tirto.id - Sebentar lagi, warga dari beberapa daerah di Indonesia akan menggunakan hak suaranya. Mencoblos pada sebuah surat suara dan lalu dimasukkan ke dalam kotak. Selanjutnya, pihak penyelenggara akan menghitung hasil coblosan warga yang memiliki hak suara tersebut. Meskipun teknologi kian hari kian berkembang, teknik pemilihan tidak mengikuti perkembangan tersebut. Setidaknya, hal itulah yang terjadi di Indonesia.
Amerika Serikat tentu berbeda daripada Indonesia. Laman Stanford menyebutkan mesin pemilihan elektronik telah digunakan pada ajang demokrasi di Amerika Serikat pada dekade 1990an. Di tahun 2004, 30 persen pemilih yang teregistrasi memilih menggunakan mesin pemilihan elektronik untuk memberikan hak suara mereka.
Alasan utama digunakannya teknologi dalam proses demokrasi di Amerika Serikat adalah kemudahan dan waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat. Hasil pemilihan akan sesegera mungkin diketahui dan diumumkan.
Secara umum, sebagaimana diberitakan Business Insider, Amerika Serikat mengenal 3 teknik dalam proses pemilihan atau penggunaan hak suara.
Pertama adalah menggunakan hand-counted paper ballout. Cara ini mirip dengan yang ada di Indonesia. Pemilih tinggal menandai siapa calon yang ia kehendaki untuk dipilih di dalam surat atau kertas suara. Selanjutnya, pihak penyelenggara akan menghitung pilihan tersebut secara manual. Pilihan teknik ini mulai ditingalkan oleh banyak negara bagian di Amerika Serikat.
Kedua yakni paper ballout with optical scan. Ini merupakan perbaikan versi pertama. Namun, saat penghitungan surat suara, penyelenggara menggunakan mesin pemindai. Data pindaian akan dimasukkan ke dalam sistem dan selanjutnya, data tersebut akan dihitung. Versi ini menyingkat lebih banyak waktu daripada versi pertama.
Ketiga adalah direct recording electronic (DRE). Pemilih tinggal memilih pilihannya dalam layar sentuh atau tombol tertentu. Semua proses menggunakan mesin. Dalam sistem ini, pemilih tidak memiliki opsi untuk memverifikasi pilihannya selepas memilih. Kelemahan tersebut, akhirnya diperbarui. Mesin baru dari teknik ini, menggunakan semacam struk pasca memilih untuk memberitahu si pemilih, kepada siapa tadi ia menggunakan hak suaranya.
Tapi, tidak semua pemilih bisa leluasa memilih teknik apa yang akan mereka gunakan. Menurut data Pew Research 2016, 47 persen pemilih tinggal di wilayah yang hanya mengadopsi teknik optical-scan, 28 persen pemilih tinggal di wilayah yang hanya mengadopsi teknik DRE dalam menggunakan hak pilihnya, dan hanya 19 persen pemilih tinggal di wilayah yang memanfaatkan keduanya.
Apakah mempercayakan hak suara kepada mesin cukup aman?
Lawrence Norden dari Brennan Center, firma keamanan, dalam laporan Wired mengatakan, “pindah ke sistem pemilihan elektronik memecahkan banyak masalah, tapi juga menciptakan banyak masalah baru.”
Norden menekankan pada uzurnya usia mesin-mesin elektronik yang dipakai untuk berdemokrasi. Mayoritas mesin yang dipakai untuk memilih masih menggunakan Windows XP. Sistem operasi ini tidak diperbarui lagi sisi keamanannya oleh Microsoft sejak April 2004. Menggunakan Windows XP dalam mesin-mesin pemilih sama artinya dengan berlayar dengan perahu yang bolong.
Selain itu, menurut laporan The Telegraph, 43 dari 50 negara bagian di Amerika Serikat menggunakan mesin yang tertinggal satu dekade. Para peneliti keamanan dalam laporan itu mengungkapkan bahwa mesin yang digunakan pemilih sekarang ini sesungguhnya tidak didesain untuk masa kini. Mesin-mesin tersebut lebih mirip benda yang diambil dari masa lampau melalui mesin waktu dan digunakan di masa kini. Hal semacam ini juga kerap terjadi di Indonesia. Banyak mesin kehabisan suku cadang sehingga proses kanibal antarmesin menjadi hal yang jamak dilakukan.
“Jika kamu memiliki mesin yang tidak berfungsi atau berfungsi tapi lambat, hal tersebut dapat membuat banyak masalah, dan mencegah orang-orang untuk memilih,” kata Norden.
Norden juga menekankan bahwa mesin lain dengan manusia. Mesin dibangun dari ribuan kode dan tentu tidak bisa bekerja seperti kita. Apalagi, serangan malware dan Ddos mengancam setiap saat pada mesin-mesin yang akan dipakai oleh para pemilih. Malware merupakan perangkat lunak yang diciptakan dengan maksud jahat tertentu, sedangkan serangan Ddos merupakan serangan berulang-ulang untuk menghancurkan sistem atau server.
Pada 2016, telah terjadi serangan Ddos yang sangat massif. Serangan itu memanfaatkan kode jahat bernama “mirai” dan memanfaatkan perangkat Internet of Things untuk melakukan request berulang-ulang pada suatu server target. Banyak website-website populer di Amerika Serikat, tumbang oleh serangan ini.
Tentu, untuk meningkatkan sisi keamanan dari mesin-mesin yang dipakai dalam pemilihan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Leporan The Telegraph menyebutkan setidaknya butuh uang hingga $1 milyar untuk memperbarui mesin-mesin yang ketinggalan zaman yang digunakan pada pemilihan umum di Amerika Serikat tersebut.
Dikutip dari PC World, kasus yang menimpa di Wisconsin dalam pemilihan presiden tahun lalu adalah contoh yang nyata rawannya mesin-mesin yang digunakan dalam berdemokrasi. Jill Stein, kandidat dari Green Party meminta panitia melakukan perhitungan ulang suara.
Dicurigai, ada masalah dengan sistem pemilihan di wilayah tersebut dan mengakibatkan kekacauan perolehan suara. Lebih lanjut, PC World mengutip para ahli komputer yang mengatakan, “mereka [ahli komputer] memperingatkan pada sisi kerawanan mesin.”
Amerika Serikat, negara yang unggul dalam teknologi, bisa mengalami masalah demikian dari mesin-mesin pemungutan suara mereka. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Dalam tulisan berjudul “Kesiapan Aparatur Pemerintah Dalam Menghadapi Cyber Crime di Indonesia” karya Rudi Hermawan, 17 April 2004, situs resmi KPU di-hack oleh seorang pemuda bernama Dani Firmansyah asal Yogyakarta. Dani melakukan aksi deface, yakni mengganti tampilan halaman situs seperti yang ia kehendaki. Logo partai peserta diganti dengan logo-logo yang lucu.
Aksi Dani tersebut merupakan aksi iseng, bukan merupakan aksi terstruktur. Jika keisengan saja bisa demikian, bagaimana jika ada Dani dengan versi yang lebih berani? Risiko yang dihadapi KPU bukan sekadar deface. Terbaru, saat debat kandidat pilkada DKI, situsweb streaming NET TV di-deface oleh hacker.
Karena literasi teknologi di Indonesia belum merata, memanfaatkan teknologi dalam proses pemungutan suara bukanlah pilihan yang bisa diputuskan segera. Namun, solusi atas persoalan teknis yang kini dihadapi harus dipikirkan. Cara pencoblosan yang kini diterapkan di Indonesia membuat proses perhitungan menghabiskan waktu terlalu lama.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani