Menuju konten utama

Perokok Remaja Meningkat, Komisi VIII: Karena Pemerintah Tak Tegas

Wakil Ketua Komisi VIII Iskan Qolba Lubis menyatakan perokok remaja semakin banyak karena pemerintah tidak tegas menerapkan aturan pembatasan iklan dan penjualan produk tembakau.

Perokok Remaja Meningkat, Komisi VIII: Karena Pemerintah Tak Tegas
Ilustrasi perokok. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) yang digelar oleh Kementerian Kesehatan menyimpulkan jumlah perokok dari kalangan remaja terus meningkat dari tahun ke tahun hingga 2018 kemarin.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Iskan Qolba Lubis berpendapat fenomena tersebut terjadi karena pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan aturan pembatasan iklan dan penjualan rokok ke anak-anak tidak berjalan. Akibatnya, kata dia, anak-anak usia 18 tahun ke bawah selama ini mudah membeli dan mengonsumsi rokok.

“Kebijakannya belum tegas, buktinya konser-konser ada iklan rokok karena itu menipu anak-anak. Spanduk-spanduk juga. Anak-anak jadi menganggap kalau rokok itu hebat. Jadi harus tegas dulu kebijakannya,” kata Iskan kepada reporter Tirto pada Selasa (22/1/2019).

Data Riskesdes terbaru yang dirilis Kementerian Kesehatan mencatat angka prevalensi merokok pada usia remaja (10-18 tahun) terus meningkat.

Pada 2013, terdapat 7,2 persen remaja yang mengonsumsi rokok di Indonesia. Pada tahun 2016, angka perokok remaja naik menjadi 8,8 persen, dan pada 2018 naik lagi, yakni 9,1 persen.

Iskan mengkritik pemerintah tidak serius dalam menangani permasalahan ini. Sebab, politikus PKS tersebut menilai peredaran rokok tidak dibatasi secara ketat.

Ketentuan soal batas minimal usia pembeli rokok juga tidak berjalan. Apalagi, menurut Iskan, rokok selama ini mudah ditemukan di warung-warung kecil.

Padahal, PP Nomor 109 Tahun 2012 melarang anak di bawah usia 18 tahun membeli, dibelikan, dan atau diberikan rokok. PP itu juga melarang anak-anak di bawah usia 18 tahun dilibatkan kegiatan yang disponsori produk tembakau.

“Harus ada pengawasan, turunannya harus ketat. Harusnya dibatasi tempat-tempat mana saja [boleh berjualan rokok], jadi bukan di tempat umum menjualnya,” ujar Iskan. “Jualannya harus dibatasi, izinnya harus ketat, harus ada pengawasannya juga.”

Dia menambahkan pembatasan terhadap iklan rokok dalam bentuk reklame dan spanduk juga harus lebih ketat lagi. Meskipun demikian, Iskan mengakui kebijakan pembatasan iklan dan penjualan rokok menghadapi tantangan berat.

"Jadi memang sudah rumit karena masuk ke dalam dunia konglomerasi. Kalau dia sudah menguasai aset besar, negara akan sulit mengubah kebijakan, dan malah dalam tanda kutip melonggarkan,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Addi M Idhom