Menuju konten utama

Perjalanan Menuju Pernikahan Kedua

Dampak perceraian ada dua hal, yaitu dampak emosional dan finansial.

Perjalanan Menuju Pernikahan Kedua
Ilustrasi cincin pernikahan. Instagram/@rock.ology

tirto.id - Data statistik 2019 dari National Center for Family & Marriage Research (NCFMR) di Bowling Green State University menunjukkan bahwa jumlah orang yang menikah kembali mengalami penurunan.

Antara tahun 1990 dan 2019, tingkatnya menurun sebesar 50%. Sedangkan antara tahun 2008 dan 2019, angkanya mengalami penurunan sebesar 25%.

Mengalami perceraian memang tidak mudah. Termasuk untuk untuk membuka lembaran baru dan membuka hati bagi orang lain. Namun, tidak sedikit pula yang berani melangkah dan memutuskan menikah lagi.

Andi Wibowo (nama samaran), 44 tahun, bercerai tahun 2016. Setelah perceraiannya tersebut, ia mengaku merasakan trauma untuk memulai rumah tangga lagi. “Takut kecewa dan sakit hati lagi. Terus terang, saya dan istri pisah tidak baik-baik saja, dia selingkuh dan memilih hidup bersama pria lain,” ungkap Andi.

Ia bercerita, pasca perceraian, hidupnya berantakan dan berubah drastis. Kala itu, ia ditinggalkan bersama kedua anak yang masih berumur 8 dan 3 tahun. “Padahal di usia mereka masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu,” ungkapnya.

Ilustrasi Trauma pasca perceraian

Ilustrasi Trauma pasca perceraian. FOTO/iStockphoto

Sejak perceraian itu, Andi hanya bisa pasrah dan menyibukkan diri dalam pekerjaan, apalagi saat itu ia dan mantan istri masih memiliki cicilan rumah dan mobil yang belum lunas.

“Saya jual mobil, jual rumah, pindah ke rumah yang lebih kecil, kemana-mana naik motor, hidup menjadi tidak nyaman, semua hal tersulit pernah saya lewati dan saya bisa bertahan hingga sekarang ini,” ungkap Andi, bersyukur.

Ia menambahkan, “Saya cukup beruntung ada keluarga yang membantu dalam pengasuhan anak,” ungkapnya.

Menurut Psikolog Patricia Yuanila, M. Psi, dampak perceraian tersebut ada dua hal, yaitu dampak emosional dan finansial. “Dampak emosional ini sangat terkait dengan self-concept, yaitu cara seseorang menilai diri sendiri, bisa jadi menyalahkan diri sendiri, menilai kekurangan diri, apakah kurang menafkahi, kurang cantik, dan lain sebagainya,” ujar Lala.

Dampak emosional yang lain adalah pandangan orang tersebut tentang pernikahan. Ada yang jadi antipati dengan pernikahan, sarkastik, atau tidak percaya konsep pernikahan.

Sementara itu, dari sisi finansial, tergantung apakah dia pencari atau penerima nafkah. “Jika ia penerima nafkah, biasanya ada yang support keuangan jadi harus mencari nafkah sendiri. Sedangkan orang yang mencari nafkah mungkin gampang. Namun belum tentu secara emosional dia baik-baik saja. Menurut saya, dampak terbesar dari perceraian adalah dari sisi emosional,”

Lala mengatakan, mengatasi trauma pasca-perceraian, paling utama adalah memperbaiki self concept atau dampak emosionalnya.

“Baik laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang emosional, meski cara mereka berbeda dalam mengatasi trauma. Namun yang penting adalah self-concept; bagaimana pandangan dia terhadap diri sendiri, juga pandangan dia ke pasangan, lingkungan dan pernikahan.”

Penerimaan Diri Sendiri

Selama kurang lebih 2 tahun, Andi hidup sendiri dan tidak memiliki keinginan baginya untuk menikah lagi. Dia hanya memikirkan pekerjaan dan bagaimana mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya.

“Susah bagi saya untuk membuka hati kembali, meski banyak teman yang mencoba menjodohkan dengan kenalan mereka, namun belum ada niat untuk menikah lagi.”

Ada pergulatan batin baginya, apakah kegagalan pernikahan pertama akan memengaruhi pernikahan keduanya.

“Kemudian, saya mulai bisa membuka hati untuk orang lain, seorang teman lama saya yang saat itu masih single.”

Andi mengaku tidak buru-buru mengajak kekasihnya menikah, karena ia butuh waktu menyembuhkan luka dan rasa kecewanya, juga mengenal sifat dan karakter masing-masing sebelum ke pelaminan

Menurut Lala, waktu untuk sembuh dari luka dan move on setiap orang berbeda-beda, tidak bisa dipatok waktunya harus berapa bulan atau berapa tahun. “Namun tahapan dalam penerimaan ini tetap sama,” jelas Lala.

Hal pertama dalam penerimaan itu biasanya menyalahkan (blaming) baik diri sendiri atau pasangan. “Harusnya dia tidak boleh seperti itu, harusnya aku bisa ngomong kaya gini.” Tahap kedua adalah begging, pada proses ini bisa saja pasangan menjadi rujuk. Namun, jika tidak dimaafkan, proses yang ketiga adalah marah (anger), dan terkahirkan adalah penerimaan (acceptance).

“Setelah menerima perceraian tersebut, memperbaiki diri, mengambil kegagalan kemarin sebagai pelajaran,” ujar Lala.

Berbeda cerita dengan Andi yang kesulitan dengan trauma, Yuka (54) - nama samaran - justru tidak merasakan trauma pasca perpisahan.

Pernikahan Yuka dan Dave (samaran) kandas setelah tahun ke-7. Mereka akhirnya berpisah karena ada ketidakcocokan di antara mereka. Perselisihan dipicu karena Yuka ingin pindah dan menetap di Colorado karena ia mendapat pekerjaan yang lebih baik.

“Sayangnya, anak-anak mantan suami saya dan keluarga besar suami saya tidak setuju Ayah mereka pindah, harus tetap tinggal di California,” ujar Yuke.

Saat menikah dulu, usia Yuka 29 tahun dan suaminya 69 tahun. “Usia kami terpaut jauh, 40 tahun, juga berbeda ras, suku bangsa, namun itu semua tidak menjadi kendala, kami kemudian menikah di Manado, asal saya,” ujar Yuka.

Setelah menikah, Yuka pindah ke California, Amerika Serikat mengikuti suaminya. Yuka dan suami memutuskan untuk berpisah karena sudah tidak sejalan. Menurut Yuka keluarga besar suami pertamanya, terlalu ikut campur pernikahan mereka, suami juga tidak bisa lepas dari anak-anaknya, sementara Yuke ingin menjalani hidup berdua saja.

Dari pernikahan pertamanya tersebut, Yuka tidak memiliki anak. Setahun setelah mereka berpisah, mantan suaminya meninggal karena serangan jantung.

Meski tidak mengalami trauma, setelah mereka berpisah hingga mantan suaminya meninggal, Yuke tidak segera menikah. Ia mengaku sibuk bekerja dan belum berpikir untuk menikah lagi.

Setahun kemudian, Yuke iseng menambah pertemanan di aplikasi dating online yang terpasang di Facebook bernama Are You Interesting?. Meski awalnya hanya menambah teman saja, namun Yuke kaget sekali ketika ia mendapat jawaban dari John, 50 tahun (nama samaran) yang juga tertarik padanya. Kemudian mereka bertemu, berteman, berpacaran selama dua tahun hingga menikah di tahun 2011.

“Pada saat itu, saya memang tidak berniat mencari jodoh, bukan karena trauma, bagi saya untuk mencari jodoh itu tidak sembarangan, perlu hati-hati, karena pernikahan itu sakral dan untuk seumur hidup,” ungkap Yuka.

Ia mengatakan sama sekali tidak ada trauma dengan pernikahan pertamanya. “Saya selalu berpikir positif. Kegagalan ialah pelajaran atau guru untuk hari-hari berikutnya agar lebih baik lagi,” ungkap Yuka.

Infografik Trauma Pasca Perceraian
Infografik Trauma Pasca Perceraian. tirto.id/Ecun

Menyembuhkan Luka

Sebelum memutuskan menikah kembali, Lala mengatakan penting untuk menyelesaikan masalah dari dalam diri sendiri, dalam hal ini rasa sakit hati atau kecewa. “Luka itu tidak pernah hilang, toleransi kita yang membuatnya sembuh namun lukanya tetap ada,” ungkap Lala.

Ia menambahkan, ada suatu quote, “If you do not heal what hurt you, you’ll bleed on people who didn’t cut you.” Jadi untuk memulai lembaran baru, seseorang harus sudah selesai dengan diri sendiri, agar tidak melukai orang lain.

Dalam mengarungi pernikahan kedua, kerikil pertengkaran atau konflik tetaplah ada. Andi, misalnya, ia pernah bertengkar dengan istrinya karena perbedaan pandangan dalam hal mengurus rumah. “Berantem pasti ada, namun setelahnya ya berbaikan kembali,” ungkapnya.

Yuke pun mengalami konflik juga dengan suaminya. “Saya pernah berantem karena suami pernah mengirim pesan pada mantannya, saya marah, namun akhirnya saya mau memaafkan kesalahannya,” ujar Yuka. Bagi Yuka dan John perbedaan agama, gaya hidup dan bangsa membuat mereka belajar mengerti satu sama lain.

Menurut Lala, kunci mengatasi konflik dan agar pernikahan tetap harmonis, adalah komunikasi. “Meski klise, namun tidak ada cara lain.” Menurutnya, tidak ada dua orang yang ditakdirkan bersama, agar hubungan bertahan, pasangan harus memiliki konsep giving bukan taking.

Relationship itu harus legowo, bukan transaksional atau exchange, sehingga kita tidak akan ribet akan hal kecil misalnya sudah suami sudah memberi uang belanja, istri harus melayani suami.” Lala menjelaskan, saat seseorang itu sayang dengan tulus maka dia tidak mengharap balasan dari orang lain.

Pemahaman seperti ini berlaku saat menghadapi konflik, bukan lagi siapa yang menang dan kalah, tetapi bagaimana membuat pasangan nyaman. “Asal bukan kasus KDRT, mengalah saat berselisih dengan pasangan adalah bentuk kedewasaan.”

“Ketika salah satu pasangan marah dan kita tidak perlu menjawab semua yang dia katakan secara bersamaan. Kadang kala salah satu harus diam dulu, diam bukan menghindar, untuk menghilangkan emosi negatif yang ada. Setelah reda, pasangan bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan,” tutup Lala.

Walau tidak mudah, keputusan untuk menikah kembali dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Bila memang pertimbangan terakhir adalah tetap melajang, jangan ragu juga untuk melakukannya, begitu juga sebaliknya. Karena yang tahu apa yang terbaik bagi diri (dan juga anak) adalah diri Anda sendiri.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi