Menuju konten utama
Kuasa Hukum:

Penetapan Tersangka Setya Novanto Tidak Sesuai Prosedur

Kuasa hukum menyatakan penetapan tersangka terhadap Setya Novanto tidak sesuai dengan prosedur.

Penetapan Tersangka Setya Novanto Tidak Sesuai Prosedur
Persidangan praperadilan penetapan tersangka terhadap Ketua DPR Setya Novanto akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (20/9/2017). tirto.id/Andrian Pratama Taher

tirto.id - Tim kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto mengemukakan tiga kesalahan besar dalam penetapan kliennya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP.

Salah satu anggota kuasa hukum, Ida Jaka Mulyana menyatakan penetapan tersangka terhadap Setya Novanto tidak sesuai dengan prosedur.

"Pemohon dengan tegas menolak penetapan tersangka yang dikeluarkan termohon terhadap diri pemohon karena belum ada dua alat bukti yang sah yang diperoleh dari proses penyidikan yang sah," kata Jaka saat membacakan permohonan praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/9/2017).

Pasalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Novanto baru diterima pada tanggal 18 Juli 2017. Padahal, KPK mengumumkan Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.

Sementara dalam KUHAP menyatakan bahwa proses penyidikan harus memeriksa orang yang diduga sebagai tersangka terlebih dahulu. Untuk itu, Jaka menilai KPK melanggar UU 30 tahun 2002 tentang KPK dalam proses penyidikan.

Kuasa hukum lainnya, Amrul Khair juga mempertanyakan alat bukti yang digunakan KPK dalam penetapan tersangka Ketua Umum Partai Golkar itu.

"Faktanya tidak ada satu bukti yang membuktikan pemohon melakukan tindak pidana yang dituduhkan," ujar Amrul Khair.

Tim penasehat hukum menduga bukti yang digunakan untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka hanya menggunakan keterangan persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto. Padahal, putusan perkara Irman dan Sugiharto dalam nomor perkara 41/pidsus/PPK/2017/Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak menyinggung nama Novanto sebagai pihak yang menerima aliran dana.

KPK, kata Amrul, tidak bisa menggunakan keterangan dari perkara lain untuk meningkatkan status seseorang sebagai tersangka. Pasalnya, secara yuridis, keterangan yang diungkapkan dalam persidangan Irman dan Sugiharto hanya berlaku untuk persidangan kedua terdakwa.

Amrul menambahkan, KPK pun tidak bisa menggunakan kesaksian dalam persidangan Irman dan Sugiharto untuk perkara Novanto karena keterangan para saksi berbeda-beda dan tidak sinkron.

Baca: Menguji Ketangguhan KPK Lewat Praperadilan Setya Novanto

"Apalagi keterangan para saksi tersebut pun tidak didukung dengan alat bukti yang lain sehingga tidak dapat ditentukan keterangan mana yang benar," ujar Amrul.

Terakhir, tim kuasa hukum menilai bahwa penyidik yang bertugas menangani perkara ini tidak sah karena sejumlah penyidik KPK belum melepaskan statusnya sebagai penyidik Polri.

Posisi 11 penyidik KPK dalam perkara ini masih aktif sebagai penyidik Polri. Padahal, hal tersebut dianggap melanggar pasal 39 UU KPK karena penyidik KPK harus lah penyidik murni KPK.

Mengacu pada poin-poin itu, tim penasehat hukum Novanto berpendapat penetapan kliennya sebagai tersangka tidak didasari oleh alat bukti apapun, tidak memenuhi unsur bukti permulaan yang cukup serta melanggar ketentuan KUHAP, UU KPK, dan SOP Penyidikan.

Sebagai informasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP karena diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Selain itu, Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan.

Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto