tirto.id - Selepas beredarnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) berkop KPK pada Senin (6/11) lalu di kalangan pewarta, nama Ketua DPR Setya Novanto kembali menjadi sorotan media. Pasalnya, surat yang didalamnya terdapat nomor Sprin.Dik-113/01/10/2017 dan ditandatangani Direktur Penyidikan Aris Budiman itu menyatakan dimulainya penyidikan terhadap Novanto sejak 31 Oktober 2017 untuk kasus korupsi proyek KTP elektronik.
Meski KPK belum mengamini kebenaran isi surat itu, namun Fredeich Yunadi, kuasa hukum Novanto lekas-lekas menyatakan kliennya tidak perlu memenuhi panggilan pemeriksaan KPK selama tidak ada izin tertulis dari presiden. Ia mengacu aturan yang tertuang dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014.
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang dimaksud Fredrich berbunyi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”. Sedangkan putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 berisi tentang pengubahan frasa “persetujuan tertulis MKD” dalam pasal tersebut menjadi “persetujuan tertulis dari presiden”.
Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Surat Mangkir Pemeriksaan KPK Inisiatif Novanto
Tak Perlu Izin Presiden
Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menjelaskan apabila SPDP yang beredar benar, maka pemeriksaan Novanto tidak membutuhkan izin presiden. Karena SPDP itu menandakan Novanto berstatus sebagai tersangka bukan saksi. “Tidak perlu izin [presiden] menurut saya,” kata Bivitri kepada Tirto, Rabu (8/11).
Bivitri melanjutkan izin tertulis presiden yang mengacu pada Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tidak berlaku apabila tindak pidana yang disangkakan kepada anggota DPR merupakan tindak pidana khusus sebagaimana terdapat dalam Pasal 245 ayat (3) butir C. Di sana dinyatakan ketentuan ayat (1) Pasal 245 tidak berlaku apabila anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus.
Dalam konteks itu, kata Bivitri, kasus korupsi proyek KTP elektronik yang dijeratkan KPK kepada Novanto dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. “Pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam undang-undang khusus seperti korupsi dan terorisme bukan pidana umum seperti yang diatur dalam KUHP,” ujarnya.
Baca juga:
- SPDP Setya Novanto Bocor, KPK Akui Ada Sprindik Baru Kasus e-KTP
- PT DKI Sebut Setya Novanto dalam Putusan Banding Korupsi E-KTP
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga punya pendapat senada. “Kalau sudah tersangka, untuk dipanggil KPK tidak perlu persetujuan presiden, bisa dijemput paksa juga,” kata Mahfud mengacu Pasal 245 ayat (3) butir C UU MD3 seperti dikutip Antara.
Meski Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pernah membatalkan penetapan tersangka Novanto lewat sidang praperadilan, tetapi KPK bisa menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka. “Saya sudah bilang, begitu dia menang di praperadilan, tidak sampai satu jam saya bilang itu bisa ditersangkakan lagi. Karena dalam logika publik dan logika hukum yang saya pelajari memang sudah cukup dua alat bukti,” ujarnya.
Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan selama Novanto berstatus sebagai saksi, maka pemeriksaan terhadapnya tetap membutuhkan persetujuan tertulis dari presiden. Ia mengacu pada “prosedur khusus” yang terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan UU ini.”
Irman mengatakan bagian penjelasan pasal 46 ayat (1) tersebut menyatakan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
“Sehingga, dalam hal kasus Setya Novanto yang belum ditetapkan sebagai tersangka, saat kpk melakukan pemanggilan terhadap Setya Novanto, KPK harus tunduk pada pasal 245 ayat (1) jo Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014,” katanya kepada Tirto.
Baca juga: Alasan KPK Belum Umumkan Tersangka di Sprindik Baru Kasus e-KTP
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai izin presiden untuk memeriksa anggota DPR mencerminkan permasalahan diri para pembuat regulasi. Ia mengistilahkan aturan tersebut merupakan ide kuno nan purba. “Sulit dipahami bagaimana regulator baik di DPR maupun MK masih punya ide kuno untuk memperumit proses penegakan hukum terhadap Pejabat dengan pasal penghadang ‘izin presiden’,” ujarnya kepada Tirto.
Bukan cuma itu, ia menilai putusan MK menujukkan semangat korupsi juga telah menjangkiti lembaga terhormat tersebut. "Peraturannya tentang "perlunya izin Presiden" bagi Penegak Hukum dalam memanggil atau memeriksa Pejabat merupakan bukti bahwa semangat koruptif itu juga merasukki terhormat seperti MK," katanya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar