Menuju konten utama

Peran Dirjen Hubla dalam Maraknya Penjarahan Kapal Perang

Izin serampangan dari Dirjen Perhubungan Laut jadi sumber utama masalah penjarahan kapal-kapal bersejarah di Indonesia.

Peran Dirjen Hubla dalam Maraknya Penjarahan Kapal Perang
Dirjen Perhubungan Laut terlibat memberi izin pada tongkang salvage mengambil kapal karam secara ilegal dengan dalih

tirto.id - Kabar hilangnya tiga kapal perang Belanda dan Inggris di Laut Jawa pada 2016 membuat publik di sana risih. Desakan pun menerpa Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, yang kemudian menembuskannya kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Jakarta, November 2016. Jokowi berjanji akan menginvestigasi kasus ini bersama.

Komitmen Jokowi terealisasi dengan menggelar Joint Expert Meeting jilid I pada 6 - 9 Februari 2017 di Jakarta. Tim terdiri dari Angkatan Laut Belanda, AL Indonesia, Arkeologi Nasional, Lembaga Cagar Budaya Belanda, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kementerian KKP dilibatkan karena mereka lembaga yang mengurusi perizinan barang muatan kapal tenggelam berusia lawas. Rapat ini dikoordinir Kementerian Luar Negeri.

Hasil rapat menyepakati tiga kapal perang Belanda — HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, dan HNLMS Kortenaer — memang benar telah hilang. Mereka kemudian bersepakat untuk melacak ke mana perginya dan kenapa kapal perang ini bisa raib dari dasar laut.

Selang enam bulan kemudian, Agustus 2017, pertemuan kedua digelar. Rapat kali ini kedatangan anggota baru. Ia adalah Lusi Andayani, yang mewakili Direktorat Jendral Perhubungan Laut (Hubla) dari Kementerian Perhubungan.

Lusi menjabat Kepala Subdirektorat Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air (salvage). Ia bekerja di bawah Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP).

Apa yang membuat Lusi mesti diundang? Toh, kasus ini lebih erat kaitan dengan perlindungan cagar budaya, yang tak ada sangkut pautnya dengan Hubla?

Dari hasil rapat pertama ternyata para ahli menyepakati pelaku kriminal bukan penjarah tradisional yang kerap beroperasi di sekitar perairan Laut Jawa. Telunjuk mengarah pada pengusaha besar. Untuk mendetailkan indikasi itulah (pejabat) Hubla didatangkan.

Direktur KPLP, Jhonny R. Silalahi, membeberkan alasan instansinya diundang dalam rapat: “Logika berpikirnya kapal perang ini ada di laut dalam, otomatis penyelam tradisional enggak bisa ambil barang itu.”

“Logikanya, ada peralatan canggih yang dipakai. Dan alat canggih itu pasti punya perusahaan yang ada izin usaha salvage. Yang keluarkan izin salvage siapa? Ya pasti Kemenhub. Dari situ Hubla diajak,” katanya, 3 Januari lalu.

Pada rapat kedua, Lusi dicecar pertanyaan oleh atase pertahanan Belanda, Kolonel Rene Pals. Rene mempertanyakan izin salvage terkait proyek pembersihan alur barat Surabaya yang diduga jadi modus pengambilan bangkai kapal perang Belanda di perairan dekat Pulau Bawean. Pihak Belanda meminta daftar izin pengambilan dan titik koordinat bangkai kapal yang dikeluarkan oleh Direktorat KPLP.

Jhonny bercerita, setelah pemaparan, ternyata jarak antara titik kapal perang Belanda dan koordinat izin salvage dari KPLP itu berjauhan.

“Kita jawab enggak ada. Setelah dicek, kami enggak pernah beri izin di titik kapal perang itu. Titik terdekat jaraknya jauh banget, sekitar 43 nautica mile (80 kilometer),” ujarnya.

Tudingan ke Hubla didukung data yang kuat. Memang, seringkali, izin dari KPLP menjadi modus untuk mengambil bangkai kapal bersejarah. Pemberitaan soal ini berceceran dan mudah ditemukan dengan memanfaatkan mesin pencari Google. Semua kapal di daftar suspect yang kami rilis pada tulisan sebelumnya beroperasi dengan izin resmi dari Hubla.

Pioner 88, KBR Benoa 1, Dongfu 881, MV Laut Lestari, Armada Salvage 8, dan Thien Li Kong 368—nama-nama ini tercantum dalam daftar Surat Perintah Kerja yang dirilis Hubla pada periode 2014-2017.

Jadi ironis surat sakti dari Hubla membuat sindikat ini kebal dari penangkapan aparat berwajib. Modus izin dipakai jadi pelindung. Dalih yang tertuang pada surat izin biasanya bahwa kapal beroperasi untuk membantu pembersihan alur laut.

Sebagai contoh kasus MV Laut Lestari. Kapal ini tertangkap hendak mencuri bangkai kapal USS Houston di dekat Pulau Panjang, Banten, pada 2015. Polair Polda Banten hanya memberi peringatan karena dianggap kapal belum melakukan pencurian. Namun, anehnya, di dumping area PT Dok Pulo Ampel, tempat MV Laut Lestari membongkar muatannya, ditemukan ada mortir dari kapal perang.

Ajun Kombes Tri Panungko, Kepala Subdit Penegakan Hukum Ditpolair Polda Banten, membenarkan temuan-temuan itu. Namun, dengan dalih “tidak ada bukti kuat", MV Laut Lestari pun bebas.

Pada 2016, MV Laut Lestari kembali dipergoki Polair saat mendekati titik koordinat USS Houston. “Jadi tahun 2016, belum sempat mengambil, lalu kami peringatkan,” kata Tri kepada Tirto, pertengahan Desember lalu.

Tak Menggubris Keluhan Masyarakat Lokal

Kekebalan juga dinikmati KBR Benoa I. Kapal ini berlayar dari Pontianak menuju Lampung pada 7 Januari 2016. Dalam perjalanan, KBR Benoa I keluar dari jalur pelayaran. Ia melipir ke Kepulauan Seribu pada 11 Januari 2016.

KBR Benoa I lalu singgah di sebelah timur Pulau Sebira. Pada malam hari, para ABK yang terdiri 23 warga negara China dan 8 warga Indonesia mulai sibuk bekerja. Kapal menurunkan capit baja besar ke laut, lalu menarik besi-besi bangkai kapal yang tenggelam di sana. Pencurian bangkai kapal ini diketahui warga dan langsung dilaporkan ke Polres Kepulauan Seribu.

Sehari kemudian, KBR Benoa I dan awaknya diperiksa. Meski sudah tertangkap tangan, tidak ada sanksi yang jelas terhadap kapal dan pemilik kapal.

“Saat kejadian itu saya masih jadi Kapolsek di Sebira, kami periksa, kemudian kasus ditangani Polda, setelah itu saya tidak tahu,” ujar bekas Kasat Polair Polres Kepulauan Seribu, AKP Zaroki, kepada Tirto, 1 Januari 2018.

Belakangan Zaroki baru tahu kapal itu mengantongi izin pembersihan jalur laut. Namun, ia tidak tahu detail lokasi yang akan dibersihkan.

“Yang saya tahu kapal itu dari Pontianak, mau ke Lampung. Lampung di mana? Tidak tahu juga,” ujarnya. Kapal ini kemudian diketahui dilepaskan Polda Metro Jaya.

Pelepasan ini terbukti dari izin yang (ironisnya) dikeluarkan lagi oleh Hubla bagi KBR Benoa I pada 23 Maret 2016. Izin operasi ini mencakup menyingkirkan bangkai kapal di Perairan Mesuji, Lampung. Empat bulan kemudian, 20 Juni 2016, izin kerja keluar lagi dengan koordinat operasi di perairan Pontianak.

Selepas dari Pontianak, kapal bergerak ke Selat Bangka untuk mengambil lima titik sesuai SPK yang keluar pada 6 Oktober 2016. Di sinilah gaduh bermula. Komunitas Emas Diving Club mengungkapkan bahwa KBR Benoa 1 mengambil bangkai kapal perang IJN Ashigara di Perairan Muntok. Kasus ini baru ramai pada Januari 2017.

Temuan kami mengungkap satu koordinat pengambilan bangkai kapal yang diberikan oleh Hubla ternyata bermasalah. Dalam SPK pada 6 Oktober 2016 itu, satu koordinat tepat di atas kapal karam IJN Ashigara.

Andreas, peneliti Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, kepada Tirto mengatakan lokasi kapal Ashigara bukan di alur pelayaran dan malah di atas gugusan karang freedrick, sehingga mustahil kapal besar lewat ke sana.

“Selain itu, koordinat di SPK beda, kenapa diambil juga?” kata dia.

Alih-alih menerima keluhan masyarakat, Hubla tetap bebal. Pada 8 Maret 2017, izin SPK baru kembali turun.

Ironisnya, meski sempat diprotes, keempat titik yang diberikan Hubla kepada KBR Benoa 1 ternyata tak bergeser jauh dari koordinat di SPK sebelumnya. Satu titik di atas Ashigara itu diperpanjang lagi pengambilannya.

Masih di sekitar perairan Bangka, penyelewengan alur juga dilakukan tongkang Dongfu 881. Kapal ini ditangkap KKP pada 11 Agustus 2017 di perairan Toboali, selatan Bangka. Mereka kepergok menjarah tiga ton potongan besi dari bangkai kapal karam. Operasi Dongfu 881 melenceng hampir 70 kilometer dari titik awal yang ditetapkan.

Soal kasus ini, KPLP berkelit bukan tanggung jawab mereka.

“Jadi kemarin dituduhkan sama KKP ada bangkai kapal diambil, kemudian dicek ternyata tuduhan itu enggak benar. Kalau kegiatan ilegal tanpa izin itu bukan wewenang kami. Kami hanya bisa mengawasi kegiatan yang izinnya dilakukan koordinat kami. Setelah izin selesai, kapal bergerak ke mana, kita enggak bisa kontrol,” kata Jhonny R. Silalahi, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.

Pembelaan Johnny bisa dibenarkan. Sebab, saat ditangkap 11 Agustus, Dongfu 881 berstatus tak lagi terikat dalam SPK salvage. Durasi izin pekerjaan salvage untuk Dongfu 881 berlangsung 3 bulan. Jika SPK keluar 10 Mei, artinya hanya berlaku hingga 10 Agustus—habis sehari sebelum mereka ditangkap KKP.

Namun, dalam satu dokumen Dinas Perikanan Kabupaten Bangka Selatan, Dongfu 881 mengambil dua titik kapal karam secara ilegal di perairan barat Serdang dan selatan Toboali. Surat ini dibuat pada 8 Juli 2017.

Keluhan dari nelayan masuk sekitar bulan Juni. Artinya, ketika kapal ini masih di bawah pengawasan Hubla, mereka leluasa bekerja di luar ketetapan awal. Melencengnya pun tidak tanggung-tanggung: hingga 130 kilometer dari koordinat yang ditetapkan SPK.

Meski melanggar pasal 323 ayat 1 dalam UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008, dengan menggeser titik operasi tanpa izin, toh Dongfu 881 tak ditindak.

“Kami kembalikan lagi ke Syahbandar di Pangkal Balam, karena mereka beroperasi memang ada izin. Soal pelanggaran koordinat, kami serahkan ke pihak Hubla untuk ditindak karena itu bukan wewenang kami,” kata Kori Aryanto, penyidik PSDKP Kementerian KKP, kepada Tirto, awal Desember lalu.

Pengakuan saksi mata di lapangan menyebut seorang pengusaha pemilik maskapai penerbangan ternama di Indonesia jauh-jauh datang ke Bangka untuk menyelesaikan kasus ini.

Kelalaian terjadi di Bangka disebabkan lemahnya pengawasan. Sebab, sesuai Permen Salvage No. 33 Tahun 2016, setiap kegiatan salvage harus diawasi langsung oleh petugas dari kesyahbandaran dan KPLP yang naik ke atas kapal. Jika benar mengawasi, kenapa para penjarah ini bisa menyimpang dari koordinat yang ditetapkan?

Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh Menteri Perhubungan Budi Karya. Ia hanya menegaskan bahwa pengawasan adalah wewenang KPLP. Ia tidak memungkiri jika dalam praktik di lapangan “ada oknum” yang mungkin bermain.

“Karena laut ini luas sekali dan saya harus makin mengontrol orang-orang saya yang ada di pusat dan di daerah, apalagi berkaitan dengan cara memantau mereka,” kata Budi Karya saat ditemui Tirto dalam wawancara khusus pada 5 Januari lalu.

Memberikan Izin Salvage yang Jauh dari Alur Pelayaran

“Pembersihan alur laut itu lebih kepada titik-titik yang dibutuhkan untuk alur pelayaran dan biasanya terjadi di sekitar pelabuhan. Nah, kalau ini ke mana-mana, berarti ada oknum. Kalau itu urusannya di Kementerian Perhubungan, kami akan melakukan penyelidikan kepada mereka dari data-data yang ada.”

Jawaban ini dilontarkan Budi Karya saat ditanya modus pembersihan alur yang sering dipakai para penjarah. Seringkali KPLP memberikan izin dengan dalih pembersihan alur. Padahal, jika dicek koordinat yang mereka keluarkan, operasional para tongkang bercakar ini amat jauh dari alur pelayaran.

Dari SPK yang dibagi kepada kami, terungkap ada banyak titik bermasalah. Izin pada KBR Benoa 1 tertanggal 4 Agustus 2017, misalnya. Di SPK tertulis “Kegiatan salvage berupa pembersihan alur pelayaran [...] di perairan Mesuji, Lampung.”

Ada dua koordinat yang dipapar surat ini. Pada koordinat pertama di perairan Kepulauan Seribu, jarak dengan alur pelayaran Tanjung Priok - Kijang berkisar 6 kilometer. Sedang pada koordinat kedua, jarak dengan alur pelayaran terdekat yaitu Jakarta - Belawan mencapai 13 kilometer.

Kasus ini terjadi pada izin-izin yang lain. Dengan perbedaan sejauh itu dan kedalaman bangkai kapal di perairan dalam yang melebihi 40 meter, apakah masih relevan izin salvage keluar dengan dalih pembersihan alur?

Infografik HL Kapal Perang Termin Dua

Data SPK yang Dimanipulasi?

Masalah lain adalah pihak KPLP dan Hubla bersikap tertutup dan enggan membagi seluruh daftar izin SPK yang mereka keluarkan. Apa yang dibagi di atas bukanlah data keseluruhan.

Redaksi Tirto sudah mengajukan permohonan ini sejak 14 Desember 2017. Tiga data kami minta: daftar lengkap perusahaan memiliki izin usaha salvage, izin SPK kegiatan salvage periode 2013-2016, dan pendapatan negara dari jasa salvage.

Pada 20 Desember 2017 kami diminta datang ke kantor Kemenhub dan mengurus kembali surat permintaan data. Pada 29 Desember 2017, data itu kemudian diberi.

Nyatanya Hubla hanya memberi daftar SPK tahun 2017. Permohonan meminta daftar SPK yang dirilis 2014-2016 tak disetujui oleh Hubla. Padahal, pada periode itulah kami bisa melacak bagaimana sindikat penjarah kapal bersejarah ini bekerja. Sebab, selama kurun itu, penjarahan berlangsung masif dalam skala luas dan maupun waktu.

Keluhan sulitnya data ditembuskan ke Menhub Budi Karya. “Kenapa Anda tidak minta ke saya, nanti saya bantu,” katanya mencoba menawarkan solusi.

Sehari setelah bertemu Budi Karya, daftar SPK 2014-2016 pun dikirim. Namun, ada satu hal yang janggal.

Saat pemberian data pertama, pihak Kesatuan Laut dan Penjagaan Pantai menyisipkan data rekapitulasi izin kegiatan salvage (lihat halaman terakhir pada tautan file di atas). Tertulis izin kegiatan salvage pada 2014 ada 39 kegiatan, pada 2015 ada 56 kegiatan, 2016 ada 52 kegiatan, dan 2017 tercantum 70 kegiatan. Totalnya ada 217 izin.

Anehnya, saat data SPK 2014-2016 diberikan pada 8 Januari 2018, angka itu merosot tajam. Pada 2014, hanya muncul 5 kegiatan, 2015 ada 7 kegiatan, 2016 ada 15 kegiatan, dan 2017 memiliki 10 kegiatan. Totalnya hanya ada 37 izin. Jika dibandingkan dengan data sebelumnya: ada 180 izin yang disembunyikan Hubla kepada kami.

Kami coba mengonfirmasi kejanggalan data ini kepada pelbagai pihak, dari Dirjen Hubla Agus H. Purnomo, Dirut KPLP Johnny R. Silalahi, dan staf data KPLP Iwan Dwi Nugroho. Meraka bungkam sampai laporan ini dirilis. Iwan bahkan meminta kami mengontak Humas.

“Silakan hubungi humas untuk informasi secara resmi,” katanya lewat pesan WhatsApp. Ucapan ini bertolak belakang dengan Humas, sebab mereka menyuruh kami langsung saja bertema Iwan.

Kecurigaan kami: ada upaya dari Hubla menutupi data ini. Seorang staf pengelola informasi dan dokumentasi berkata pada kami: “Karena di data ini ada kasus. Saya kasih tahu kasus ini kasus internasional. Ada yang bermain di belakang perusahaan. Jangan sampai saya dapat dinas saya jadi jaminan, saya bilang karena saya tahu kasus ini. Ini permainan internasional.”

Di antara semua pejabat Hubla, sosok yang paling paham kasus ini adalah Lusi Andayani. Nama Lusi disebut hampir semua bekas eks Dirut KPLP selama periode 2014-2017. Ia dikenal tahu banyak soal latar belakang dan jumlah izin salvage yang keluar dari KPLP.

Di bagian salvage, Lusi adalah orang lama yang jarang dimutasi. Sebelum jadi Kasubdit, ia menjadi kepala seksi salvage sejak Oktober 2014, lalu naik jabatan jadi Kasubdit pada Juli 2017.

“Coba tanya Bu Lusi, dia sempat jadi kepala seksi di sana, sekarang naik jadi Kasubdit. Kalau saya sudah lupa. Dia pasti lebih tahu,” kata Mauritz Sibarani, eks Dirut KPLP periode 2015.

Kami sudah menghubungi Lusi sejak November 2017. Permohonan untuk bertemu secara tatap muka selalu ditampik. Ajakan berbincang di telepon untuk konfirmasi pun selalu ditolak.

“Saya sedang di luar kota dan enggak bisa temui kamu,” katanya. “Saya sedang rapat, coba hubungi Humas saja,” ucapnya pada kesempatan lain. “Aduh, maaf, saya mau berangkat ke kantor," katanya pada kali lain, langsung mematikan telepon.

Belasan kali kami mencoba mewawancarai, belasan kali juga ia tolak. Sampai laporan ini dirilis, Lusi masih sulit dikontak. Seorang reporter Tirto coba mengontaknya terus-menerus tapi malah diblok.

Karena sangat sulit mendapatkan konfirmasi dan data-data, sesuatu yang dengan penuh simpatik dijanjikan Menhub Budi Karya tetapi sayangnya dipersulit pejabat di bawahnya, Tirto menghubungi salah seorang pemilik kapal yang diduga aktif menjarah kapal-kapal bersejarah itu. Kami bertanya kepadanya dengan intensi seakan hendak menyewa jasanya.

Ia menyebut, untuk dapat SPK, butuh uang sogokan hingga ratusan juta rupiah. Padahal, dalam peraturan pemerintah nomor 15 tahun 2016 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Bukan Pajak, izin kegiatan salvage hanya dikenai biaya Rp1 juta.

“Kalau untuk pengerjaan seperti itu, kami minta SPK ke Perhubungan, SPK tidak murah, lho. Beberapa ratus juta sekali minta. Belum ke Angkatan Laut. Semua koordinasilah. Semua instansi koordinasi juga. KSOP (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan) itu yang besar. Itu yang paling besar. Semuanya pakai uang,” katanya.

Menko Maritim Luhut Panjaitan Turun Tangan

Kekacauan izin salvage di Kemenhub akhirnya sampai ke meja kerja Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Panjaitan. Pada Oktober 2017, Luhut mengumpulkan pemangku kebijakan terkait, dari Kemendikbud, Kementerian KKP, dan Kementerian Perhubungan, untuk membahas masalah penjarahan kapal. Menhub Budi Karya hadir dalam rapat ini.

Dalam wawancara khusus pada 9 Januari lalu, Luhut mengatakan izin pembersihan jalur laut memang jadi pembahasan utama.

“Jadi pembersihan alur laut itu memang sekarang sedang difinalisasi. Kami berharap bisa segera jalan. Tapi yang menjadi isu lagi adalah: bekas kapal-kapal (bersejarah) tenggelam. Kami sekarang sudah sepakat tidak mau lagi membersihkan. Biarkan itu menjadi tempat bagi turis, seperti misalnya tadi kapal perang itu,” katanya.

Jawaban serupa dikatakan Budi Karya. “Saya tidak terlalu clear mengenai itu, tapi intinya begini. Dalam rapat itu memang ada satu ide, saya lupa siapa yang menyampaikan, bahwa keberadaan kapal-kapal itu adalah bagian dari heritage yang harus dipertahankan. Dan dengan adanya heritage itu bisa juga menjadi potensi pariwisata.”

Wacana moratorium izin kegiatan salvage pun menguat. Ini diungkapkan Agung Kuswandono, Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa di bawah Kemenko Kemaritiman. Agung adalah inisiator rapat dalam kasus ini.

“Kemenhub selalu anggap kami enggak ada urusannya, tapi justru izin itu yang jadi urusan,” ujarnya.

“Kemenhub defense, 'Salvage enggak ada urusannya dan enggak bisa moratorium.' Klaim ini betul. Tetapi karena ada tumpang tindih, kami minta kalau ada izin harus sebut alur, koordinat harus jelas,” ucap Agung.

Pernyataan Agung sejalan temuan kami: dalam beberapa SPK, seringkali Kesatuan Laut dan Penjagaan Pantai tak merinci pasti koordinat bangkai kapal yang boleh diambil.

Kata Agung, pemerintah saat ini sudah memiliki 463 titik kapal bersejarah yang dikumpulkan oleh Pusat Hidrogafi Angkatan Laut. Jika izin salvage menyerempet titik-titik ini, harus ada koordinasi dengan Kemendikbud dan KKP.

“Sekarang izin seenaknya saja. Kalau disalahkan, Kemenhub enggak mau. Tapi di lapangan terjadi. Dan itu akhirnya (penjarahan) seperti seolah dilegimitasi. Aturan ini akan diubah,” kata Agung.

Dalam keterangan tertulis, Dirut KPLP Johnny R. Silalahi membenarkan moratorium. Katanya, izin salvage untuk kapal karam tak bertuan “untuk sementara waktu sudah dihentikan”.

“Penanganannya mesti dikoordinasikan dengan instansi terkait,” kata Johhny.

Wacana lain yang muncul adalah revisi Permen salvage No. 33 tahun 2016. Regulasi ini amat lemah dan kerap jadi celah aksi para penjarah dianggap legal.

“Permen salvage harus ditegaskan bahwa salvage itu apa, jangan sesuai keinginan mereka. Karena kita tahu salvage itu pasti ngangkut yang lain. Jadi jangan pura-pura enggak tahu,” kata Agung.

Budi Karya enggan merespons wacana ini. “Saya belum bisa mengatakan sesuatu tentang itu, karena rapat kita belum selesai. Nanti kalau saya omong sesuatu, bisa salah,” katanya.

Agung menjelaskan revisi dan penguatan regulasi “akan dilakukan dalam waktu dekat”. Sebab, informasi terbaru yang diungkap Luhut Panjaitan bahwa izin salvage tak semata dipakai menjarah kapal-kapal perang. Beberapa kali kapal bersejarah, yang memilik muatan berharga alias harta karun, juga diembat.

Ia mengungkap sindikat ini menjarah kapal-kapal peradaban zaman klasik. Ada sembilan kapal lawas sudah diambil, di antaranya kapal dari Dinasti Tang dari abad ke-7 dan The Siren of Cirebon yang hilang di Laut Jawa pada abad 10.

Di tempat terpisah, Lin Xiang, pemilik kapal salvage KBR Benoa 1 yang menjabat direktur operasional PT Karya Benoa Raya, agaknya sedang asyik menggeluti bisnis terbaru. Di akun Facebook-nya ia terlihat tengah menjalin jejaring para kolektor porselen dan barang antik.

Baca juga artikel terkait PENJARAHAN KAPAL atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan, Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam