Menuju konten utama

Kuasa Hukum Sebut Surat Mangkir Pemeriksaan KPK Inisiatif Novanto

Dalam surat yang dikirimkan DPR kepada KPK menyatakan bahwa Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebelum ada izin presiden.

Kuasa Hukum Sebut Surat Mangkir Pemeriksaan KPK Inisiatif Novanto
Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto tiba untuk memimpin Rapat Pengurus Pleno DPP Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu (11/10/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Kuasa Hukum Setya Novanto Fredrich Yunadi membantah bahwa dirinya berinisiatif mengirimkan surat mangkir panggilan pemeriksaan KPK yang dilayangkan Ketua DPR Setya Novanto kepada KPK melalui Badan Keahlian dan Sekretariat Jenderal DPR.

"Dalam hal ini semua dilakukan oleh Pak Setnov sendiri bukan saya. Saya tidak bisa menyentuh organisasi, saya bukan advokat yang disewa oleh lembaga DPR," kata Fredrich di kantornya, Gandaria, Selasa (7/11/2017).

Fredrich menyatakan bahwa dirinya hanya memberikan saran atau Legal Opinion (LO) kepada Novanto sebagai kliennya. Lalu, Novanto sendiri yang meneruskan kepada Sekretariat Jenderal DPR.

"KPK kan menuliskan di surat pemanggilan pemeriksaan kepada Pak Novanto sebagai Ketua DPR. Jadi wajar kalau dibalas menggunakan surat dengan kop," kata Fredrich.

Dalam surat yang dikirimkan oleh DPR kepada KPK kemarin, (6/11) itu menyatakan bahwa Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebelum ada izin presiden.

Baca: Wapres JK: Setya Novanto Diperiksa KPK Tak Perlu Izin Presiden

Mengenai itu, Fredrich mengaku menggunakan pertimbangan hukum terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 soal uji materi Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Fredrich menafsirkan, putusan MK tersebut membatalkan Pasal 245 secara keseluruhan. Padahal dalam amar putusan hanya membatalkan ayat (1) yang menyatakan, 'Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.'

Sehingga menurut Fredrich Pasal 245 ayat (3) yang mengecualikan pemanggilan dan penyidikan terhadap anggota DPR pelaku tindak pidana khusus (korupsi, narkoba, dan terorisme) tetap bisa dilakukan tanpa persetujuan presiden.

Tafsiran tersebut pun diklaim telah didukung oleh sejumlah pakar hukum. "Karena itu bukan pendapat dari saya. Dari profesor-profesor berpendapat seperti itu. Itulah yang kami ingin sampaikan ke masyarakat supaya tahu bahwa hormatilah anggota DPR. DPR itu kan dipilih oleh kita semua," kata Fredrich.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal DPR Damayanti juga mengaku tak menginisiasi surat tersebut. Ia mengaku hanya menandatangani surat penolakan pemeriksaan Ketua DPR Setya Novanto oleh KPK yang dibuat oleh tim Biro Pimpinan DPR.

"(Pembuatan surat) ya timnya biro pimpinan, ya. Saya enggak tahu waktu itu siapa yang buat, tapi argumennya apa saya bilang," ujar Damayanti, di Jakarta, Senin (6/11).

Ia pun mengaku tidak turut serta dalam pembahasan surat tersebut karena tengah berada di luar kota. Menurutnya, ia baru menandatangani surat itu pada Senin (6/11), jelang pemeriksaan Setnov sebagai saksi di KPK.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto