tirto.id - Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa tersebut cukup tepat menggambarkan nasib RJ, remaja berusia 16 tahun yang menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan nada ancaman. Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 25 Mei lalu, ia juga harus menghadapi kenyataan pahit, yaitu: dikeluarkan dari sekolahnya.
Kabar RJ dikeluarkan dari sekolahnya berawal dari penuturan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono, Senin (28/5/2018). Sayangnya, Argo enggan menjelaskan lebih detail mengenai masalah ini.
Informasi tersebut juga dibenarkan oleh Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti. Ia bahkan menyebut RJ telah dikeluarkan dari sekolahnya sejak 9 Mei, sebelum remaja berusia 16 tahun itu ditetapkan sebagai tersangka.
Retno menuturkan, informasi itu ia dapatkan setelah KPAI berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta guna mendalami kasus ini. Menurut Retno, KPAI dan Dinas Pendidikan DKI telah menemui pihak sekolah dan mereka menyatakan pengeluaran RJ sudah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
“Ditekankan bahwa ananda RJ dikeluarkan bukan hanya karena kasus video [ancaman terhadap Presiden Jokowi] yang viral tersebut, namun karena beberapa pelanggaran tata tertib sekolah, dan sekolah sudah melakukan upaya-upaya pembinaan sebelumnya terhadap RJ,” kata Retno kepada Tirto, Kamis (31/5/2018).
Pendidikan Harus Tetap Jalan
Nasib yang menimpa RJ ini hanya bagian kecil dari sejumlah kasus yang membuat anak-anak harus meninggalkan bangku sekolah karena berurusan dengan kasus hukum. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per Mei 2018, total terdapat 2.644 anak yang mendekam di penjara sebagai narapidana. Sedangkan 995 anak lainnya masih berstatus sebagai tahanan. Dalam UU SPPA, disebutkan anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut adalah anak yang telah berumur 12 tahun, atau belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
Retno mengatakan negara harus terus menjamin anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan walaupun mereka berurusan dengan kasus hukum. Mantan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini juga mengingatkan, sebaiknya sekolah tidak terburu-buru mengeluarkan anak yang terlibat kasus pidana, sebelum ada putusan tetap.
Nemun, Retno mengakui dirinya tidak menampik ada sekolah memiliki otoritas untuk mengeluarkan siswa yang terlibat kasus, meskipun kasus yang menjeratnya belum inkrah. Sehingga negara mesti menyediakan fasilitas pendidikan di lapas atau tempat anak tersebut dititipkan.
“Di dalam lapas mereka tetap mendapatkan pendidikan, sejenis PKBM [Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat] tapi bisa [ikut] ujian nasional dan dapat ijazah resmi negara,” kata Retno.
Terkait kasus RJ ini, kata Retno, KPAI saat ini tengah menelusuri apakah sekolah mengeluarkan rapor semester genap tahun ini atau tidak. Menurut Retno, hal ini penting agar RJ bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah lain.
“Karena kenaikan kelas tahun ini kalau sesuai jadwal Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah minggu pertama Juni 2018. Sehingga, KPAI jadi mempertanyakan bagaimana status dokumen rapor RJ saat dikeluarkan oleh sekolah,” kata Retno.
Sementara pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduzen mengatakan, meskipun anak telah divonis bersalah dalam suatu kejahatan, tetap saja hak atas pendidikan itu tidak boleh dicabut.
Namun, kata Abduzen, mekanisme pemenuhan hak atas pendidikan terhadap anak yang berhadapan dengan kasus hukum ini tidak bisa digeneralisir. Harus dilihat jenis kejahatan dalam masing-masing kasus.
“Sejauh itu tidak memberikan pengaruh buruk kepada anak-anak yang lain, saya kira itu tidak sepatutnya dikeluarkan,” kata Abduzen kepada Tirto lewat sambungan telepon, Kamis (31/5/2018).
Apabila ternyata kejahatan yang dilakukan si anak itu dapat berpengaruh buruk terhadap anak lain, Abduzen mengatakan, maka negara harus menyediakan pembinaan secara khusus terhadap anak tersebut.
“Harus ada kearifan dan kebijakan dari sekolah apakah si anak bisa diatasi di sana atau diperlukan lembaga khusus yang disediakan negara,” kata Abduzen.
Abduzen menyayangkan, langkah sekolah RJ yang mengeluarkan remaja berusia 16 tahun itu setelah terlibat kasus penghinaan Presiden Jokowi. Menurut dia, seharusnya sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan anak tersebut ke jalan yang benar.
Ia mengatakan, tindakan sekolah ini justru makin melekatkan stigma kepada anak yang terlibat kasus pidana. Akibatnya, ke depan anak yang menghadapi masalah hukum malah sulit diterima di sekolah lain.
“Kalau memang itu tidak membahayakan, jangan asal buang saja. Kita merasakan dia sebagai penyakit kemudian kita buang saja. Harus ada rasa tanggung jawab juga,” kata Abduzen.
Anak Bukan Pelaku, Tapi Korban
Menanggapi hal ini, pengacara publik dari LBH Jakarta, Arif Maulana menyatakan, ketika anak-anak terpaksa berhadapan dengan kasus hukum, anak tetap harus dilindungi sehingga mesti ada penanganan khusus terhadap yang bersangkutan. Alasannya, usia anak-anak masih labil dan kejiwaan serta pikirannya belum matang layaknya orang dewasa.
Menurut Arif, pada 2012 DPR bersama pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Regulasi ini mengatur mekanisme penyelesaian masalah pidana yang melibatkan anak.
“Jadi anak itu kelompok rentan yang masih belum cakap hukum. Dia kalau terlibat tindak pidana, baik itu sebagai pelaku tindak pidana ataupun sebagai saksi dan korban, dia harus dilindungi dengan SPPA,” kata Arif kepada Tirto.
Arif mengatakan semua anak yang berhadapan dengan hukum mesti dipandang sebagai korban, antara lain korban dari lingkungan, pergaulan, maupun korban dari orang tua yang abai terhadap hak anak.
"Karena pada dasarnya semua anak itu baik,” kata Arif menambahkan.
Untuk mewujudkan perlindungan itu, kata Arif, fokus utama SPPA ialah restorative justice. Artinya, hukuman diberikan bukan untuk membalaskan dendam, melainkan untuk mengembalikan anak tersebut menjadi baik.
Salah satu implementasi dari upaya ini ialah dengan pemberian diversi, yaitu penyelesaian kasus secara kekeluargaan di luar ruang lingkup pidana. “Sepanjang ancaman hukumannya tidak sampai 7 tahun,” kata Arif.
Selain itu, kata Arif, anak yang terlibat dalam masalah pidana juga diberikan hak-hak khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU SPPA, salah satunya ialah hak untuk tetap memperoleh pendidikan.
“Selama dia menjalani proses hukum, jangan sampai hak dia untuk menerima pendidikan, mendapatkan ilmu pengetahuan itu terputus. Harus bisa tetap sekolah,” kata Arif.
Pertanyaannya, siapa yang harus memberikan pendidikan? Arif menyatakan, sekolah si anak yang harus memberikan. Namun, ada pengecualian, jika ternyata anak tersebut ditahan, maka kewajiban memberikan pendidikan ada di tangan negara.
Arif mengingatkan, dalam UU SPPA proses hukum seperti penahanan dan pemenjaraan harus menjadi solusi terakhir.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz