tirto.id - Islandia adalah negara yang memberikan perhatian yang sangat besar pada upaya-upaya menghapus ketimpangan gender sampai-sampai dijuluki "negeri terbaik bagi perempuan". Belakangan, negeri seluas 103.000 kilometer persegi dan berpenduduk 334 ribu jiwa (2016) ini kembali membuat gebrakan.
Pada 2017, Islandia menjadi negara di dunia yang melarang pembedaan gaji berdasarkan gender. Dilansir dari Independent, undang-undang yang mengatur ketentuan tersebut berlaku mulai Januari 2018.
Guardianmelaporkan, terhitung sejak Januari tahun ini, badan-badan publik dan swasta yang mempekerjakan lebih dari 25 orang karyawan dan belum mengikuti sertifikasi penyetaraan gaji antara laki-laki dan perempuan bakal didenda sebesar ISK50 ribu (atau hampir Rp7 juta) per hari. Adapun perusahaan-perusahaan dan institusi besar seperti kementerian dan rumah sakit milik negara dengan pekerja lebih dari 250 orang wajib tersertifikasi sebelum akhir tahun 2018. Sementara itu, tenggat waktu tahun 2021 berlaku bagi perusahaan yang memiliki karyawan kurang dari 90 tapi lebih dari 25 orang.
Undang-undang ini diusulkan pada 2012 oleh Perdana Menteri Jóhanna Sigurðardóttir yang berasal dari Aliansi Sosial Demokrat. Dilansir dari New York Times, rencana undang-undang soal kesetaraan upah baru diajukan pada Maret 2017, dan disahkan pada Juni. Menurut Independent, Pemerintah Islandia menargetkan kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan bakal berakhir pada 2022.
Menurut dataThe Global Gender Gap Report 2017 yang dirilis World Economic Forum, Islandia meraih peringkat lima dalam hal kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan. Besaran upah yang diterima pegawai laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan sedikit dengan skor 0,81 dari 1. Jika diterjemahkan ke mata uang dolar maka perempuan menerima upah sebesar 12 juta krona Islandia sedangkan laki-laki 20 juta krona Islandia.
Data yang dikeluarkan pemerintah Islandia tahun 2015 pun menunjukkan hasil serupa. Perempuan memperoleh penghasilan kurang dari 30% dibandingkan pendapatan laki-laki berdasarkan formulir pajak penghasilan. Berdasarkan pendapatan total, perempuan mendapatkan upah 20% lebih sedikit dilihat dari gaji total, atau 14% jika upah lembur tak dihitung.
Disparitas pengupahan ini mengundang reaksi perempuan Islandia. Independentmelaporkan bahwa pada 24 Oktober 2016, ribuan perempuan melakukan pemogokan kerja. Tepat pada pukul 14.38, mereka keluar dari kantor, toko, pabrik, sekolah, dan rumah. Mereka sepakat untuk “libur” dan berkumpul di alun-alun Austurvöllur guna memprotes kesenjangan upah.
Freyja Steingrímsdóttir, konsultan senior perusahaan pemasaran digital Red Heart Strategies, memandang aturan penyetaraan gaji merupakan konsekuensi logis dari "sejarah kesetaraan gender di Islandia". Kepada Forbes, Steingrímsdóttir menyebutkan bahwa aksi mogok besar-besaran yang diikuti 90 persen perempuan pada 1975, kemunculan Vigdís Finnbogadóttir sebagai presiden perempuan pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1980, dan keberhasilan masuknya partai perempuan pertama kvennalista ke parlemen adalah tonggak-tonggak sejarah perjuangan perempuan Islandia.
Meski banjir pujian, undang-undang ini tidak sepi dari kritik. Dilansir dari New York Times, Manajer Konfederasi Pengusaha Islandia Halldor Benjamin Thorbergsson mengatakan bahwa undang-undang ini bikin susah perusahaan kecil. Bagi Thorbergsson, penyetaraan gaji perlu diusahakan, tapi keputusan semestinya mutlak ada di tangan perusahaan.
Thorgerdur Einarsdottir, profesor kajian gender dari Universitas Islandia meragukan UU baru ini bisa menghapus ketimpangan upah antara laki-laki dan perempuan. "Masalah utamanya adalah stereotip-stereotip yang telah mengakar kuat dan mengharuskan pekerjaan tertentu dikerjakan oleh laki-laki atau perempuan (alih-alih keduanya)," ujarnya pada New York Times.
Advokasi lewat Regulasi
Data World Economic Forum (WEF) menunjukkan Islandia menduduki peringkat pertama dalam pengentasan ketimpangan gender (skor 0,87 dari 1) pada 2017.
Guardian melaporkan, kepala unit kesejahteraan di Kementerian Kesejahteraan Islandia Rósa Guðrún Erlingsdóttir menuturkan bahwa kesetaraan tidak hadir begitu saja, tak semata-mata dari tuntutan akar rumput yang lantas diterima para elite. "Pengalaman mengajarkan kami bahwa Anda butuh mengajukan undang-undang. Masyarakat akan menerimanya. Ini pernah kami lakukan ketika memberlakukan kuota perempuan dalam dewan pimpinan perusahaan. Jika politisi sekadar menunggu dan memastikan agar peraturan baru tak ditentang siapapun, kesetaraan takkan pernah terwujud."
Selain aturan penyetaraan gaji, sejumlah kebijakan lain pun telah dibuat.
Pada tahun 2000, pemerintah Islandia mengeluarkan kebijakan hak cuti bersama pascamelahirkan. Business Insider Singapore melaporkan bahwa orangtua Islandia berhak cuti selama sembilan bulan untuk merawat buah hati.
Dari total hak cuti selama sembilan bulan, baik ayah dan ibu diperbolehkan libur masing-masing selama tiga bulan. Sisa hak cuti pasca melahirkan (tiga bulan) selanjutnya bisa dibagi berdasarkan kesepakatan pasangan.
Selama tidak bekerja, orangtua tetap menerima 80 persen gaji (yang bisa mencapai ISK370 ribu atau Rp55 juta). Cuti ini tidak bisa dialihkan sebab pemerintah ingin para orangtua bisa menghabiskan waktu dengan anak.
Menurut Bjorn Thor Arnarson dan Aparna Mitra dalam “The Paternity Leave Act in Iceland: implications for gender equality in the labour market” (2010), hak cuti bagi laki-laki mendorong peluang kerja perempuan lebih terbuka. Mereka bisa bekerja dengan waktu yang panjang, memperoleh bayaran tinggi, dan menjadi karyawan tetap.
Sembilan tahun kemudian, pemerintah Islandia mengamendemen sebuah undang-undang dari tahun 1995 yang akhirnya menghasilkan kuota minimum perempuan di dewan pimpinan perusahaan. Laman pemerintah Islandia menjelaskan peraturan itu dengan lebih detail. Pada pasal 63 dijelaskan bahwa dewan pimpinan perusahaan minimal beranggotakan tiga orang. Dewan pimpinan perusahan dengan karyawan lebih dari 50 orang wajib memiliki perwakilan dari kedua jenis kelamin.
Berkat serangkaian kebijakan pro-kesetaraan, kini 80% perempuan Islandia bekerja dan hampir separuh anggota dewan pimpinan perusahaan adalah perempuan, sebagaimana dilaporkan oleh Guardian. Sementara itu, sebanyak 65% mahasiswa Islandia adalah perempuan dan 41% kursi parlemen diisi perempuan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia telah mengatur ketentuan hak cuti di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Regulasi tersebut mengatur seputar hak cuti sebelum dan sesudah melahirkan (masing-masing 1,5 bulan, total 3 bulan), hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, kesempatan untuk menyusui, serta penyediaan layanan antar-jemput bagi karyawan perempuan yang bekerja di atas pukul 23.00 hingga 05.00. Pegawai perempuan yang mengambil cuti berhak mendapatkan upah penuh.
Situasi ini kontras dengan kemudahan yang diberikan ibu hamil di sejumlah negara seperti Swedia, Kroasia, Denmark, dan Serbia. Huffington Post Canada melaporkan bahwa Perempuan Swedia mendapat cuti hamil dan melahirkan selama 480 hari atau satu tahun lebih serta menerima upah hingga 80 persen. Kroasia, Denmark, dan Serbia bahkan memberikan gaji seratus persen meski durasi cuti tak sepanjang di Swedia.
Soal kesetaraan gaji antara perempuan dan laki-laki, pencapaian Indonesia masih jauh layak. Menurut data World Economic Forum (WEF), Indonesia berada di peringkat 35 dari 144 negara yang diteliti. Selisih gaji berdasarkan gender di Indonesia mencapai angka 0,70 yang berarti perempuan mendapat upah 70% dari gaji laki-laki untuk pekerjaan yang sama.
Sementara itu, Rwanda menjadi negara yang duduk di peringkat pertama untuk masalah kesetaraan upah berdasarkan gender. Selisih gaji perempuan dan laki-laki di negara tersebut paling kecil di dunia. Berdasarkan data WEF, angka kesenjangan Rwanda mencapai 0,86, yang berarti perempuan digaji 86% dari 1 dolar yang dibayarkan untuk laki-laki dengan pekerjaan yang sama.
Secara keseluruhan, WEF mengkaji tingkat disparitas gender di 144 negara berdasarkan tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, partisipasi politik, dan kesehatan warga. Hasilnya, angka kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di Indonesia mencapai 0,691 dan ini membuat Indonesia bertengger di peringkat 84 dalam hal kesetaraan gender. Data ini memperlihatkan bahwa Indonesia ketinggalan dari negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina (peringkat 10), Singapura (65), Vietnam (69), dan Thailand (75).
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf