tirto.id - “Saya heran kenapa dia pilih calon pemimpin yang emosian.”
Pepy, seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun, mengomentari aksi calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto saat berkampanye dan menggebrak podium. Lingkaran pertemanan di grup rukun tetangga (RT) perumahannya mayoritas punya pilihan yang sama, Joko Widodo. Tak heran jika ia berani “curhat” soal pilihan suami yang berbeda saat berada di tengah forum.
“Kok bisa beda gitu, sih, Bu?” temannya menimpali sambil tertawa melihat Pepy yang masih bersungut menjauhi sang suami.
Saat itu warga perumahanya tengah berkumpul melakukan kerja bakti dan senam bersama. Kegiatan dua mingguan itu tak luput jadi ajang adu ribut soal siapa sosok yang paling ideal memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Pepy dan suaminya, Tofik, adalah contoh nyata perpecahan keluarga akibat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
“Makanya, berantem terus saya tiap hari. Memang dia tuh...” jempol tangan Pepy diarahkan ke bawah sambil memandang sang suami yang sedang ngeteh di pinggir lapangan. “Padahal Jokowi jelas-jelas bisa membangun Indonesia enggak cuma di Jawa saja, kelihatan kerjanya.”
Menanggapi tingkah sang istri, Tofik memilih tidak bereaksi. Ia tetap teguh pada pilihannya. “Kalau saya sahutin, nanti jadi rame bisa gawat rumah tangga. Tapi intinya saya butuh pemimpin tegas yang tidak takut diintimidasi pihak mana pun,” kata Tofik.
Sengitnya persaingan antar-kubu pada pilpres kali ini bisa dirasakan dalam grup-grup Whatsapp keluarga. Video-video provokatif, hoaks, hingga ragam angka, dan kejadian cocoklogi dibagikan untuk mendukung calon andalan masing-masing.
Kisah tubir lain datang dari Edo dan Hadi, pendukung fanatik yang kerap menyebar segala bentuk dukungan di status media sosial maupun grup.
Edo adalah pendukung pasangan calon 01, sementara Hadi dan keluarga kecilnya memegang paslon 02 sebagai jagoan. Mereka berdua adalah kakak-beradik yang disatukan dalam sebuah grup Whatsapp keluarga besar. Entah darimana mulainya, keduanya jadi saling serang di grup dan berujung pada keluarnya Edo dalam grup tersebut. Saat pertemuan keluarga besar pun, dua orang ini tak henti-hentinya bersitegang.
“Jokowi enggak bisa bahasa Inggris, banyak tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.”
“Koruptor bakal langgeng kalau Prabowo yang menang. Indonesia balik lagi ke Orde Baru.”
“Jokowi itu bonekanya Megawati, plinplan, banyak janji.”
“Kamu enggak inget ditolak jadi PNS karena cap anak PKI, masih mau pilih Prabowo? Mertuanya yang bikin kamu begitu.”
Pertikaian yang terjadi antara Pepy dan Tofik suaminya atau antara adik-kakak Edo dan Hadi adalah representasi kisah yang menimpa banyak orang. Nyatanya, pilpres menjadi topik panas di arena publik dan merembes ke dalam kehidupan pribadi. Ia membawa pertikaian dan memperumit persahabatan, pernikahan, serta hubungan antara anggota keluarga. Kini, masyarakat seolah hanya terbagi menjadi dua kelompok: Cebong atau Kampret.
Memelihara Harmoni Saat Beda Pilihan
Pertikaian akibat beda pilihan tak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Amerika, diceritakan oleh Sridhar Pappu dalam laman New York Times, pemilihan presiden pada 2016 yang mengusung Donald Trump dan Hillary Clinton juga sempat membawa hawa panas di negara adidaya tersebut. Dr. Thomas Stossel sempat mau digugat cerai istrinya, Dr. Kerry Maguire, saat memberi tahu bahwa pilihannya jatuh ke Trump.
“Kamu pilih Trump, maka saya akan mengugat cerai dan pindah ke Kanada,” kenang Maguire. Untungnya meski Trump telah memimpin Amerika selama dua tahun, Maguire dan Stossel tidak benar-benar bercerai.
Survei Pew Research Center pada 2014 di Amerika juga menguatkan fakta bahwa orang-orang di sana cenderung memilih pasangan hidup dengan pandangan politik yang sama. Mereka kurang menyukai situasi ketika anggota keluarga memilih menikah dengan lawan politiknya.
Sebuah lembaga konsultan riset di Amerika, Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia, Wakefield Research sempat melakukan survei lapangan terhadap fenomena ini. Mereka menemukan bahwa perbedaan politik secara umum telah mempengaruhi hubungan pribadi orang-orang di Amerika. Ada lebih dari 1 dari 10 orang Amerika atau sekitar 11 persen mengakhiri hubungan dengan pasangannya karena perbedaan pilihan politik.
Jumlah ini melonjak terutama di kalangan generasi muda. Sebanyak 22 persen kelompok milenial mengaku putus dengan pasangannya karena perbedaan pandangan politik. Efek dari lanskap politik lainnya yakni 29 persen orang Amerika menikah atau berada dalam hubungan yang tidak baik akibat persoalan politik. Survei ini dilakukan pada seribu orang dewasa di Amerika yang berusia lebih dari 18 tahun antara 12-18 April 2017.
Di Indonesia, perbedaan pandangan politik menjadi salah satu faktor penyebab perceraian, meski jumlahnya sangat kecil. Data yang dihimpun dari Kementerian Agama pada 2008 menyebut ketidakharmonisan rumah tangga menjadi penyebab perceraian paling umum, yakni mencapai 46.723 kasus.
Ada faktor-faktor lain juga, yakni faktor ekonomi 24.252 kasus, krisis keluarga 4.916 kasus, cemburu 4.708 kasus, kawin paksa 1.692 kasus, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 916 kasus, poligami 879 kasus. Politik hanya jadi faktor penyebab pada 157 kasus perceraian.
Lalu bagaimana caranya agar perbedaan pandangan politik tak menjadi prahara dalam suatu hubungan?
Sheri Stritof, seorang konsultan pernikahan, memberikan saran agar hubungan pribadi, keluarga, dan persahabatan tetap harmonis dalam perbedaan politik.
Pertama, harus ada kesepakatan untuk toleran atas ketidaksetujuan pendapat masing-masing. Kedua, beropini berdasar fakta yang tidak bias dan dapat dibuktikan. Ketiga, jangan mengolok-olok pendapat satu sama lain dan toleransi terhadap pilihan masing-masing.
Stritof menekankan untuk tidak mempolitisasi pembicaraan, misalnya bicara kebijakan BBM saat mengisi bensin atau membahas ekonomi negara ketika membuat perencanaan anggaran. Penting juga untuk saling mendengarkan ketika diskusi politik berlangsung. Tunjukkan rasa hormat terhadap pandangan politik masing-masing, jangan mencoba mengubah pendapat, dan cari persamaan pandangan dalam masalah politik.
“Yang penting mawas diri. Ingat bahwa persahabatan atau hubungan pribadi dan keluarga lebih penting dari perbedaan pandangan politik.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani