tirto.id - Bagaimana rasanya jadi kelas pekerja dan dimanfaatkan elite politik untuk meningkatkan kesuksesannya? Tanya saja kepada NN, pekerja seks komersial yang dijebak politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade. NN pasti paham betul karena upayanya mencari uang sebesar Rp800 ribu malah membuatnya meringkuk di penjara.
NN ditangkap pada Minggu (26/1/2020) di sebuah hotel di kota Padang. Berdasar penuturan NN, dia diantar ke kamar nomor 606 oleh muncikarinya tanpa ada perasaan curiga sama sekali. Dia tidak bertanya siapa pemesannya dan melayani pelanggan seperti biasa.
NN mengaku sempat melakukan aktivitas seks dan oral seks sebelum bel pintu kamar berbunyi. NN tidak mau membukanya, dia masih telanjang bulat dan tidak ada handuk di kamar tersebut. Namun pria yang menjadi pelanggan NN memakai baju dan malah menyambut tamu, mempersilakan wartawan dengan kamera serta polisi masuk, lantas kabur setelahnya.
Panik dan takut, NN melesat menuju kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Salah satu wartawan perempuan membawakan baju kepada wanita umur 26 tahun itu agar dia mau keluar. NN tidak protes karena ditangkap polisi. Tapi yang menjadi masalah, berdasarkan pengakuan NN, adalah: "Mengapa harus ‘pakai’ aku dulu?”
Versi Andre mengatakan sebaliknya: tidak ada waktu bagi pelanggan untuk menggunakan layanan seksual dari NN sebelum penggerebekan. Asumsi Andre karena melihat kondom yang masih utuh dan pelanggan itu sudah tahu akan digerebek.
“Masak punya waktu untuk pakai?” kata Andre.
Keterangan dari polisi juga tidak meyakinkan. Satu kali mengatakan NN tidak mengakui sudah melakukan aktivitas seks. Kesempatan lain, polisi mengaku NN sempat menyatakan ‘dipakai’ terlebih dahulu dan diminta membuktikan di persidangan.
Andre membela diri dengan mengatakan dia tidak melakukan aksi penjebakan. Menurut pengakuannya, kejadian itu bermula karena ia mengetahui aplikasi MiChat menjadi sarana transaksi jasa pekerja seks komersial terhadap salah satu warga di Padang. Andre kemudian memfasilitasi pelanggan NN itu dengan kamar hotel yang telah dia pesan bersama ajudannya, Bimo.
Saat itu, sepenuturan Andre, polisi yang melakukan penggerebekan dan dia hanya mengekor. Tidak ada sama sekali jebakan yang ia lakukan.
“Nah, ajudan saya memang sudah ada kamar di situ (hotel), karena warga yang memesan tidak punya waktu lagi untuk memesan kamar, karena cewek itu (NN) minta bukti kamarnya, di mana dipinjam kamar ajudan saya,” kata Andre seperti dilansir Kompas.
Sampai sekarang "pelanggan" yang mengadu ke Andre itu masih dicari polisi. Bila pernyataan Andre benar, seharusnya tidak sulit mencari pria yang menyewa NN karena Andre mengenalnya. Nama pelanggan itu sampai sekarang tak diungkap kepada publik.
Memakai Cara Murahan
Andre yang baru saja menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Sumatra Barat I tahun 2019-2024 ini sebetulnya berada di Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian, perdagangan, BUMN, dan investasi. Tidak ada kaitan secara langsung antara prostitusi yang dia urus dengan ranah kerjanya di DPR.
Tahun ini Gerindra akan ikut dalam kontestasi Pilkada Sumbar. Saat ini dua nama paling kuat yang muncul sebagai kandidat dari Gerindra adalah Nasrul Abit dan Indra Catri. Namun hingga kasus penggerebekan Andre mencuat, belum ada kepastian siapa yang akan diusung Gerindra.
Posisi Andre adalah Ketua DPD Gerindra Sumatra Barat. Jaringan Aktivis Indonesia (Jarak) menganggap Andre ingin menaikkan pamornya jelang Pilkada yang akan digelar September mendatang. Menurut Ketua DPP Jarak Donny Manurung, Andre memang tengah menimbang untuk ikut dalam kontestasi tersebut.
"Dia menggunakan isu prostitusi untuk mengangkat untuk mendompleng suara, mendompleng popularitas dia lah. Nah ini masih dikaji apakah melalui ini Andre mendapat keuntungan secara materiel atau imateriel," jelas Donny.
Andre berkilah. Kendati jualan jasa prostitusi ini juga banyak di Jakarta, tempat Andre bekerja, ia mengaku motifnya adalah tidak terima karena kota kelahirannya masih dipenuhi tindakan yang menurutnya tak bermoral.
"Saya dipilih oleh masyarakat [di] 11 kota/kabupaten. Di Padang saya dapat 70 ribu suara. Karena saya besar dan lahir di sana, masyarakat melaporkan, maka jadi perhatian saya. Masak saya diam saja?" ujar Andre lagi.
Permasalahannya, Andre tidak sekadar peduli, tapi juga memang berencana mengundang perhatian publik. Dia datang bersama wartawan bahkan merekam aksi penggerebekan dan menyebarkannya di media sosial, kendati Andre membantah sengaja membawa awak media ke sana.
Sebagai politikus, Andre memanfaatkan media sebagai corong publisitas dalam konteks penggerebekan tersebut. Bagaimanapun, menurut Adam D. Sheingate, guru besar di John Hopkins University, pers untuk publikasi memang bisa menjadi alat politik yang kuat. Situasi ini juga terjadi di Amerika. Dengan tersebarnya aksi yang dilakukan politikus kepada publik, maka ada kemungkinan muncul dukungan dari rakyat.
Publisitas semacam ini, menurut Sheingate, bisa mendekatkan antara kandidat dengan para pemilih. Media juga bisa membuat politikus dikenal lebih dekat secara pribadi, tanpa harus mengenal partainya.
“Faktanya, partai lebih memilih individu yang mempunyai kemampuan dan teknik kampanye dan dapat dikenal luas secara nasional untuk pemilihan, daripada memberikannya kepada petinggi partai atau mereka yang sudah duduk sebagai anggota DPR,” catat Sheingate dalam Building of Business of Politics: The Rise of Political Consulting and the Transformation of American Democracy (2016).
Tapi, nahasnya, usaha Andre seperti sia-sia belaka. Bukannya mendapat banyak dukungan, dia malah menuai cacian dan menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ahmad Muzani, nama Andre tak masuk dalam radar bakal calon Gubernur Sumbar yang akan didukung Gerindra.
Bagi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), penggerebekan ala Andre tidak menyelesaikan sumber masalah prostitusi di Padang. Prostitusi tidak akan terjadi jika tidak ada permintaan. Dalam hal ini, menurut Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur, seharusnya Andre yang dipidana polisi karena melakukan penjebakan.
Hal sama disampaikan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Dalam kasus ini, NN seharusnya dianggap sebagai korban yang tak patut dipenjara polisi, muncikarinyalah yang harus bertanggung jawab. Apalagi NN dijerat dengan pasal karet UU ITE, Pasal 27 ayat 1, tentang menyebarkan dokumen keasusilaan.
"Ancaman pidana yang menimpa NN akibat inisiatif Andre Rosiade yang dengan sengaja melakukan penjebakan menunjukkan bahwa pasal 27 ayat 1 UU ITE telah multitafsir dalam mendefinisikan tindakan keasusilaan yang termuat dalam pasal karet ini," ujar Ellen Kusuma, Kepala Sub Divisi Digital At-Risk Communities (DARK) SAFEnet.
Sebenarnya kiprah Andre sebelumnya relatif bersih dari cibiran. Dia sempat mengkritik pembalakan di Sumatra Barat yang menyebabkan banjir pada November 2019. Pada Desember 2019, bersama Ketua DPRD Kota Padang, Andre juga melakukan razia terhadap kelab malam yang tak memiliki izin.
Aksi-aksi itu tak banyak mengundang perhatian publik, apalagi dalam cakupan nasional. Manuver yang dilakukan Andre sebulan berikutnya sangat mengundang reaksi publik, tapi dampaknya malah menyudutkan politikus kelahiran 7 November 1978 itu.
Setelah penggerebekan tersebut, Andre dilaporkan ke Bareskrim Polri dan dipanggil Mahkamah Partai Gerindra untuk melakukan klarifikasi. Dia juga dipanggil Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR untuk memberikan keterangan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan