tirto.id - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia turut membuat pengeluaran BPJS Kesehatan terus membengkak.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, meski bukan penyebab tunggal, konsumsi rokok memiliki kontribusi signifikan terhadap banyaknya kasus penyakit tidak menular di Indonesia.
Akibatnya, kata Tulus, keuangan BPJS Kesehatan terbebani oleh kebutuhan besar untuk membiayai perawatan pasien yang menderita penyakit tidak menular, seperti paru-paru. Dampak yang kemudian terjadi, Tulus menambahkan, adalah BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan.
"Konsumsi tembakau itu menjadi kontributor utama di dalam meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular," kata dia dalam acara diskusi di Kantor YLKI, Jakarta Pusat pada Jumat (11/12/2019).
Dia berpendapat demikian karena, berdasar perkiraan YLKI, lebih dari 35 persen penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan sebagian besar lainnya perokok pasif.
Tulus mencatat produksi rokok nasional mencapai 350 miliar batang per tahun dan lebih dari 90 persen dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Dia menambahkan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia menjadi bukti bahwa pemerintah gagal mengendalikan konsumsi rokok oleh masyarakat.
"Instrumen paling konkrit untuk mengendalikan konsumsi rokok adalah kenaikan cukai rokok,” ujar Tulus. “Ironisnya, selama era Presiden Jokowi, persentase kenaikan cukai rokok amat minim."
Sebagai informasi, pada 2017, kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen. Kemudian di tahun 2018 cukai rokok naik lagi 10,4 persen.
Tulus menilai kenaikan cukai rokok ini rendah karena masih membuat harga rokok murah dan masih gampang dibeli oleh kelompok rentan, seperti anak-anak, remaja, dan warga miskin.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom