Menuju konten utama

Persinggungan Soeharto dengan Para Pahlawan Revolusi

Soeharto dalam beberapa sumber disebutkan pernah bersinggungan dengan beberapa pahlawan revolusi, terutama Yani. Bahkan ia pernah diselidiki terkait kasus korupsi, dan Sutoyo Siswomiharjo serta S. Parman—dua Pahlawan Revolusi—masuk di dalam tim pemeriksanya.

Persinggungan Soeharto dengan Para Pahlawan Revolusi
Soeharto dibelakang Sukarno, Maret 1966. Beryl Bernay/Getty Images

tirto.id - Membahas Soeharto seakan tak ada habisnya, termasuk gagasan menjadikannya sebagai Pahlawan Nasional. Jika benar itu terjadi, Soeharto akan setara dengan kolega-koleganya yang lebih dahulu menjadi Pahlawan Nasional, setelah sekian lama hanya disebut Pahlawan Revolusi.

Undang-undang No 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, membuat status Pahlawan Revolusi disamakan dengan Pahlawan Nasional. Di mata pengagum, pendukung juga pengikut, Soeharto layak menjadi Pahlawan Nasional, namun tidak bagi aktivis peduli HAM dan para korban-korban era Orde Baru.

Sudah banyak yang berbicara soal Orde Baru yang dikaitkan dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di era Soeharto saat menjadi presiden. Namun, sangat jarang yang menghubungkannya dengan kolega-koleganya yang sudah jadi Pahlawan Revolusi. Ahmad Yani, pentolan Pahlawan Revolusi, jauh lebih populer dibanding Soeharto sebelum malam jahanam 30 September 1965.

Yani Versus Soeharto

Soeharto dan Yani, punya jenjang karir militer yang hampir sama. Usia mereka hanya terpaut satu tahun saja. Soeharto lahir 8 Juni 1921 di Bantul, sementara Ahmad Yani lahir 19 Juni 1922 di Purworejo. Keduanya bukan anak priyayi. Di tahun yang sama, 1940, tak jelas bulannya, keduanya masuk militer Belanda Koninklijk Nederladsche Indische Lager (KNIL).

Soeharto memulainya dari bawah, namun dalam waktu singkat bisa jadi sersan. Meski pendidikannya rendah dan tak jelas sekolah menengahnya, namun dia berbakat untuk profesi militer. Sementara Yani, dengan pengalaman pernah belajar hingga SMA di zaman kolonial, tentu bisa dengan cepat menjadi sersan. Gaji Sersan, menurut Boediardjo dalam autobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), saat itu 60 gulden. Angka ini lumayan tinggi di zaman kolonial. Tapi mereka tidak lama jadi sersan, karena Hindia Belanda keburu kalah oleh bala tentara Jepang.

Di masa pendudukan Jepang, mereka pun bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Setelah jadi polisi di Yogyakarta, Soeharto ikut pelatihan calon komandan pleton (shodancho) lalu ikut pelatihan komandan kompi (chudancho). Setelah pelatihan ditempatkan di daerah Yogyakarta.

Yani juga masuk PETA dan ditempatkan di Purworejo. Pada 1945, pangkat mereka hampir sama. Setelah proklamasi keduanya masuk Badan Kemanan Rakyat (BKR), yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Keduanya sudah berpangkat Letnan Kolonel pada 1948. Lalu kolonel di akhir dekade 1950-an.

Sebuah kejadian di akhir dekade 1950-an juga membuat mereka menjadi seteru. Soeharto pernah kedapatan melakukan penyelundupan ketika menjadi Panglima Tentara Teritorial Diponegoro di Jawa Tengah (Jateng). Bersama Soeharto dalam bisnis ilegal itu ada nama Bob Hasan. Nama Liem Sioe Liong juga disebut sudah bermain dengan Soeharto sejak di Jawa Tengah. Ketika itu di Jawa Tengah sawah-sawah banyak gagal panen, sehingga Jawa Tengah Impor beras dari Singapura.

“Sebagai Penguasa Perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah dengan barter gula dengan beras. Saya tugasi Bob Hasan melaksanakan barter ke Singapura, dengan catatan beras harus datang lebih dahulu ke Semarang,” demikian pengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).

Menurut Subandrio, dalam Kesaksianku Tentang G30S (2001), Soeharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani diduga terlibat ikut menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Belakangan, Soeharto pun merasa dituduh sebagai koruptor beras. Pada 18 Juli 1959, menurut laporan Antara, tim Inspeksi Angkatan Darat dari Jakarta tiba di Semarang. Mereka memeriksa kebijakan Soeharto selaku Penguasa Perang di Jawa Tengah.

Tim pemeriksa dibentuk juga oleh Markas Besar Angkatan Darat, yang diketuai Soeprapto dengan anggota Suwondo Parman, Mas Tirtodarmo Haryono, dan Sutoyo Siswomiharjo. Mereka adalah para perwira yang punya latar belakang sebagai intelijen, jaksa militer dan polisi militer.

“Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya,” kata Subandrio.

Mengetahui hal ini, Yani marah. Dalam suatu kesempatan, Yani bahkan sampai menampar Soeharto. Kasus penyelundupan dinilai telah memalukan Korps. Abdul Haris Nasution, yang ketika itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), lantas mengusulkan agar Soeharto diadili Mahkamah Militer dan segera dipecat dari AD.

Infografik Soeharto vs ahmad yani

Setelah Kasus di Jateng Berlalu

Beruntunglah Angkatan Darat memakai cara kekeluargaan. Berkat pengaruh Bapak angkat Bob Hasan, Mayor Jenderal Gatot Subroto, ketika itu menjabat sebagai wakil KSAD, akhirnya Soeharto selamat, meski tak lagi menjabat Panglima di Jawa Tengah.

Setelah kariernya redup di 1959, bertepatan dengan kelahiran Siti Hediati alias Titiek Soeharto lahir, Soeharto pun menjadi perwira yang diam. Nama Soeharto naik daun lagi setelah menjadi Panglima Operasi Mandala untuk perebutan Irian Barat pada 1962. Ketika itulah anak kesayangannya Hutomo Mandala Putra lahir. Selanjutnya Soeharto memegang jabatan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Setelah 1959, karir Yani melesat lebih cepat daripada Soeharto. Di 1962, Ahmad Yani sudah menjadi KSAD menggantikan Nasution yang diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Pada 1965, pangkat Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) sudah Letnan Jenderal. Sementara Soeharto setingkat di bawah Yani, yaitu Mayor Jenderal. Soeharto pastinya tidak bisa macam-macam sebelum kematian Yani yang tragis pada 30 September 1965.

Pada dasarnya, “Soeharto itu orang yang pendendam. Dia sakit hati waktu dimutasi dari Divisi Diponegoro Semarang ke Seskoad,” tulis Antonius Sigit Suryanto dalam Suara di Balik Prahara. Ketika itu, Kolonel Suwarto menunjuk Soeharto sebagai Ketua Kelas. Namun, Donald Izacus Panjaitan menolak keras. Hal ini terkait dengan buruknya nama Soeharto setelah kasus penyelundupan tersebut. Seperti Yani, DI Panjaitan juga jadi korban di malam jahanam.

Yani dan Panjaitan, menjelang 30 September 1965, sudah masuk dalam daftar orang yang akan diculik dalam Gerakan 30 September 1965, yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Begitu pun para jenderal yang dulu ikut memeriksa kasus Soeharto di Jawa Tengah.

Kolonel Abdul Latif yang tahu soal rencana gerakan Untung, di malam kejadian mendatangi Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S (2000), ia mengaku mendatangi Soeharto di sana. Latief, yang percaya pada Soeharto sebagai atasan, bercerita soal rencana penculikan para Jenderal itu.

“Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden,” kata Latief. Sementara pada malam kejadian, tak ada pasukan tambahan yang berjaga di sekitar Menteng juga Blok M, tempat para Pahlawan Revolusi itu terlelap di rumah mereka.

Lepas dari benar tidaknya pengakuan Latief soal laporannya kepada Soeharto ihwal penculikan tersebut, kematian para Pahlawan Revolusi itu mengakibatkan kekosongan di posisi jajaran tinggi Angkatan Darat. Posisi Menpangad alias KSAD yang lowong setelah kematian Ahmad Yani membuat Soeharto punya kuasa lebih setelah 1 Oktober 1965.

Sebelumnya, Yani digadang-gadang untuk menjadi pengganti Soekarno. Tapi peristiwa dini hari itu benar-benar mengubah konstelasi politik RI. Soeharto-lah yang kemudian menggantikan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pada 1967.

Baca juga artikel terkait SOEHARTO atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra & Maulida Sri Handayani