tirto.id - WA (15), perempuan remaja asal Jambi, harus menerima kenyataan pahit divonis enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari Jambi, karena perkara aborsi.
WA, korban perkosaan kakak kandungnya sendiri, AA (18), ditangkap Polres Batanghari setelah warga menemukan mayat bayi perempuan di kebun sawit pada Rabu (30/5/2018).
Vonis terhadap WA sontak memancing polemik. Selain korban perkosaan, usia WA masih di bawah umur. Terlebih lagi, aborsi yang dilakukan WA atas sepengetahuan ibunya, AD, yang memberikan WA jamu tradisional serta memijat perutnya.
Meski tidak membenarkan aborsi yang dilakukan oleh WA, Ahli Kriminologi Universitas Padjajaran Bandung, Yesmil Anwar menilai, WA tak sepatutnya dijatuhi hukuman penjara, karena masih di bawah umur.
“Dia masih anak- anak, kalau masih di bawah 15 tahun, dia nggak bisa dihukum. Harusnya kena undang-undang perlindungan anak. Kalau dihukum, bisa percobaan, tidak harus masuk penjara. Yang penting tidak boleh melakukan suatu kejahatan lagi,” ujar Yesmil ketika dihubungi Tirto.
Menurut Yesmil, jika AD turut membantu proses aborsi itu, sudah seharusnya ia juga dikenai sanksi pidana, karena dalam undang-undang, semua pihak yang terlibat dalam aborsi juga turut dihukum.
WA bukan satu-satunya anak yang dimejahijaukan pada 2018 ini. Mei lalu, seorang remaja 16 tahun berinisial RJT, ditetapkan sebagai tersangka pelaku pengancaman terhadap Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan catatan Tirto, RJT dihukum karena mengancam Presiden Jokowi dalam video berdurasi 19 detik. “Gue tembak orang ini. Gue pasung. Ini kacung gue. Gue lepasin kepalanya,” kata RJT dalam video tersebut.
Kasus tersebut juga RJT dikeluarkan dari sekolahnya, dengan alasan bahwa yang bersangkutan telah melanggar beberapa tata tertib sekolah.
Saat itu, RJT terancam hukuman 6 tahun penjara, dengan dasar Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE, tentang pelanggaran membuat dokumen yang isinya mengancam seseorang.
Tingginya Angka Anak Berhadapan dengan Hukum
Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak 2011 hingga 2017, pengaduan terkait kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH), selalu menduduki peringkat tertinggi, baik anak sebagai pelaku maupun sebagai korban. Angka pengaduan tersebut bahkan tak pernah di bawah 1000 kasus setiap tahunnya.
Pada 2018, hingga bulan Mei, KPAI juga mencatat bahwa kasus ABH menduduki peringkat pengaduan tertinggi. Dari 1885 pengaduan yang masuk, 504 diantaranya (27% dari total kasus) merupakan kasus ABH, kemudian disusul oleh kasus keluarga dan pengasuhan alternatif (324 kasus), pornografi dan cyber crime (255 kasus), kesehatan dan napza (162 kasus), pendidikan (161 kasus), trafficking dan eksploitasi (144 kasus), sosial dan anak dalam situasi darurat (119 kasus), agama dan budaya (105 kasus), hak sipil dan partisipasi (79 kasus), kasus perlindungan anak lainnya (32 kasus).
Menurut catatan KPAI, sejak 2011 hingga 2018, anak sebagai pelaku kekerasan seksual masih menjadi kasus tertinggi, yang diikuti dengan kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik, dan anak sebagai pelaku pembunuhan.
Psikolog Anak dan Remaja, Irma Gustiana A, M.Psi, Psi. menyampaikan bahwa ada berbagai macam faktor penyebab ABH. Salah satunya adalah kurangnya kasih sayang orangtua terhadap anak.
“Yang pasti soal bagaimana orangtua mendidik dan mengasuh anak di rumah. Anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar,” ujar Irma kepada Tirto.
Selain itu, Irma juga menjelaskan bahwa lingkungan sosial juga mempengaruhi perilaku anak. Seorang anak bisa menjadi pelaku kriminal untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebayanya.
“Banyak aktivitas kurang baik yang ditayangkan, misalnya lewat sosial media dan internet, sehingga anak-anak secara tidak sadar menganggap perilaku mereka adalah sesuatu hal yang normal,” ungkap Irma.
Penelitian Mulia Astuti untuk Kementerian Sosial, menjabarkan faktor-faktor penyebab ABH dengan lebih sistematis. Di antaranya adalah faktor kesempatan, lingkungan, dan ekonomi. Dalam penelitian ini, Astuti meneliti enam keluarga yang anaknya berhadapan dengan hukum. Hasilnya, lima dari enam anak kurang memperoleh perhatian dan kasih sayang dalam keluarga.
“Misal, orangtua yang tak pernah mengajarkan nilai dan norma agama, tidak adanya aturan dan kasih sayang dalam keluarga, atau kerap memberi contoh tak baik, tak ayal anak nantinya akan melakukan tindak kriminal/ kejahatan (perampokan, pencurian, pembunuhan, pengrusakan, pemerkosaan, dan lain sebagainya),” tulis Astuti dalam laporannya.
Namun, Astuti juga menemukan kasus seorang ABH yang memperoleh perhatian cukup dari keluarga. Dalam kasus tersebut, seorang anak melakukan tindakan kriminal karena desakan ekonomi dan pola komunikasi yang kurang baik dengan lingkungan sosialnya.
Filipina punya masalah serupa. Pada 2014, Kementerian Kesejahteraan dan Pembangunan Filipina melaporkan bahwa rata-rata per tahun 10.515 anak masuk tahanan. Dilansir dari Rappler, menurut Undang-Undang Pengadilan Anak tahun 2006, anak usia 15-18 tahun yang melakukan tindakan kriminal akan dibawa ke pusat rehabilitasi. Di bawah rentang usia tersebut, ia akan dibebaskan dari tuntutan.
Namun, pada 2012, UU tersebut diamandemen sehingga anak usia 12 tahun ke atas bisa diadili untuk kasus-kasus berat seperti pembunuhan dan perkosaan. Belakangan, Presiden Duterte bahkan mendesak agar ambang batas usia dalam UU Pengadilan Anak dikurangi sehingga anak usia 9 tahun ke atas bisa dituntut untuk tindakan kriminal.
Rowelyn Acdog, pekerja sosial asal Caloocan yang terletak di utara Manila, menilai bahwa permasalahan hukum pada anak biasanya bersumber dari rumah. Ia menganggap, lingkungan sosial anak hanyalah faktor tambahan.
“Mengapa mereka melakukan kejahatan? Karena mereka diabaikan oleh orangtua. Jika kehidupan keluarga dan orangtua terganggu, ada kecenderungan bahwa anak juga akan gagal berperilaku normal secara sosial. Pertama adalah orangtua, dan kemudian lingkungan tempat mereka beradaptasi,” ungkap Rowlyn sebagaimana dikutip Rappler.
Perlu Perhatian Khusus
Psikolog Anak dan Remaja, Irma Gustiana A, M.Psi, Psi. menyampaikan bahwa kasus ABH bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi keluarga, tetapi juga bagi sekolah. Pasalnya, separuh waktu anak berada di lingkungan sekolah.
“Nah itu, sekolah ini ‘kan berbeda-beda, sekolah sebetulnya harus mampu membina siswa menjadi individu yang berkarakter positif. Penyuluhan, pembentukan karakter itu sangat penting. Guru harus mencontohkan karakter positif. Kalau mengajar juga tidak menggunakan emosi. Tidak usah menggunakan kekerasan verbal, sehingga anak tidak memiliki kecenderungan meniru saat mendesak,” kata Irma.
Selain sekolah, Ketua Komisioner KPAI, Susanto menilai, permasalahan ABH juga menjadi tanggung jawab daerah tempat tinggal anak. Di Indonesia, imbuh Susanto, belum banyak kabupaten/kota yang memiliki regulasi ramah anak.
“Pertama regulasi, kedua terus melakukan advokasi terhadap pimpinan daerah terkait mekanisme pencegahan. Daerah wajib memberikan model-model pencegahan. Kasus makin kompleks, sehingga pemerintah daerah, sampai di desa, RW, RT harus mengembangkan model pencegahan,” ujar Susanto.
Susanto menilai, regulasi yang ada pada daerah merupakan suatu bentuk komitmen pemerintah setempat. Ia yakin regulasi tersebut bisa menekan jumlah angka ABH di Indonesia bisa secara maksimal.
Editor: Windu Jusuf