. Bukan pula sekedar gol-gol menit akhir yang membawa kesebelasan menjuarai turnamen maupun terhindar dari kekalahan. Dan bukan juga urusan siapa yang lebih hebat: Messi atau Ronaldo. Sepakbola lebih dari itu: ia serupa perayaan umat manusia tentang cinta dan harapan di tengah kehidupan yang tak baik-baik saja.
Piala Dunia Rusia 2018 yang sudah bergulir hingga babak semifinal merekam dengan baik ungkapan tersebut. Sejauh ini, hajatan di Rusia itu bisa dikata memberikan suguhan yang menarik. Dari juara bertahan, Jerman, yang tersingkir di babak awal dan menempati posisi buncit klasemen grup, negara-negara besar yang kesulitan meraih kemenangan, hingga ketidakberdayaan Messi di hadapan bek-bek Kroasia maupun Islandia.
Namun, alangkah baiknya, kita lupakan sejenak gambaran-gambaran tersebut. Karena di balik serangkaian kejutan yang ada, terdapat pelbagai potret yang membuat kita jatuh cinta terhadap Piala Dunia 2018. Membuat kita berpikir bahwa permainan ini, sekali lagi, bukan hanya soal ambisi untuk jadi nomor satu, tetapi juga tentang bagaimana sepakbola jadi ajang umat manusia menikmati kebahagiaan yang bermacam rupa. Dan itu semua ditampilkan begitu elegan oleh tim-tim semenjana.
Menghajar Keterbatasan
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Islandia rutin membuat kejutan: lolos Piala Eropa dan bertahan sampai babak perempatfinal serta berlaga untuk kali pertama di ajang akbar Piala Dunia. Tak sebatas itu saja, dari rentang 2011 sampai 2018, peringkat mereka di FIFA terus naik; yang mulanya berada di angka ratusan, kini mereka sudah berdiri mantap di 25 besar. Islandia adalah bukti bahwa tak ada sesuatu yang mustahil.
Tentu banyak yang bertanya: bagaimana bisa negara yang begitu kecil, dengan jumlah penduduk jauh di bawah Jakarta, dan tak punya sejarah persepakbolaan yang kaya, mampu muncul ke permukaan serta menjadi kuda hitam dengan segala pencapaiannya? Inilah yang kelak membuat kita jatuh hati pada mereka. Islandia menolak tunduk di tengah keterbatasan. Negara boleh saja kecil, tapi mimpi harus tetap besar.
Barney Ronay dalam “Football, Fire and Ice: The Inside Story of Iceland’s Remarkable Rise” yang terbit di The Guardian mengatakan, ada dua resep mengapa sepakbola Islandia sukses memberi kejutan. Pertama, pemberdayaan pelatih. Bagi Islandia, pelatih merupakan posisi vital. Mereka adalah kunci, otak, dan penentu kreasi sekaligus masa depan keberlangsungan tim.
Maka dari itu, sejak awal 2000-an, Asosiasi Sepakbola Islandia (KSI) punya fokus dalam menggenjot partisipasi masyarakat untuk menjadi pelatih bola. Salah satunya menyediakan kursus pelatihan dan lisensi UEFA dengan biaya terjangkau. Upaya ini, lambat laun, menunjukkan hasilnya. Sekarang, Islandia punya 600 pelatih yang separuhnya memegang lisensi UEFA B.
“Bagian dari kesuksesan nyata di sini adalah mereka memiliki pelatih yang sangat terdidik mulai dari usia lima atau enam tahun,” kata Lars Lagerback, pelatih Islandia asal Swedia yang memimpin tim di ajang Euro 2016.
“Sistemnya sangat bagus. Anda dapat melihat mereka benar-benar mendorong pengembangan pemain berbakat di klub. Jika Anda melihat skuad kami untuk Euro dan melihat pemain muda di dalamnya, saya pasti akan mengatakan bahwa ini hasil dari proses panjang dan pendidikan yang tinggi.”
Faktor kedua yaitu fasilitas pendukung yang proporsional. Islandia membangun banyak stadion, baik outdoor maupun indoor, yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Asosiasi dan klub-klub bekerjasama dengan pemerintah setempat (yang sangat terbuka dan mendukung) guna merealisasikan hal tersebut. Fasilitas-fasilitas ini mungkin tak semegah dan sebesar di Inggris, Jerman, maupun Perancis. Namun, bagi Islandia, kemegahan tak jadi prioritas. Yang terpenting: layak pakai.
Keberadaan fasilitas yang bejibun tersebut mendorong tumbuhnya geliat sepakbola di kalangan usia muda, yang kemudian menjadi faktor pendukung selanjutnya. Indikator tersebut, sebagaimana diceritakan Bruce Schoenfeld dalam “The Miracle on Iceland” yang dipublikasikan di ESPN, dapat dilihat tatkala Breidablik UBK—klub lokal—punya akademi sepakbola yang berisikan 1.600 anak-anak muda. Bahkan, tiap musim panas, mereka mengadakan kompetisi internal yang diikuti 22 kesebalasan U-12.
Gudni Bergsson, Presiden KSI, menyebut, “Persentase anak-anak muda Islandia bermain bola lebih tinggi daripada di tempat lain.”
Perjalanan Islandia di Piala Dunia 2018 memang sudah berakhir. Namun, berbekal tiga faktor di atas, mereka akan senantiasa berupaya untuk terus berlaga di kompetisi tertinggi seraya menepis keraguan maupun keterbatasan. Agar nantinya, selepas pertandingan usai, mereka bisa melakukan thunderclap bersama pendukung setianya sebagai tanda penghormatan atas dukungan moril yang diberikan masyarakat. Magis.
Wajah Afrika
Nigeria mencuri perhatian dengan jersey-nya yang futuristik dan menggambarkan identitas sebuah bangsa. Sementara Mesir, ditunggu sepak terjangnya karena pemain fenomenal tahun ini, Mohamed Salah, berada di sana. Dari semua kontestan Piala Dunia asal Afrika, dua negara itu menguasai banyak tajuk pemberitaan.
Namun, publik juga harus paham bahwa ada negara Afrika lain yang mampu membuat kita jatuh hati. Ia adalah Senegal. Aksi Senegal di Piala Dunia 2018 adalah gabungan dari kesenangan, kesederhanaan, serta misi suci membawa nama Afrika ke posisi paling hormat.
Gambaran tersebut bisa Anda lihat tatkala dalam sesi latihan sebelum pertandingan melawan Jepang, mereka melakukan pemanasan dengan menari dan menyanyi bersama. Tak ada raut ketegangan yang terpancar dari wajah masing-masing pemain. Mereka sepenuhnya rileks, antusias, dan bahagia menanti datangnya laga di lapangan.
Sebelum video tarian pemain Senegal itu terjadi dan viral, penonton mereka lebih dulu melakukan aksi yang meneduhkan. Ketika peliut tanda akhir pertandingan babak kedua antara Senegal melawan Polandia ditiup, para penonton Senegal tidak buru-buru meninggalkan stadion dan larut dalam euforia kemenangan. Mereka tinggal sejenak untuk membersihkan sampah yang tercecer di bangku penonton, sama persis dengan apa yang dilakukan pendukung Jepang sehabis laga versus Kolombia.
Kedatangan Senegal di Piala Dunia membawa banyak harapan. Tapi, tak ada yang lebih besar dibanding harapan agar nama Afrika tak lagi disepelekan serta diasosiasikan dengan segala laku yang nestapa dan menyedihkan.
Aliou Cisse, pelatih Senegal, berdiri di garda terdepan. Tampilan dan gayanya yang eksentrik sewaktu memimpin anak didiknya di lapangan—yang kemudian dirayakan lewat banyak meme—sejalan dengan membuncahnya motivasi yang ia sertakan dalam petualangan di Piala Dunia. Cisse, yang menjadi satu-satunya pelatih kulit hitam di Rusia 2018, tak sebatas ingin mengulangi prestasi manis ketika menginjakkan kaki di delapan besar pada 2002 silam, tapi juga hendak membuang ragu khalayak yang menyatakan bahwa negara Afrika tak bisa berlari jauh di Piala Dunia.
Pada akhirnya, kiprah Senegal di Piala Dunia merupakan momentum berharga yang turut dirayakan semua masyarakat. Bagi publik Senegal, Sadio Mane dan konco-konconya adalah kebanggaan yang mewakili mimpi negeri dan Afrika.
“Ketika Senegal bermain, siapa pun yang mungkin mengalami momen buruk dalam hidupnya—tidak memiliki pekerjaan, tidak punya tempat tinggal, tidak bisa makan, sakit, atau sekarat—akan berubah menjadi seperti bagian dari tim. Itu sebabnya sepakbola lebih banyak berperan penting untuk Afrika. Ini membawa orang keluar dari lingkup hal-hal negatif. Satu-satunya momen di Afrika ketika orang melupakan segalanya adalah ketika sebuah pertandingan sedang berlangsung,” kata Salif Diaou, mantan pemain timnas Senegal.
Meninggalkan Kenyataan Pahit
Seberapa penting Piala Dunia 2018 bagi Panama?
Melihat reaksi pemain yang begitu emosional saat merayakan gol pertama mereka di Piala Dunia seolah-olah mereka berhasil menjuarai kompetisi dan menyaksikan bagaimana pendukung Panama terus bernyanyi meski Inggris telah membobol gawang mereka sebanyak enam kali, maka jawabannya: Piala Dunia 2018 punya makna penting untuk Panama.
Bagi semua elemen yang terlibat dalam sepakbola Panama, olahraga ini bukan semata tentang menang. Bagi Panama, sepakbola merupakan wadah untuk melupakan sejenak kenyataan yang pahit—kemiskinan, perang antar geng, narkoba, kriminalitas—dan meyakini bahwa di luar sana masih ada harapan hidup yang baik.
Segala gambaran buruk akan kondisi Panama tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial yang menyertai negara Amerika Tengah dengan penduduk sekitar empat juta ini. Kompleksitas persoalan sehari-hari di Panama disebabkan karena negara itu menjadi titik transit utama peredaran kokain setelah keluar dari Kolombia, sebelum nantinya mendarat di Amerika. (Tahun lalu, aparat menyita 80 ton kokain.)
Situasi tersebutlah yang membuat Panama dipenuhi para tengkulak, broker, penadah, pedagang kelas kakap maupun amatir, ratusan geng yang tergabung dalam dua kelompok besar (Bagdad dan Calor-Calor), hingga polisi busuk yang meminta jatah suap. Semua berlomba-lomba untuk menguasai pasar lokal kokain yang bernilai jutaan dolar. Tak terkecuali bagi para pemain bola.
Sid Lowe lewat “Violence, Tragedy and the Murder of A Cherised Panama Player” yang dirilis The Guardian mengatakan, banyak pemain bola Panama yang sebelumnya terlibat dalam perdagangan narkoba, pencucian uang untuk kartel, perang geng, dan kejahatan lainnya. Penyebabnya: mereka hidup dalam lapisan masyarakat paling rendah dan tinggal di lingkungan dengan tingkat kejahatan bisa menyentuh angka 80%. Kondisi ini membuat para kartel begitu mudah memanipulasi mereka untuk bekerja di bawah perintahnya.
“Pesepakbola tinggal dan berasal dari lingkungan yang sulit. Sebanyak 70% dari mereka berada di wilayah dengan risiko sosial yang tinggi. Keluarga mereka hancur, pendidikan mereka tidak memadai, dan mereka sulit untuk keluar dari jerat tersebut,” ungkap Juan Ramón Solís, presiden serikat pemain Panama.
Walhasil, dengan kondisi semacam itu, sudah bisa ditebak bahwa akhir dari keterlibatan dalam kegiatan gelap hanya dua: mati atau ditangkap polisi. Pada 1990, pesepakbola bernama Miguel Tello tewas tertembak karena terlibat aktivitas kriminal. Sejak tewasnya Tello, sudah 19 pemain bola meninggal dengan motif serupa termasuk Amílcar Henríquez, penjaga gawang timnas dengan caps 85 kali dan pemain klub Árabe Unido, yang mati ditembak sekelompok bandit usai bermain domino di Nuevo Colón pada April 2017 atau enam bulan sebelum Panama berhasil lolos Piala Dunia untuk kali pertama.
Di tengah sengkarut itu, sepakbola muncul sebagai juru selamat. Ia datang merangkul mereka yang berada di dunia gelap kriminalitas, membantunya terlepas dan membuang jauh-jauh masa lalu yang kelam, serta mencoba menyediakan lembaran kehidupan baru tanpa harus bergelimang darah setiap hari. Sosok yang getol melakukan aksi ini ialah Gery Stempel, pelatih Panama keturunan Inggris.
“Ada rasa kepuasan ketika melihat orang-orang ini, yang banyak berasal dari latar belakang yang sederhana, mengubah hidup mereka menjadi lebih baik,” kata Stempel kepada FIFA dalam wawancara pada 2009.
“Sepak bola tidak selalu tentang piala dan medali; sepakbola kadang-kadang tentang nilai manusia.”
Bersama Stempel, mereka membuka pintu baru. Mereka tak lagi terkungkung dalam gelapnya kerja-kerja kartel. Mereka berlatih bola, mengembangkan kemampuan, serta mencoba peruntungan bermain di klub-klub lokal hingga nantinya mampu menyabet kesempatan untuk membela panji timnas di ajang kompetisi regional maupun Piala Dunia seperti sekarang.
“Itu adalah impian mereka,” kata Stempel dilansir Sky Sports. “Itu sebabnya saya sangat senang. Anda bisa melihat pengorbanan yang dilakukan oleh para pemain dan keluarga mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan fakta yang mereka buat saat mereka berhasil mencapai impian adalah kisah yang sangat bagus.”
Ihwal itu diakui pula oleh Felipe Baloy. Mulanya, ia hidup di lingkungan yang sulit, sama seperti kebanyakan pemain bola Panama. Namun, sepakbola telah mengubah jalan hidupnya dan keluarganya. “Saya belajar hal-hal yang tidak saya pelajari di lingkungan saya. Saya beruntung menjadi orang yang berbeda sekarang,” ujarnya.
Inilah Panama. Ketika hidup para pemain terancam dengan kriminalitas yang akut, sepakbola datang menyelamatkannya. Maka, alangkah wajar tatkala para pemain dan penonton merayakan gol pertama mereka di Piala Dunia seolah mereka berhasil menjuarai turnamen. Bagi mereka, gol pertama di Piala Dunia adalah pertanda bahwa mereka telah berhasil melalui proses yang panjang dan sulit dalam hidup, sebelum akhirnya bisa berlaga di kompetisi paling akbar di jagat raya, dengan kebanggaan teramat dalam.
Kebebasan Perempuan
Sepakbola adalah olahraga universal. Semua orang, baik laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, berhak menikmati dan turut serta dalam sepakbola tanpa harus mengalami diskriminasi. Di hadapan sepakbola, semua duduk setara.
Tapi, yang berlaku di Iran tidaklah demikian. Perempuan menjadi korban dari politik diskriminasi pemerintah. Perempuan tidak boleh datang ke stadion, menikmati adu laga antara tim kesayangan melawan kesebelasan lawan. Jika mereka ngeyel, maka siap-siap saja ditangkap dan ditahan untuk sementara waktu.
Contoh kasusnya banyak. Maret lalu, misalnya, sebanyak 35 perempuan dilarang menonton bola. Tak cuma dilarang, mereka juga ditahan aparat berwenang kala hendak menyaksikan pertandingan dua tim asal Teheran, Esteqlal dan Persepolis, yang diselenggarakan di Stadion Azadi. Ditangkapnya 35 perempuan di Stadion Azadi adalah ironi—dalam bahasa Farsi, “Azadi” berarti “kebebasan.”
Revolusi 1979 yang menggulingkan rezim monarki Pahlevi dan menaikkan Ayatollah Khomeini ke tampuk kekuasan tertinggi Iran turut mengubah kebijakan tentang keberadaan perempuan di stadion. Pada 1981, seperti dicatat Human Rights Watch, perempuan dilarang masuk ke stadion untuk menyaksikan sepakbola. Kebijakan itu sejalan dengan pemberlakuan jilbab.
Menurut Ayatollah Naser Makarem Shirazi, salah seorang ulama konservatif terkemuka Iran, perempuan dilarang masuk stadion karena bisa memancing tindakan-tindakan bejat. Walhasil, akibat larangan itu, perempuan hanya boleh menonton pertandingan sepakbola yang dimainkan perempuan, bukan oleh laki-laki.
Kebijakan ini sempat akan dianulir saat Ahmadinejad duduk di kursi kekuasaan. Namun, sebagaimana dituturkan Franklin Boer dalam How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization (2004), rencana itu urung terlaksana karena ditentang para ulama. Bahkan pada 2012, larangan serupa tak sekedar berlaku buat sepakbola saja, melainkan juga untuk pertandingan voli.
Aksi-aksi penentangan tetap muncul. Beberapa tahun belakangan, suara-suara protes menuntut penghapusan diskriminasi perempuan terus menyasar pemerintah Iran. Masyarakat meminta Rouhani, yang disebut-sebut sebagai ulama moderat, untuk lekas mengizinkan perempuan menikmati pertandingan olahraga. Salah satu metode protesnya adalah dengan menyamar sebagai laki-laki di stadion.
Dalam “Iranian Women’s Sports Fandom: Gender, Resistance, and Identity in the Football Movie Offside” (2014) yang terbit di Journal of Sport and Social Issues, Kim Toffoletti menjelaskan perlawanan perempuan Iran terhadap kebijakan diskriminatif di stadion adalah bagian dari upaya menentang penindasan gender secara keseluruhan.
Dengan pamornya yang menjulang di Iran, sepakbola, catat Toffoletti, berperan penting dalam usaha perempuan memberontak terhadap marjinalisasi sosial maupun aksi-aksi diskriminasi yang mereka hadapi sehari-hari.
Tapi, pemandangan itu berubah di ajang Piala Dunia. Kesebelasan Iran boleh saja gagal lolos ke babak selanjutnya, namun bagi perempuan Iran, ajang Piala Dunia telah memberikan mereka kemenangan tak ternilai karena pada akhirnya, mereka bisa menonton pertandingan bola tanpa harus merasa takut diciduk aparat.
Kiana dan Paria adalah contoh mereka yang merasakan kemenangan tersebut. Dua orang itu jauh-jauh datang dari Iran ke Rusia guna menonton langsung tim Iran berlaga di fase grup. Sedari awal, mereka sudah menegaskan bahwa apapun hasil yang didapatkan Iran adalah nomor sekian. Bagi mereka, yang terpenting ialah pengalaman menonton secara langsung tim sepakbola berlaga di dalam stadion.
“Dari saat aku berjalan masuk dan melihat kerumunan maupun kebisingan yang menyelimuti pemain kami, aku merasa sangat bangga,” katanya kepada Telegraph. “Aku selama ini berpikir, apa alasannya untuk tidak membiarkan para perempuan masuk ke stadion? Apa gunanya? Kami seperti kalian, aku mendukung tim seperti seorang pria.”
Kedua perempuan ini rupanya tak sendirian. Rusia jadi saksi tatkala ribuan perempuan Iran dari segala penjuru datang berbondong-bondong untuk menyaksikan negaranya bermain. Mereka, sama seperti Kiana dan Paria, ingin merasakan sensasi menonton langsung di stadion. Dan yang lebih utama: kemerdekaan sebagai perempuan. “Dari 30 ribu penggemar Iran di sini,” kata Paria, “10 ribunya adalah perempuan.”
Tak cuma kesempatan menonton bola, para perempuan Iran di Rusia juga menikmati kesempatan untuk menjelajahi bagian-bagian kota penyelenggara tanpa harus memakai pakaian jilbab, seperti yang selama ini mereka alami di negeri mereka.
Kemenangan perempuan Iran juga terasa di dalam negeri. Sebagaimana diwartakan CNN, ketika Iran bertanding melawan Spanyol, tribun Stadion Azadi di Teheran dipenuhi pendukung perempuan dan laki-laki. Mereka duduk dalam satu tempat dan tanpa sekat pemisah—sesuatu yang selama ini dianggap tabu dan dilarang pemerintah. Beberapa perempuan terlihat antusias. Wajah mereka tak henti-hentinya menebar senyum sumringah sembari mengibarkan bendera nasional sebagai tanda dukungan kepada tim yang berlaga.
Usai pertandingan, kapten tim Spanyol, Sergio Ramos, menyebut bahwa “perempuan Iran-lah yang menjadi pemenang malam ini.”
Sekali lagi, sepakbola bukan semata tentang kemenangan. Sepakbola ada cara bagaimana manusia merayakan hidup. Islandia, Senegal, Panama, dan Iran telah membuktikannya: sepakbola berhasil menghapus sekat dan melampaui segala batasan.
Kepada tim-tim semenjana inilah kita dibuat jatuh hati. Bukan karena prestasi mereka, melainkan karena sikap mereka yang gigih, kuat, dan pantang menyerah—sebagaimana nilai-nilai sepakbola berlaku di mana saja.
Editor: Ivan Aulia Ahsan