tirto.id - Berbeda dari persiapan kelahiran, percayalah kalau fase menyusui punya lebih banyak tantangan yang jarang dibicarakan.
Selepas melahirkan, P, ibu dari satu anak, baru menyadari bahwa proses menyusui bukan hanya berat, melainkan juga menguras mental dan emosi.
Dia tahu bahwa perlu adaptasi untuk terlahir kembali sebagai manusia baru: ibu. Tapi tak pernah menyangka prosesnya sungguh berdarah-darah.
Awal melahirkan, P cuma tahu soal pentingnya Inisiasi Menyusui Dini (IMD), yakni proses menempelkan mulut bayi ke payudara ibu. Selebihnya, P buta ilmu menyusui. Dia sempat berpikir bahwa bayi makan seperti manusia dewasa, 3 kali sehari. Karena itu P tak selalu memberi ASI tiap anaknya menangis.
Di hari ketiga pasca-persalinan, P mulai khawatir karena si bayi belum juga buang air kecil maupun buang air besar. Berat badan bayinya merosot sampai 500 gr lebih.
Dia putuskan pergi ke konselor laktasi dan sumber masalah pun ditemukan: bayi P tidak menyusu dengan benar.
“Selain karena frekuensi menyusunya jarang, perlekatan mulut bayi dengan payudara juga salah. Anakku terlihat menyusu, padahal tidak,” P berbagi pengalaman.
Selain itu, P juga punya kondisi yang disebut inverted nipple, yaitu payudara dengan puting melesak masuk ke dalam. Menurut Healthline, kondisi ini dialami oleh sekitar 9-10 persen perempuan. Puting melesak atau puting datar menjadi salah satu rintangan yang jarang dibicarakan dalam proses menyusui.
Konselor laktasi membantu P dan bayinya membuat perlekatan menyusu dengan posisi yang paling memungkinkan puting keluar, yakni duduk. P diminta belajar melekatkan mulut bayi hingga mengembang saat menyusu.
“Aku harus menarik putingku dengan alat, butuh waktu sekitar 45 menit supaya bayiku bisa menyusu dengan benar. Mulutnya tidak boleh kempot karena artinya ASI tidak masuk,” lanjut P.
Bayangkan, kamu perlu menyusui setiap dua jam sekali dan butuh perjuangan selama 45 menit agar bayi bisa menyusui dengan benar. Praktis, P tidak pernah tidur pulas di malam hari.
Di antara waktu “berjuang” itu, P dan bayinya sama-sama menangis. Si bayi tak sabar ingin segera menyusu, sementara P kewalahan sekaligus menahan rasa sakitnya menyusui.
“Saat bayi sudah bisa melekat, aku masih harus menahan kuatnya isapan bayi, bikin payudara terasa disilet-silet!”
Masa-masa menyusui adalah periode rentan bagi ibu terserang risiko depresi pascapersalinan (PPD). Penelitian pada lebih dari 2.500 perempuan menyusui yang terbit di jurnal Obstetrics and Gynecology (2011) menyebut perempuan dengan pengalaman menyusui negatif dan rasa sakit parah saat menyusui punya risiko depresi pada dua bulan pertama pasca-persalinan.
“Banyak perempuan menderita kegagalan laktasi dan PPD. Bahkan 8,6 persen responden masuk dalam kriteria depresi berat,” tulis studi tersebut.
Kami kemudian berbincang dengan Konsultan Laktasi dari Klinik Bamed Teresia Susilo untuk mendapat informasi penanganan puting terbenam dan solusi lain atas masalah menyusui.
Teresia menyebut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah punya pedoman untuk meminimalisasi kegagalan laktasi, yakni berkontak dengan konselor laktasi.
“Perlu minimal 7 kontak dengan konselor laktasi untuk meningkatkan peluang keberhasilan menyusui ekslusif,” ungkap Tere, sapaan karib sang dokter, dalam webinar Klinik Bamed bertajuk “12 Tahun Inovasi Tanpa Henti” beberapa waktu lalu.
Kontak dengan konselor dibagi dalam beberapa periode. Dua kunjungan sebelum proses kelahiran untuk membahas manfaat, manajemen, dan persiapan menyusui. Kontak selanjutnya dilakukan sesaat setelah kelahiran dengan melakukan IMD.
Kemudian, kontak keempat dilakukan dalam 24 jam berupa bimbingan posisi menyusui dan perlekatan mulut bayi ke payudara. Kontak kelima dilakukan dalam 1 minggu kelahiran sebagai bentuk dukungan menyusui. Dua kontak terakhir dilakukan 1 dan 2 bulan setelah kelahiran.
“Tapi sepanjang pengalaman saya, satu kali sebelum melahirkan pun belum tentu. Rujukan ini belum umum. Jika dibuat rasio, calon ibu yang sudah melek konseling sebelum persalinan hanya 3 dari 100 kunjungan sebulan,” lanjutnya.
Padahal menurut Tere, ilmu menyusui harus dipersiapkan sebelum persalinan. Pasalnya, di masa pascapersalinan, ibu tak memiliki waktu luang karena fokus mengurus bayi. Konseling laktasi juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksesan menyusui.
Ibu P berhasil menyusui bayinya secara ekslusif setelah melakukan beragam intervensi dan adaptasi. Butuh waktu dua minggu untuk melepas segala alat bantu menyusui dan akhirnya bisa menjajal berbagai posisi—tak cuma duduk, seperti di awal intervensi.
Kasus puting terbenam atau puting datar seperti yang dialami P terjadi akibat faktor genetik. Tere mengatakan ada banyak kasus serupa yang dia tangani di Klinik Bamed. Biasanya, dia akan melakukan intervensi untuk memperbaiki posisi menyusui dan perlekatan—persis seperti pengalaman P.
Kemudian, puting akan berusaha ditarik menggunakan nipple puller, sebuah alat berbentuk seperti terompet mini dengan balon di ujung kerucutnya. Fungsi alat ini layaknya penyedot untuk menarik puting agar lebih menonjol.
Jika pasien dengan kondisi tersebut datang sebelum persalinan, mereka akan diminta menggunakan alat lain yang disebut nipple former.
Alat ini berbentuk seperti batok kelapa dengan luasan diameter yang tertutup dan hanya bolong sebesar ibu jari di bagian tengah. Nipple former ditempatkan pada payudara selama lebih dari 8 jam sehari supaya puting lebih menonjol.
“Setelah proses ‘belajar’ dan adaptasi terhadap intervensi menyusui, mereka akan segera bisa, butuh waktu 3-7 hari. Pada kasus yang berat, yakni puting kaku, 2 minggu sampai 1 bulan,” terang Tere.
Setelahnya bayi akan menyusu dengan normal dan puting tak lagi perlu mendapat intervensi. Ia akan menonjol dengan sendirinya berkat isapan bayi. Asalkan selama periode adaptasi tersebut si ibu tetap kukuh tak memakai dot, maka bayi akan cepat beradaptasi dalam proses menyusui.
Selain intervensi tersebut, kata Tere, yang juga penting adalah sistem pendukung yang baik. Ia memainkan peranan besar dalam keberhasilan menyusui. Karenanya, para suami perlu ikut berproses, bukan sekadar menyerahkan urusan menyusui bayi ke pihak perempuan.
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang