tirto.id - Penyintas dan aktivis kekerasan seksual turun ke jalan untuk berdemonstrasi di 9 kota besar di Jepang. Mereka menuntut pemerintah merevisi undang-undang anti perkosaan di negara tersebut dan memprotes putusan pengadilan yang membebaskan pelaku pemerkosaan baru-baru ini.
Aljazeera melaporkan unjuk rasa yang terjadi Selasa (11/6/2019) itu disebut “Flower Demo” karena demonstran membawa bunga dan plakat bertuliskan “#MeToo” dan “#WithYou.
Para demonstran menyebut hukum yang saat ini berlaku di Jepang sangat membenbani dan menekan korban perkosaan, membuat mereka ragu untuk membawa kasus mereka ke pihak berwajib.
Hal tersebut, membahayakan posisi perempuan Jepang lebih rentan terhadap perkosaan, karena korban akan malu atau takut melapor.
“Jika kita terus berkata tidak pada kekerasan seksual dan membagikan pesan kami, saya berharap hukum tak masuk akal ini benar-benar berubah,” kata Misa Iwata, penyintas perkosaan massal pada saat berusia 16 tahun. Ia mengikuti demonstrasi yang digelar di depan Stasiun Tokyo, Jepang.
“Satu orang yang berkata, mungkin menakutkan, tapi kita angkat suara bersama-sama, masyarakat dan pemerintahan bisa berubah,” lanjutnya.
Pada 2017, Jepang mengubah hukum mengenai perkosaan yang sebelumnya berlaku selama berabad-abad. Amandemen yang dilakukan termasuk memberi hukuman lebih berat dan keras terhadap pelaku, juga memasukkan laki-laki dapat menjadi korban.
Namun, berdasarkaan lapotan Reuters hukum menyisakan bagian yakni harus terdapat membuktikan adanya intimidasi atau kekerasan untuk bisa disebut sebagai perkosaan.
Sebelumnya, pengadilan daerah Nagoya membebaskan sorang ayah yang didakwa memerkosa putrinya yang berusia 19 tahun. Keputusan tersebut memantik kemarahan para penyintas dan aktivis. Mereka menuntut hukum harus menyertakan hubungan seksual non-konsensual sebagai perkosaan.
“Kasus semacam ini berlanjut karena orang tidak memiliki anggapan bahwa dakwaan tersebut salah,” kata Miku Yokoyama, seorang aktivis yang mengikuti demonstrasi tersebut.
“Kami ada di sini hari ini unyuk mengubah hal itu.”
Reformasi hukum anti-perkosaan pada 2017 juga memasukkan anal dan oral seks secara paksa sebagai kekerasan seksual, menambah waktu hukuman minimum dari tiga menjadi lima tahun.
Hukum juga mewajibkan anak di bawah usia 18 tahun yang diperkosa oleh orang tua atau wali harus terdapat kekerasan, intimidasi, atau ketidakmampuan menolak untuk bisa dianggap pemerkosaan.
Proposal serupa juga sempat hendak diterapkan pada orang dewasa, tetapi batal karena kekhawatiran akan maraknya tuduhan palsu.
Namun kritikus beranggapan hal tersebut tidak akan terjadi, karena melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa saja sudah cukup memberi tekanan sosial, dan psikologis pada korban.
“Bukti perkosaan harus dihadirkan, jadi tidak mungkin tuduhan palsu akan meningkat [jika hukum tersebut diterapkan pada orang dewasa],” kata Tomoko Murata, pengacara yang menangani kasus kekerasan seksual, seperti dikutip Japan Times.
Menteri Peradilan, Takashi Yamashita mengatakan akan meninjau soal permintaan mengenai reformasi undang-undang ini.
“Kita harus dengan hati-hati memahami dampak dihilangkannya seluruh persyaratan untuk pembuktian perkosaan, [seperti] kekerasan dan intimidasi,” ujarnya.
Beberapa anggota Kementerian Shinzo Abe dari Partai Liberal Dwmocrat juga tertarik mengangkat isu tersebut, membentuk kelompok yang disebut Caucus untuk Masyarakat Tanpa Kekerasan Seksual.
Chihiro Ito, salah seorang penyintas percobaan perkosaan menyebut tidak perlu ada bukti untyk kasus pemerkosaan akan memicu debat di masyarakat. Namun, menurutnya, debat di masyarakat dapat memicu reformasi hukum lebih cepat.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yantina Debora