tirto.id - Liga profesional Argentina mulai dibentuk pada 1931. Saat itu tim-tim Argentina mempunyai ciri bermain dengan mengedepankan keindahan daripada kemenangan. Maksudnya, tim-tim di Argentina akan menyerang secara terbuka, menonjolkan kemampuan individu para pemainnya – entah melalui dribel-dribel spektakuler atau trik-trik yang menghibur -- daripada permainan tim. Sebuah cara bermain yang kemudian dikenal dengan istliah la nuestra.
Puncak la nuestra terjadi dalam gelaran Copa Amerika 1957. Saat itu Argentina diperkuat pemain-pemain dengan kemampuan individu sempurna: Oreste Corbatta, Omar Sivori, Humeberto Maschio, Antonio Angelillo, juga Osvaldo Cruz. Pemain-pemain ini, yang kemudian mendapatkan julukan Angels and Dirty Faces, berhasil membawa Argentina menjadi juara dengan mudah.
Pada pertandingan pembuka Argentina membantai Kolombia 8-2. Ekuador, Uruguay, dan Chili menjadi korban mereka selanjutnya. Dan pada pertandingan yang penentuan, mereka berhasil mengalahkan Brasil tiga gol tanpa balas, membuat majalah asal Argentina, Grafica, menulis judul: “Ya, ini (timnas Argentina di Copa Amerika 1957) adalah tim terbaik!”
Pada pertandingan terakhir Argentina memang kalah dari Peru 1-2, tapi pertandingan itu sudah tidak lagi berpengaruh: Argentina berhasil meraih gelar dengan mencetak 25 gol hanya dalam 6 pertandingan.
Sayangnya, setelah kemenangan tersebut la nuestra seperti menjadi mitos. Corbatta, Slivori, Maschio, Angelillo, dan Cruz hanya bermain bersama dalam di Copa Amerika 1957 tersebut. Bersamaan dengan mandeknya Argentina menghasilkan pemain-pemain dengan kemampuan sepadan, la nuestra tak lagi istimewa.
Meski la nuestra sudah menguap begitu saja, sepakbola Argentina memang tentang individu-individu penuh talenta. Apapun cara bermain yang digunakan, individu terbaik akan menjadi penentu. Bahkan, saat Argentina memainkan anti-football (filosofi yang sangat berlawanan dengan la nuestra) di bawah asuhan Carlos Bilardo, mereka hanya mengandalkan kemampuan individu Diego Maradona untuk meraih gelar Piala Dunia 1986. Anti-football saat itu justru digunakan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh Maradona.
Setelah era Maradona, bintang-bintang terbaik Argentina, dari Juan Roman Riquelme hingga Lionel Messi, bergantian mengemban tugas sebagai adibintang. Dan setelah beberapa kali gagal, Lionel Messi akan kembali melakoni peran tersebut pada Piala Dunia 2018 nanti. Ia, yang sempat pensiun dari timnas karena tak kuat memikul beban, sekali lagi akan menjalani suratan.
Masalahnya, perjalanan Messi bersama Argentina akan langsung diuji oleh lawan berat. Lawan yang lebih mementingkan kolektivitas tim daripada kemampuan individu. Bahkan karena kolektivitasnya itu, mereka tidak hanya mampu menyatukan orang-orang di seluruh negaranya, tetapi juga mampu memikat penggila bola di dunia. Nama lawan Argentina itu adalah Islandia.
Sepakbola dan Kebersamaan
Saat Islandia berlaga di Piala Eropa 2016 lalu, sekitar 10.000 orang Islandia, dari bintang rock hingga nelayan, datang ke pusat kota Reykjavik untuk mendukung Islandia. Mereka memadati tempat-tempat yang menyiarkan pertandingan Islandia. Menariknya, orang-orang Islandia tersebut seperti tidak memiliki batasan sosial sama sekali: mereka hanya peduli dengan timnas Islandia.
Alex Sommer, seorang musisi asal Amerika yang sedang bekerja untuk Sigur Ros, band paling ternama asal Islandia, kemudian menjelaskan penyebabnya. “Hampir tidak ada kultur selebritas di sini,” kata Alex. “Tidak ada warga Islandia yang akan mengganggu Jonsi (salah satu personel Sigur Ros), hanya orang-orang luar negeri yang akan mengganggu Sigur (Ros) di sini.”
Wright Thompson, penulis ESPN yang datang ke Islandia saat itu, menceritakan kejadian itu melalui tulisannya yang berjudul "Iceland is so Hot Right Now". Menurutnya, sejak masalah-masalah mendera Islandia, dari krisis finansial hingga petarungan politik dengan Uni Eropa menyoal sistem kuota penangkapan ikan, orang-orang Islandia mulai terbiasa bergandengan tangan. Sebuah kebiasaan yang kemudian terus diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Cerita Thompson itu diperkuat oleh Jonny Coper, penulis Telegraph. Pada Mei 2018 lalu ia berada di sebuah bar di Reykjavik bersama Tolfan, kelompok suporter timnas Islandia yang secara harfiah memiliki arti "orang ke-12". Saat itu pukul tiga pagi dan timnas Islandia sedang bertanding melawan Meksiko di Amerika Serikat.
Namun, Tolfan tetap mendukung Islandia sepenuh hati: mereka beberapa kali melakukanIslandicthunderclap yang diiringi genderang tabuhan drum. IslandicThunderclap sendiri dilakukan dengan cara menepukkan kedua tangan di atas kepala secara berulang-ulang, dengan tempo yang semakin cepat, sambil berteriak “hooh” pada setiap tepukan.
“Di antara orang-orang Islandia, kebersamaan itu ekstrim,” kata Sveinn Asgeirsson, salah satu pentolan Tofan, kepada Coper. “Kami akan selalu bersama-sama.”
Pernyataan Wright Thompson dan Jonny Coper tersebut memang memperlihatkan kepada dunia bahwa kebersamaan memang sangat penting bagi orang-orang Islandia. Namun, tanpa pencapaian apik timnas Islandia dalam beberapa tahun terakhir ini cerita itu mungkin tak akan pernah ada.
Menanti Penampilan Islandia di Piala Dunia Pertamanya
Piala Eropa 2016 memang menjadi milik Portugal, tetapi menyoal popularitas, Islandia bisa jadi pemenangnya. Islandia yang baru pertama kali lolos ke Piala Eropa berhasil membuat kejutan. Puncaknya terjadi di babak 16 besar saat mereka mengalahkan Inggris 2-1.
Setelah kemenangan itu, Gudmundur Benediksson, komentator asal Islandia, melakukan kegilaan yang tak akan pernah dilupakan. Ia berteriak: “Kami tidak akan pernah pulang! Lihat ini! Hal-hal seperti ini tidak pernah benar-benar terlihat! Aku tidak percaya dengan mataku! Ini... Jangan bangunkan aku! Jangan bangunkan aku dari mimpi gila ini!”
Selain tingkah polah Bendeiksson, perayaan yang dilakukan pemain-pemain Islandia juga tak kalah mematung di dalam ingatan. Pemain-pemain Islandia berjalan ke arah suporternya. Saat mencapai sudut lapangan, Aron Gunnarsson kemudian memimpin rekan-rekannya dan ribuan pendukung Islandia yang berada di dalam stadion untuk melakukan Islandic thunderclap. Itulah perayaan yang sangat emosional dan menyentuh.
Setelah momen bersejarah tersebut, Islandia memang kalah dari Perancis di babak perempat-final. Dalam tulisan Jonny Cooper, Vidar Halldorsson, seorang profesor sosiologi di Islandia, takut bahwa kesuksesan Islandia tersebut hanya bersifat sementara. Ia kemudian membandingkan keberhasilan itu dengan apa yang pernah dicapai Norwegia pada 1990an lalu.
“Sejarah negara-negara kecil di kancah internasional menunjukkan itu [kesuksesan sementara]. Lihatlah Norwegia. Pada tahun 90an mereka pernah berada di peringkat kedua FIFA; mereka memiliki dekade yang hebat. Sekarang mereka berada di peringkat ke-49 (saat ini berada di peringkat ke-53). Mereka kehilangan segalanya.”
Namun, Islandia bukan Norwegia. Kekhawatiran Halldorsson sejauh ini belum terbukti. Dua tahun setelah kesuksesan di Perancis, mereka berhasil lolos ke Piala Dunia 2018. Itu akan menjadi Piala Dunia pertama mereka dan mereka akan menjadi negara berpopulasi (jumlah penduduk Islandia pada 2016 mencapai 334.252 orang) paling sedikit yang pernah bermain di Piala Dunia.
Di Piala Dunia 2018 nanti, kebersamaan akan kembali menjadi senjata Islandia. Mereka akan tetap bermain bertahan, mengandalkan organisasi permainan rapi yang berdasarkan kekompakan dan kedisplinan. Saat mempunyai kesempatan, mereka akan melancarkan serangan balik cepat. Selain itu, bola-bola mati dan lemparan bertenaga Aron Gunnarson akan menjadi senjata lainnya.
Untuk itu Thor halldorsson, kiper Islandia, mengatakan kepada TIME, "Kami tidak mempunyai bintang besar. Kami bermain bola karena mencintai sepakbola, mencintai negara kami. Anda dapat merasakan kegembiraan yang kami berikan kepada para pendukung kami. Ada kesucian di dalamnya. Ini sepakbola yang paling indah."
Dengan begitu, saat Islandia bertanding melawan Argentina pada Sabtu (16/5/18) nanti, pusat kota Reykjavik sepertinya akan kembali seramai 2016 lalu. Tidak hanya para turis asing yang ingin menguras isi dompet, tetapi juga oleh orang-orang Islandia yang tak sabar menyambut Piala Dunia. Bagaimanapun, Lionel Messi sudah menanti Islandia di depan pintu gerbang Piala Dunia.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan