tirto.id - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keputusan pemerintah tidak menaikkan cukai rokok pada 2019.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyesalkan keputusan pemerintah itu karena bisa memicu konsumsi rokok oleh warga miskin dan anak-anak atau remaja semakin meningkat.
"Yang paling penting adalah kenaikan cukai. Dengan kenaikan cukai membuat rokok lebih mahal dan orang-orang miskin, remaja dan anak anak tidak bisa membeli dan mengkonsumsi rokok," kata Tulus dalam acara diskusi di kantor YLKI, Jakarta Pusat pada Jumat (11/1/2019).
Menurut dia, cukai rokok seharusnya dinaikkan jauh lebih tinggi pada 2019 daripada tahun-tahun sebelumnya. Sebab, kata Tulus, harga rokok selama ini masih terjangkau oleh warga miskin dan anak-anak karena cukai produk ini tidak terlalu banyak mengalami kenaikan pada 2015-2018.
Kenaikan cukai rokok pada 2015-2018 tercatat hanya 8,7 persen. Sementara pada 2016, pemerintah kembali menaikkan cuka rokok sebesar 11,19 persen. Kemudian, pada 2017 dan 2018, cukai rokok naik masing-masing 10,14 persen dan 10,04 persen.
Tulus menjelaskan konsumsi rokok yang tinggi selama ini menjadi salah satu penyebab peningkatan angka prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia. Kondisi ini, kata dia menyebabkan beban BPJS Kesehatan juga turut membengkak sehingga lembaga itu sampai saat ini terbelit defisit keuangan.
"Instrumen paling konkrit untuk mengendalikan konsumsi rokok adalah kenaikan cukai rokok,” ujar Tulus. “Ironisnya, selama era Presiden Jokowi, persentase kenaikan cukai rokok amat minim."
Dia berpendapat demikian karena, berdasar perkiraan YLKI, lebih dari 35 persen penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan sebagian besar lainnya perokok pasif.
Tulus mencatat produksi rokok nasional mencapai 350 miliar batang per tahun dan lebih dari 90 persen dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom