tirto.id - Foto yang diambil dari sudut atas tersebut menampilkan seorang wanita yang tengah menyusui anaknya. Tagir, bayi berumur satu bulan tersebut, tertidur nyenyak di atas tangan kanan bertato ibunya.
Aliya Shagieva, si perempuan tersebut, mengunggah foto itu di media sosial April lalu. Ia memberi keterangan tambahan: "Saya akan memberinya makan, kapan pun dan di manapun dia butuh makan."
Respons publik beragam menanggapi foto putri bungsu Presiden Kyrgyztan dan bayinya tersebut. Shagieva diserang di media sosial dan dituduh melakukan perilaku tidak bermoral. Mereka yang tidak suka menganggapnya berpakaian terlalu terbuka dan vulgar.
Foto ini dipublikasikan juga oleh koran dan situs di sejumlah negara termasuk di Eropa, sehingga menarik perhatian sampai di luar Kyrgyzstan. Banyak pengguna media sosial memujinya karena mendobrak hal yang tabu seputar tubuh perempuan.
Kendati dukungan juga tidak kalah banyak, akan tetapi Shagieva akhirnya menyerah. Ia menurunkan foto tersebut kemarin dan angkat bicara terkait kritik dari masyarakat untuknya. Shagieva menyatakan bahwa budaya yang terlalu blak-blakan menampilkan seksualitas tubuh perempuan sering menyebabkan kemarahan yang melebihi citra perempuan itu sendiri.
"Tubuh yang saya tampilkan tidak vulgar, itu fungsional," kata perempuan berusia 20 tahun itu dalam sebuah wawancara dengan BBC.
"Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan fisiologis bayi saya, bukan untuk seksual."
Shagieva dikenal karena perilaku progresifnya. Dia melahirkan anak laki-laki enam bulan setelah menikah dengan suaminya yang merupakan orang Rusia, Konstantin. Ia sering mengunggah gambar dirinya dan anaknya di Instagram.
Baca juga
- Aliya Shagieva Merespons soal Kontroversi Foto Menyusui
- Inisiasi Menyusu Dini yang Tak Boleh Diabaikan
Kebijakan Menyusui di Indonesia
Kyrgyzstan sebelumnya menjadi bagian Uni Soviet. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Faktor demografi itulah yang membuat polemik terkait foto tersebut muncul.
Perkara menyusui di ruang publik sendiri masih kerap menjadi bahan perbincangan di Indonesia. Christie Nathalia J.S., Wakil Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Cabang Yogyakarta, kepada Tirto menyatakan bahwa menyusui di ruang publik sebenarnya bukan hal yang baru. Fenomena tersebutlah bukan tren yang baru terjadi.
“Para ibu menyusui di zaman dahulu kala telah melakukannya lebih dulu. Bayi-bayi manusia menyusu pada ibunya, sama seperti mamalia yang lain,” kata Christie.
Menurutnya, menyusui adalah suatu hal yang alamiah dan kodrati. Payudara seorang wanita secara kodrat adalah sumber kehidupan bagi bayi.
"Bila kemudian ada orang-orang atau oknum tertentu, yang memandang bahwa menyusui di ruang publik itu tidak pantas dilakukan, maka mereka memandang payudara sebagai objek seksualitas saja. Beruntunglah di Indonesia ini para bayi dan ibu menyusui dilindungi hak-haknya untuk mendapatkan ASI dan untuk menyusui," tambahnya.
Peraturan tersebut tertulis dalam Pasal 128 UU no. 36/2009 tentang Kesehatan, yaitu: setiap bayi yang lahir berhak untuk mendapatkan ASI eksklusif. Dan juga diatur dalam Pasal 128 UU no. 36 tahun 2009, yaitu: Pemberian hanya ASI selama 6 bulan dan dapat terus dilanjutkan sampai usia 2 tahun. Pasal dalam UU Kesehatan ini kemudian menjadi payung dari beberapa Peraturan Pemerintah, Permenkes dan juga Perda yang mengatur lebih lanjut tentang pemberian ASI.
Di beberapa fasilitas publik kini bahkan menyediakan ruang untuk menyusui. Hal itu memang sudah merupakan amanat Pasal 22 UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal itu berbunyi: "Negara & pemerintah berkewajiban & bertanggungjawab memberikan dukungan sarana & prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Sarana dan prasarana itu salah satunya adalah menyediakan ruang menyusui."
Terkait hak menyusui anak bagi para ibu yang bekerja pun diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pengusaha diwajibkan memberi peluang yang layak pada karyawan perempuan yang memiliki bayi yang masih menyusui. Peluang-peluang yang sedemikian, termasuk di antaranya, membangun fasilitas yang sesuai di tempat kerja yang memungkinkan para ibu menyusui di tempat kerja, juga memberikan keleluasaan untuk menyusui selama jam kerja, sesuai dengan peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2012 berkenaan dengan Jaminan Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif mewajibkan setiap manajer di tempat kerja dan administrator fasilitas publik untuk memberlakukan peraturan internal yang mendukung dan membantu keberhasilan program pemberian ASI. Peraturan internal yang sedemikian menunjukkan dukungan perusahaan terhadap pemberian ASI dan memungkinkan perusahaan untuk mengimplementasikan kebijakan Tempat Kerja Ramah Laktasi.
“Karena itu berbahagialah para ibu menyusui di Indonesia, pemerintah kita sangat mendukung pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia dua tahun lebih. Menyusui di ruang publik tidak lagi menjadi halangan untuk memberikan ASI kepada bayi kita,” kata Christie kepada Tirto.
Pentingnya Laktasi
Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake menegaskan bahwa susu ibu adalah makanan terbaik yang dapat diterima seorang bayi. Sehingga UNICEF, bersama WHO, merancang strategi global dalam pemberian nutrisi pada bayi dan anak kecil dengan merekomendasikan ASI eksklusif selama masa 6 bulan.
Selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan mendapatkan perlindungan yang lebih kuat terhadap infeksi dibandingkan bayi-bayi yang tidak mendapatkannya. Memberikan ASI pada bayi untuk jangka waktu yang lebih lama berdampak pada perlindungan yang lebih kuat.
Menyusui bayi/laktasi optimal telah menyelamatkan 1-2 juta jiwa setiap tahun dan mengurangi persentase kematian bayi akibat Infeksi Pernapasan Akut dan diare antara 50-95%. ASI juga dapat meningkatkan efektivitas imunisasi secara signifikan dan mengurangi kebutuhan akan pengganti cairan tubuh yang hilang lebih dari 50%.
Selain itu, diketahui bahwa pemberian ASI yang maksimal juga dapat meningkatkan inteligensia dan kesiapan untuk belajar secara signifikan. Dari segi psikologis, juga dapat menekan jumlah anak yang ditinggalkan orang tuanya di rumah sakit dan memperkuat ikatan protektif antara ibu dan anak. Yang utama adalah mendorong pertumbuhan dan menyediakan sebagian besar kebutuhan nutrisi bayi.
Baca juga
Menyusui di Ruang Publik di Beberapa Negara
Menyusui di depan umum adalah masalah perdebatan di seluruh dunia, termasuk di Inggris. Di negara tersebut, seorang perempuan diminta menutup payudara ketika menyusui bayinya. Satu kasus terkait hal tersebut terjadi di restoran terkenal di London Claridges Hotel tiga tahun lalu. Kasus tersebut memicu kemarahan banyak pihak
Terkait hal ini, dilansir dari wawancara BBC, perempuan dari Iran membagikan pengalaman mereka mengenai tekanan yang mereka rasakan ketika menyusui di ruang publik.
"Orang-orang menatap saya dari dekat, saya harus menutupi diri saya dan bayi atau membiarkannya lapar," kata seorang ibu di Teheran.
Nageen, perempuan Afghan juga bercerita tentang pengalamannya belanja bersama dengan ipar perempuannya yang harus menyusui.
"Kami terpaksa harus membeli sejumlah hadiah agar ia [iparnya] dapat menyusui bayinya di sebuah toko. Dia duduk di sana dan menutupi dirinya dengan sebuah selendang yang besar."
Seorang perempuan dari Kabul, Afghanistan, Zarifa Ghafari, turut membagikan kisah dari keluarga besarnya, yang mengatakan ibu-ibu harus pergi ke ruangan tersendiri untuk menyusui.
"Dia tidak dapat melakukannya di depan yang lain. Jika dia melakukannya dia akan menghadapi reaksi keras dari anggota keluarga yang lebih tua. Ini merupakan sebuah isu yang besar, tetapi secara perlahan ada perubahan budaya."
Seorang pengguna Facebook di Turki mengatakan, dia sendiri memilih untuk menutupi payudaranya ketika menyusui bayinya. "Saya tidak melakukannya di depan orang. Saya menggunakan penutup. Banyak orang yang masih terangsang dengan payudara."
Sementara itu, pada Mei lalu, mantan senator Australia Larissa Waters dipuji saat dia menyusui bayinya di parlemen.
Victoria Tahmasebi, seorang perempuan dan ahli studi gender di Universitas Toronto, turut mengomentari foto Larissa melalui cuitan di Twitter: "Dari sudut pandang kapitalis, payudara perempuan dapat menghasilkan keuntungan sepanjang mereka diseksualisasi. Menyusui di depan publik membuat payudara perempuan kurang seksi, karena itu tidak dapat diterima," katanya.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Zen RS