tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang. Terkait hal itu, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang meminta pemerintah dan DPR mengkaji kembali khususnya terkait regulasi mengatur cuti melahirkan sepanjang enam bulan.
"Karena ini menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha. Psikologi pengusaha harus dijaga karena merekalah yang akan menjalankan kebijakan ini, sehingga memiliki kesiapan dan kemampuan jika RUU ini disahkan. Dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah diatur hak cuti hamil selama 3 bulan dan sudah berjalan hampir 19 tahun pelaku usaha menjalankan aturan tersebut tersebut dengan konsisten," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (23/6/2022).
Dia menilai rencana cuti hamil selama 6 bulan dan cuti suami 40 hari harus mempertimbangkan berbagai aspek, mulai tingkat produktivitas, kemampuan pelaku usaha dan dampak terhadap pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Menurut data Kementerian koperasi dan UKM pada 2019, jumlah tenaga kerja UKM sebanyak 119,6 juta orang setara dengan 96,92% total tenaga kerja Indonesia. Sisanya 3,08% berasal dari usaha besar.
"Bisa dibayangkan jika suami istri bekerja ditempat yang berbeda, suami cuti selama itu di kantornya tentu akan mengganggu kinerja dan produktivitasnya di perusahaannya," bebernya.
Menurut data dari Asian Productivity Organization (APO) yang dikeluarkan pada tahun 2020 menunjukkan posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Kemudian berada di bawah rata rata tingkat produktivitas tenaga kerja 6 Negara Asean bahkan peringkat dunia, Indonesia berada diurutan 107 dari 185 Negara.
"Jangan sampai kebijakan ini akan semakin menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja kita yang jauh tertinggal," ungkapnya.
Sementara itu, dia mengklaim para pengusaha mendukung jika terkait kesehatan. Tetapi dampaknya harus dipikirkan secara matang.
"Kami juga berharap agar sinkronisasi RUU ini dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang nantinya membingungkan pelaku usaha. Serta dalam pembahasan RUU ini agar melibatkan pelaku usaha dari berbagai sektor dan kelas sehingga nantinya dapat merumuskan kebijakan dan tepat dan produktif," pungkasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Intan Umbari Prihatin