Menuju konten utama

Pesta Boga di Game of Thrones

Dalam serial tenar ini, makanan menempati posisi penting selain perang, intrik politik, dan seks.

Pesta Boga di Game of Thrones
Game of Thrones. FOTO/HBO

tirto.id - Mungkin tak ada adegan paling memuaskan bagi para penonton film Game of Thrones selain "Purple Wedding." Alkisah, Raja Joffrey Baratheon dari House of Lannister mengadakan pesta pernikahan dengan Margaery Tyrell dari House of Tyrell. Pernikahan ini kemudian jadi ikatan yang menguatkan koalisi dua kerajaan besar. Para penonton GoT tahu, Joffrey adalah manusia paling tengik di seluruh Westeros. Semua pembencinya menanti kapan ia mati mengenaskan.

Setelah upacara pernikahan di Great Sept of Baelor, pesta dihelat. Makanan dikeluarkan. Penghibur membuat orang gembira, kecuali Tyrion Lannister, sang paman yang kate; juga Sansa Stark yang jadi putri "tawanan" keluarga Lannister. Anggur dituang. Semua menyantap pie burung dara. Joffrey juga merisak Tyrion seperti biasa. Menyuruhnya mengambil segelas wine. Joffrey kemudian menenggak anggur dengan nikmat setelah menyantap pie.

Tak perlu waktu lama, ia terbatuk. Sempat merisak sang paman lagi, batuknya makin parah. Anggur kembali ia tenggak. Ternyata malah membuatnya semakin susah bernafas. Joffrey ambruk. Lalu mati seperti harapan para pembencinya: penuh kesengsaraan. Wajahnya ungu, dengan darah yang mengucur dari dua lubang hidungnya.

Para penonton GoT paham bahwa pernikahan dalam serial garapan George R.R. Martin ini tidak selalu bersinonim dengan kebahagiaan. Sebelum "Purple Wedding," para penonton dikejutkan dengan "Red Wedding." Dalam acara pesta, keluarga Stark dibantai dalam ruangan, termasuk janin dalam perut Ratu Talisa.

Selain perang dan intrik politik, makanan dan minuman mengambil peran cukup penting dalam film serial yang diangkat dari novel karya George R.R Martin ini. Dalam novelnya, Martin menulis makanan dengan penuh gairah dan deskripsi yang bikin liur menetes. Dalam A Game of Thrones halaman 290 misalkan, George menulis:

"Hidangan mulai berdatangan. Sup kental dari barley dan venison. Salad rumput manis dan bayam dan plum, ditaburi dengan remahan kacang. Tutut berbalur madu dan bawang putih. Sansa belum pernah makan tutut sebelumnya; Joffrey menunjukkan bagaimana cara mengeluarkan daging tutut dari cangkang, dan menyuapkan daging manis itu dengan tangannya sendiri. Lalu datanglah ikan trout segar dari sungai, dipanggang dalam tanah liat. Sang pangeran membantu memecahkan kendi tanah liat itu, mengeluarkan daging ikan putih yang mengeripik itu."

Dari penjelasan yang menggiurkan itu, kita tahu bahwa kegemaran Martin adalah semua hal yang bersifat karnal: darah, seks, dan makanan enak. Maka tak heran kalau kita bisa melihat banyak makanan sedap di GoT. Bahkan pada 2012, dirilislah buku berjudul A Feast of Ice & Fire: The Official Game of Thrones Companion Cookbook. Isinya adalah resep-resep makanan ala Game of Thrones. Martin menulis kata pengantar buku itu.

Di buku itu, Martin mengisahkan obsesinya terhadap makanan. Ia berdebat dengan para penyelia bukunya yang menganggap deskripsi makanan terlalu mengambil banyak tempat dan sering kali tak perlu. Atas perdebatan ini, Martin dengan kelakar menyebut para penyelia dan editor novelnya, "pasti makan fast food selagi mengetik."

Lantas kenapa Martin bersikeras memasukkan kalimat panjang untuk menjelaskan adegan makan? Sederhana, Martin menyamakan proses kita makan dengan prosesnya menulis novel. Dalam makan, semua indera berperan. Mata, telinga, juga hidung. Makanan enak selalu memadukan pengalaman semua indera.

Begitu pula dalam penulisan novel. Penggambaran adegan, lengkap dengan penglihatan, suara, juga bebauan, penting untuk membuat adegan jadi hidup. Dengan membaca adegan yang hidup, pembaca jadi seperti berada di tengah adegan. Begitu pula adegan soal makan. Deskripsi gemilang Martin membuat banyak pembaca—kelak penonton—jadi lapar.

"Karena itu aku menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk menjelaskan makanan yang disantap oleh karakterku," tulis Martin dalam pengantar buku A Feast of Ice & Fire.

infografik pesta boga got

Dari Daging Hingga Rempah

Obsesi Martin pada makanan kemudian menurun ke para penggemarnya. Ada dua orang yang paling terobsesi: Chelsea Monro-Cassel dan Sariann Lehrer. Mereka punya blog bernama The Inn at the Crossroads. Di blog itu, mereka menulis resep—setelah mencobanya terlebih dulu—dari berbagai dunia fantasi, termasuk GoT tentu saja.

Dari sana kemudian ide penulisan buku A Feast of Ice & Fire muncul. Ada lima bab penting dalam buku ini. Pertama adalah "Stocking a Medieval Kitchen" yang menjelaskan berbagai bumbu masak yang kerap ditemui di abad Pertengahan, juga bahan pengganti. Misal daging auroch (hewan sejenis lembu berukuran besar yang sekarang sudah punah) yang bisa diganti dengan daging sapi atau bison. Di bab ini, kita bisa melihat bahwa makanan Medieval tidak memakai banyak bumbu. Beberapa rempah yang dipakai adalah aneka lada hingga saffron.

Kemudian ada bab "The Basics" yang merupakan resep dasar bagi makanan ala Medieval, sama seperti bumbu genap di banyak masakan Indonesia. Resep dasar ini antara lain saus lada hitam, atau adonan pastri. Dalam buku Food in the Middle Ages, dijelaskan bahwa penggunaan pastri shortcrust (yang dipakai untuk berbagai jenis pie) di Abad Pertengahan, baru muncul sekitar abad ke-15. Maka jika GoT ada dalam dunia nyata, bisa dipastikan latar waktunya adalah abad ke-15 dan setelahnya.

Dalam bab resep, dua orang penulis ini dengan telaten menggolongkan resep makanan berdasar kawasan. Di blog, ada pula pilihan resep berdasar nama dan jenis makanan. Ada beberapa resep yang hanya muncul di buku terbitan Bantam Books ini.

Kondisi geografis jelas mempengaruhi jenis hidangan yang muncul. Dari kawasan The North, misalkan. Daerah kampung halaman keluarga Stark ini dikelilingi wilayah dingin di bagian utara, serta lautan di barat dan timur. Membuat banyak masakan dari kawasan itu berbahan dasar daging dan ikan, hingga minuman berempah untuk menghangatkan badan.

Selain Chelsea dan Sariann, ada banyak penggemar GoT yang memiliki ketertarikan sama. Beberapa turut mencoba memasaknya. Di salah satu kanal Youtube, ada yang memasak pie burung dara, salah satu makanan paling populer di serial ini.

Bahannya sederhana dan bisa dipraktikkan kapan saja. Secara penampilan dan cara membuat, makanan ini sedikit mengingatkan pada timpano, pasta klasik Italia yang dibuat dengan cara menumpuk isian hingga sejajar dengan bagian atas panci dan ditutup dengan adonan pasta.

Makanan di Game of Thrones bukanlah sekadar pajangan. Ia juga tampil sebagai status sosial. Bukan tanpa alasan kalau GoT mengambil latar masa pertengahan, saat jurang antar kelas terasa amat lebar dan dalam. Makanan kemudian jadi simbol sosial paling kentara, selain pakaian tentu saja. Hidangan seperti pie burung dara hanya bisa disantap oleh orang berduit.

Pie burung dara ukuran raksasa hanya bisa disantap oleh keluarga raja, seperti ditunjukkan saat Joffrey menikah. Kaum papa, cukup makan beberapa jenis sereal dan jeroan. Mereka juga menyantap daging yang di masa sekarang sudah jarang dikonsumsi. Contoh yang disebutkan dalam buku Regional Cuisines of Medieval Europe adalah daging landak.

Makanan sebagai bagian dari kultur dan simbol sosial juga muncul saat Daenerys Targaryen menyantap mentah-mentah jantung kuda jantan liar kala sedang hamil anak Khal Drogo. Jantung kuda jantan liar itu adalah simbol: kalau Daenerys berhasil menandaskan tanpa sisa, artinya anaknya akan tumbuh kuat. Jika gagal, maka sang anak akan mendapat nasib buruk.

Mengingat obsesi Martin terhadap makanan, sepertinya musim ketujuh Game of Thrones masih akan menghadirkan berbagai macam boga yang tak kalah menarik dari menu-menu di atas.

Baca juga artikel terkait GAME OF THRONES atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani