tirto.id - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk diminta menghitung ulang penggunaan dana sekitar Rp7,7 triliun atau 85 persen dari emisi IPO dengan nilai Rp9,05 triliun. Hal itu lantaran realisasi energi dari panas bumi tersebut membutuhkan investasi yang besar.
Dosen Teknik EBT Universitas Darma Persada, Riki F Ibrahim mengatakan pada best practice sebelumnya, tiap 1 MW dari PLTP membutuhkan nilai investasi sekitar 5 juta dolar AS. Angka ini hanya untuk penyediaan energi primer, turbin, dan generator hingga menghasilkan listrik. Belum termasuk biaya pembebasan lahan.
“Untuk itu, harus dihitung ulang,” ungkapnya dalam pernyataannya, Senin (6/3/2023).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut, rata-rata investasi untuk pembangkit panas bumi berada pada kisaran 5 - 7 juta dolar AS per MW.
Jika dihitung, jika 1 MW membutuhkan sekitar Rp75 miliar maka uang hasil IPO yang ditarget menjadi 600 MW sangat tidak masuk akal. Jika dibagi antara Rp7,7 triliun dengan Rp75 miliar biaya investasi 1 MW maka hanya didapat 102 MW saja.
Pun demikian, Riki yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) melanjutkan, masih ada risiko berupa kegagalan yang mengintai saat pengeboran untuk mendapatkan panas bumi.
“PGE harus bisa memaksimalkan tingkat kesuksesan pengeboran sumur panas bumi dengan potensi kegagalan 30 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan best practice di masa lalu yang potensi gagalnya sangat tinggi," katanya.
Sepertinya, perusahaan berkode saham PGEO itu juga sudah menyadari adanya risiko tersebut. Perseroan menyadari industri panas bumi tidak memiliki metodologi yang dibakukan sebagai standar tunggal secara internasional mengenai cara data cadangan sumber daya panas bumi diperkirakan, dicatat dan disertifikasi.
Oleh sebab itu, papar Riki penentuan cadangan sumber daya panas bumi merupakan kegiatan yang bersifat probabilistik.
“Dengan demikian, ada kemungkinan gagal sehingga tidak terdapat jaminan bahwa data cadangan sumber daya panas bumi itu dapat mencerminkan hasil aktual,” pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin