tirto.id - Sandyakala Wikan Anantabrata bingung, antara kasihan atau marah setelah melihat sebuah meme. Isi ilustrasi itu ada tiga kolom. Kolom pertama, seorang perempuan berhijab dikejar-kejar lima orang pria, dengan keterangan ‘lulus SMA’. Kolom kedua, perempuan itu dikejar-kejar tiga orang pria dengan keterangan ‘lulus kuliah’. Sementara kolom terakhir, wanita itu mengejar seorang pria, dengan keterangan ‘lulus S3’.
“Waktu pertama kali lihat (meme) ini, aku tuh bingung antara marah atau kasihan. Marah karena (meme) ini tuh misleading banget, membuat—memaksa—memberikan pendapat bahwa perempuan itu sebenarnya enggak boleh berpendidikan tinggi. Dan bingung, karena banyak banget hal yang mestinya ditakutin, macam laba-laba,” katanya.
Wikan sendiri adalah seorang suami tamatan SMA yang sedang menemani istrinya melanjutkan studi S2 di Harvard University. Dan menurutnya, tak ada yang salah dari menjadi suami yang punya istri berpendidikan tinggi. Pernikahan, bagi Wikan, bukanlah tentang persaingan tentang siapa yang lebih pintar dan siapa yang lebih bodoh.
“Harus diakui, menghilangkan ego pria yang sudah diciptakan dari zaman kita kecil—bagaimana kita (pria) harus kuat, enggak boleh nangis, harus jadi pemimpin semua orang—itu sulit sekali. Even, cowok yang sudah progresif pun masih minder dan sulit menerima kenyataan bahwa istrinya atau pasangannya lebih pintar atau menghasilkan uang lebih banyak daripada dia,” tambah Wikan.
Menurutnya, perasaan tersebut sah-sah saja, selama “ego-ego ini tidak dikumpulkan menjadi satu dan dijadikan senjata untuk menyerang kebebasan perempuan dalam memilih.”
Indry Okraviani, aktivis kesetaraan gender dari Koalisi Perempuan Indonesia punya opini serupa. Menurutnya, di Indonesia saat ini tengah gencar gagasan untuk kembali menarik perempuan ke ranah domestik rumah tangga.
“Benar memang, pergerakan perempuan-perempuan Indonesia zaman sekarang lebih maju dari sebelumnya. Tapi di saat yang sama, tarikan perempuan kembali ke zona domestik juga sedang besar-besarnya. Misalnya, ya seperti anjuran ‘enggak apa-apa perempuan sekolah tinggi, tapi harus ingat kodratnya adalah menjaga anak di rumah’,” kata Indry.
Kesalahpahaman tentang beda kodrat dan konstruksi gender ini—seperti kata Wikan—bisa jadi sebuah senjata yang menyerang kebebasan perempuan. Dibesarkan budaya patriaki—yang mencampuradukan antara jenis kelamin dan gender—memang membuat pria dan wanita sering susah membedakannya.
Baca:Menyusun Kebijakan yang Tak Bias Gender
Jenis kelamin adalah sesuatu yang hadir secara lahiriah dan alami. Misalnya bayi berpenis disebut laki-laki, dan bayi bervagina disebut perempuan. Tentu penis dan vagina memiliki fungsi yang berbeda secara biologis, membuat laki-laki tidak akan bisa menstruasi ataupun melahirkan seperti perempuan.
Sementara gender adalah perbedaan peran, hak, kewajiban, kuasa, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Jika kelamin bersifat alami (nature), gender bersifat kultural, hasil bentukan sosial dan budaya, bisa sangat bersifat lokal dan berbeda-beda sesuai letak geografisnya, serta mempunyai sifat “menyesuaikan” dengan waktu, sebab gender seseorang berbeda-beda di daerah tertentu, di waktu tertentu pula.
Opini yang menyebut ‘perempuan harus menjaga anak di rumah’ adalah contoh penerapan gender.
Di banyak negara, kekeliruan itu mulai diluruskan lewat regulasi pemerintahnya. Misalnya di Swedia. Perempuan di Swedia boleh cuti hamil dan melahirkan selama 480 hari (1 tahun lebih), dan tetap digaji hingga 80 persen. Negara lain seperti Kroasia, Denmark, dan Serbia bahkan memberikan gaji seratus persen bagi perempuan pekerja yang cuti hamil, meski lamanya tak seperti yang ditawarkan Swedia. Sejumlah negara juga memberikan cuti pada pria yang ingin menemani istri dan anaknya selama tiga bulan (atau lebih) pasca melahirkan.
Mereka sadar bahwa hamil dan melahirkan adalah bagian kodrat perempuan, sehingga diberikan cuti layak. Namun, merawat anak bukanlah cuma pekerjaan ibu belaka, sehingga ayah juga diberikan kesempatan cuti layak demi tumbuh kembang anaknya.
Baca:Cara Indonesia Memperlakukan Perempuan
Di Indonesia, aturan cuti bagi perempuan ini diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Ada ketentuan hak beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan (masing-masing 1,5 bulan sehingga total 3 bulan), tapi tak ada aturan tentang cuti untuk ayah—merawat anak dan istri pasca melahirkan.
Meluruskan kekeliruan paradigma ini, menurut International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Koalisi Perempuan Indonesia, dan OXFAM, adalah sebuah keharusan. Untuk itu mereka menganjurkan 10 cara menurunkan ketimpangan gender di Indonesia. Seperti: merealokasi 5-10 persen anggaran pendidikan di APBN 2018 (Rp440 triliun) untuk meningkatkan investasi SDM Perempuan.
Langkah konkretnya bisa dimulai dengan melakukan uji coba di 20 provinsi dan 50-100 kabupaten dan kota untuk memastikan semua anak perempuan Indonesia mencapai pendidikan dasar menengah hingga 12 tahun; Membuat kebijakan baru: Beasiswa LPDP harus melahirkan 500 ribu ilmuwan perempuan hingga 2045.
Mereka juga mendorong peningkatan kapabilitas pelaku UMKM terutama usaha yang digerakkan perempuan; Mempromosikan pekerjaan pengasuhan, dan membuat aturan yang lebih jelas; Mencegah perkawinan dini dengan menaikkan usia perkawinan perempuan, menyediakan fasilitas penitipan anak yang aman dan nyaman, menerapkan cuti kerja bagi laki-laki yang ingin menemani istri cuti hamil dan pengasuhan anak.
Ada juga usulan agar pemerintah membentuk “Satgas Pemajuan Perempuan”; dan mendorong pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyediakan kajian dan data yang terus diperbarui tentang perempuan putus sekolah, perempuan menikah di usia anak, diskriminasi akses perempuan untuk mendapat pekerjaan, kekerasan terhadap perempuan, dan perdagangan perempuan dan anak.
Kepada swasta, mereka juga mendorong untuk: memberlakukan kuota 30 persen perempuan di jabatan menengah dan jabatan tinggi serta harus memberlakukan kebiajakan pro-perempuan seperti: peraturan ketat tentang pencegahan eksploitasi dan kekerasan seksual, serta cuti yang layak dan menghormati hak pekerja perempuan.
Upaya-upaya tersebut adalah gerakan yang harus dilewati pemerintah untuk mengganti paradigma lama tentang hak-hak perempuan. Kemajuan perempuan di sebuah negara akan berdampak pada kemajuan peradaban dan ekonominya. Untuk itu, tugas negara adalah menjadi penjamin terselenggaranya regulasi yang mendukung para perempuan.
Menurut Misiyah dari Kapal Perempuan, sebuah lembaga swadaya masyarakat, hal-hal di atas sangat diperlukan agar ketimpangan gender di Indonesia dapat berkurang. Laporan World Economic Forum menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan ke-88 dalam indeks kesenjangan gender 2016. Membuat negeri ini jauh tertinggal di belakang negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Singapura, Laos, Thailand, dan Vietnam.
Angka kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di Indonesia mencapai 0,628. Angkanya turun dari peringkat ke-68 pada 2006 silam dengan capaian 0,654.
Angka-angka ini diperoleh dari tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, partisipasi politik, dan kesehatan warga yang ada di 144 negara yang disurvei. Melalui survei ini, perempuan masih terlihat sebagai warga kelas dua, yang hak dan kebutuhannya masih belum bisa sepenuhnya diakomodasi Indonesia sebagai negara. Ketimpangan itu tak cuma membuat ekonomi negara rugi, tapi juga melanggengkan diskriminasi dan kekerasan yang dialami para perempuan.
Penulis: Aulia Adam