tirto.id - Setelah beberapa waktu lalu protes tentang penggunaan jilbab meramaikan linimasa, kali ini kehebohan di Iran datang dari berita tentang sekelompok perempuan yang menyamar sebagai laki-laki supaya bisa menyaksikan pertandingan sepakbola.
Dilansir BBC, para perempuan itu mengenakan janggut dan rambut palsu untuk menonton pertandingan tim favorit mereka, Persepolis, melawan Sepidrood di Stadion Azadi, Teheran, Jum’at (27/4) silam. Foto mereka seketika jadi viral di media sosial.
Salah seorang perempuan mengaku sudah tiga kali melakukan aksi serupa dan selalu berhasil lolos dari pemeriksaan petugas keamanan. Ia menuturkan bahwa tiap kali menyelinap, ia memakai identitas samaran serta tata rias yang berbeda. Keberhasilannya itu membuat banyak perempuan ingin meniru jejaknya.
“Aku googling dulu untuk mencari tutorial make-up dan mempelajari cara-cara baru untuk aku terapkan sebelum ke stadion,” ungkapnya.
Tanggapan publik terbelah. Ada yang mengapresiasi langkah mereka, tapi ada pula yang mengkritik. Bagi yang memuji, para perempuan itu dianggap jadi simbol keberanian. Sedangkan yang mencela berpendapat, alih-alih datang ke stadion pria, mereka semestinya menghadiri pertandingan yang melibatkan perempuan.
Namun, para perempuan itu tak peduli. Mereka tetap bersikukuh menerobos stadion untuk merayakan pertandingan.
“Tujuan kami adalah terus berjalan sampai mereka [otoritas Iran] mengizinkan semua perempuan pergi [ke stadion],” tegas perempuan lainnya. “Kami melakukan ini untuk mengatakan kepada pihak berwenang bahwa jika mereka tidak membiarkan kami masuk, kami akan tetap ke stadion dengan atau tanpa jenggot.”
Tak Cuma Sekali
Farnaz, mahasiswi Jurusan Teknik Elektro Universitas Teknologi Isfahan, tak bisa menahan kesal. Perempuan berusia 24 tahun itu telah melakukan perjalanan bus selama tujuh jam dari Isfahan menuju Stadion Azadi, Teheran, demi mendukung Timnas Iran melawan Suriah dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2018 pada September tahun lalu.
Akan tetapi, perjalanan itu mesti berakhir dengan sia-sia. Ia gagal menyaksikan Iran bertanding lantaran adanya aturan yang melarang perempuan menonton pertandingan sepakbola di dalam stadion.
“Aku tak ingin berdiam di rumah dan tidak melakukan apa pun. Aku ingin protes,” kata Farnaz seperti diberitakan Guardian.
Rupanya tak sekali ini saja Farnaz mendapat pengalaman tak mengenakkan. Pada April 2017, ia harus menyamar sebagai pria supaya bisa menonton pertandingan klub kesayangannya, Persepolis. Bedanya, waktu itu Farnaz lolos dari petugas keamanan.
Nasib sama dialami pula oleh Shiva Nazar-Ahari, seorang aktivis hak asasi perempuan terkemuka Iran. Shiva mengaku telah membeli dua tiket pertandingan seharga 15 ribu riyal (sekitar Rp4.000).
Namun, sesampainya di stadion, ia dan para perempuan lainnya dilarang masuk oleh petugas keamanan. Tak terima dengan keputusan itu, para perempuan yang jumlahnya 20 orang langsung melakukan unjuk rasa dengan membentangkan spanduk berbunyi: “Aku juga ingin duduk di Stadion Azadi—biarkan perempuan masuk.”
Apabila Farnaz dan Shiva ‘hanya’ dilarang masuk stadion, pengalaman 35 perempuan pada Maret lalu lebih miris lagi. Tak hanya dilarang menonton bola, mereka juga ditahan aparat berwenang kala hendak menyaksikan pertandingan dua tim asal Teheran, Esteqlal dan Persepolis.
Ditangkapnya 35 perempuan di Stadion Azadi adalah ironi, mengingat dalam bahasa Farsi, “Azadi” berarti “kebebasan.”
Pemerintah, diwakili juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Seyyed Salman, berdalih para perempuan tidak ditangkap tetapi dipindahkan ke “tempat yang layak” oleh polisi serta akan dibebaskan setelah pertandingan usai.
Pemilihan kata “tempat yang layak” di sini cukup mengherankan. Berdasarkan laporan Iran Human Rights, apa yang disebut “tempat layak” sebetulnya adalah Pusat Penahanan Vozara di ibukota.
Kabar penahanan sampai juga ke telinga orang nomor satu di FIFA, Gianni Infantino. Pihaknya mengaku sangat prihatin dengan insiden tersebut dan berjanji bakal mendesak pemerintah Iran agar mengusut tuntas kasus itu.
Infantino menegaskan bahwa sepakbola harus lepas dari politik, menolak diskriminasi gender sesuai Pasal 4 statuta FIFA, serta menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia.
Si Presiden FIFA yang turut menyaksikan pertandingan Esteqlal dan Persepolis dalam rangka menghadiri undangan ulang tahun ke-100 federasi sepakbola Iran, mengaku bahwa Presiden Iran, Hassan Rouhani, telah berjanji untuk memperbolehkan perempuan masuk ke stadion. Janji itu diucapkan Rouhani saat bertemu Infantino dalam sebuah kesempatan sebelumnya.
“Rouhani memberi tahu saya: perempuan di Iran akan mendapat akses ke stadion sepakbola sesegera mungkin,” ujarnya dilansir Independent.
Sikap Rouhani, jelas Infantino, bertolak dari kondisi bahwa “perempuan di Iran sangat antusias pada sepakbola” serta “sekitar 23 ribu perempuan Iran terdaftar sebagai pemain bola.”
Namun, janji Rouhani bak omong kosong tatkala aparat menangkap 35 perempuan di stadion, tak lama setelah ia bertatap muka dengan Infantino.
Aktivis Iran Darya Safai menyatakan selama bertahun-tahun perempuan Iran selalu berupaya keras agar bisa menikmati pertandingan bola tanpa diperlakukan layaknya kriminal. Safai adalah pencetus kampanye “Let Iranian Women Enter Their Stadium” yang digelar untuk mengakhiri diskriminasi gender di tempat olahraga di Iran.
Human Rights Watch mengungkapkan bahwa FIFA turut berperan menciptakan iklim diskriminasi terhadap perempuan Iran di stadion. FIFA, tegas HRW, diam seribu bahasa ketika melihat kenyataan tersebut. Tak ada sanksi dan tindakan keras berkaitan diskriminasi terhadap perempuan Iran. Yang ada, FIFA justru nampak mentolerir dan memaafkan kebijakan pemerintah Iran.
Buah Revolusi 1979
Revolusi 1979 yang menggulingkan rezim monarki Pahlavi dan menaikkan Ayatollah Khomeini ke tampuk kekuasan tertinggi Iran, turut mengubah kebijakan tentang keberadaan perempuan di stadion. Pada 1981, seperti dicatat Human Rights Watch, perempuan dilarang masuk ke stadion untuk menyaksikan sepakbola. Kebijakan itu sejalan dengan pemberlakuan jilbab.
Menurut Ayatollah Naser Makarem Shirazi, salah seorang ulama konservatif terkemuka Iran, perempuan dilarang masuk stadion karena bisa memancing tindakan-tindakan bejat. Walhasil, akibat larangan itu, perempuan hanya boleh menonton pertandingan sepakbola yang dimainkan perempuan, bukan oleh laki-laki.
Kebijakan ini sempat akan dianulir saat Ahmadinejad duduk di kursi kekuasaan. Namun, sebagaimana dituturkan Franklin Boer dalam How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization (2004), rencana itu urung terlaksana karena ditentang para ulama. Bahkan pada 2012, larangan serupa tak sekedar berlaku buat sepakbola saja, melainkan juga untuk pertandingan voli.
Namun, aksi-aksi penentangan tetap muncul. Beberapa tahun belakangan, suara-suara protes menuntut penghapusan diskriminasi perempuan terus menyasar pemerintah Iran. Masyarakat meminta Rouhani, yang disebut-sebut sebagai ulama moderat, untuk lekas mengizinkan perempuan menikmati pertandingan olahraga.
Lagi-lagi, salah satu metode protesnya adalah dengan menyamar sebagai laki-laki di stadion.
Dalam “Iranian Women’s Sports Fandom: Gender, Resistance, and Identity in the Football Movie Offside” (2014) yang terbit di Journal of Sport and Social Issues, Kim Toffoletti menjelaskan perlawanan perempuan Iran terhadap kebijakan diskriminatif di stadion adalah bagian dari upaya menentang penindasan gender secara keseluruhan.
Dengan pamornya yang menjulang di Iran, sepakbola, catat Toffoletti, berperan penting dalam usaha perempuan memberontak terhadap marjinalisasi sosial maupun aksi-aksi diskriminasi yang dihadapi mereka di realita sehari-hari.
Selain memprotes pemerintah, gugatan juga tertuju pada organisasi induk internasional sepakbola seperti FIFA (sepakbola) dan FIVB (bola voli) untuk mengambil tindakan serius guna merespons diskriminasi di stadion.
Protes-protes itu perlahan mulai menunjukkan hasil. Beberapa waktu lalu, ketika tim basket Iran bertanding melawan Irak dalam ajang FIBA Basketball World Cup 2019 Asian Qualifier di Azadi Indoor Stadium, perempuan diperbolehkan menonton di dalam meski duduk secara terpisah dari penonton laki-laki.
Tapi, capaian positif itu kembali ternoda akibat insiden di stadion seperti yang terjadi pada Maret silam.
Larangan perempuan masuk stadion di Iran hanyalah secuil contoh mengenai pemenuhan hak-hak perempuan di Iran yang masih jauh dari kata maksimal. Beberapa diskriminasi terhadap perempuan Iran dapat dijumpai dalam perkawinan, perceraian, hingga hak asuh anak. Perempuan harus memperoleh izin dari laki-laki (ayah, kakek, atau suami) untuk mencari pekerjaan, menikah, mendapatkan hak asuh anak, bercerai, sampai berpergian ke luar negeri.
Belum lagi soal keterlibatan perempuan Iran di pemerintahan yang jumlahnya masih tidak proporsional dibanding laki-laki. Padahal, 60% lulusan perguruan tinggi Iran merupakan perempuan. Ironisnya, dari angka tersebut hanya menghasilkan angkatan kerja sebesar 13%.
Pada 7 Februari tahun lalu, Rouhani menyatakan: “Kita harus percaya bahwa perempuan punya peran dalam sains, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, dan seni seperti laki-laki.” Namun, situasi di lapangan menunjukkan keterbatasan pemerintahan Rouhani dalam mewujudkan jaminan atas hak-hak perempuan di berbagai sektor.
“Harus kuakui, setelah melihat foto-foto perempuan Saudi di stadion sepakbola [Januari silam perempuan dibolehkan masuk stadion], rasanya aku ingin menangis karena dua alasan: aku senang melihat wanita Saudi yang akhirnya bisa menikmati kebebasan di stadion setelah lama ditindas. Namun, pada saat yang sama aku sedih karena kami masih harus bersabar [untuk menikmati hak-hak yang sama],” ujar Negar Ehsan, jurnalis cum aktivis Iran.
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf