Menuju konten utama

Pemerintah Kantongi Penerimaan Rp159 Miliar dari Pajak Kripto

Pajak transaksi perdagangan aset kripto berlaku sejak 1 Mei 2022 dan sudah dilaporkan per Juni 2022.

Pemerintah Kantongi Penerimaan Rp159 Miliar dari Pajak Kripto
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja Pemerintah dengan Banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/9/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Pemerintah telah mengantongi penerimaan sebesar Rp159,12 miliar dari hasil pajak kripto hingga September 2022. Pajak transaksi perdagangan aset kripto berlaku sejak 1 Mei 2022 dan sudah dilaporkan per Juni 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi pajak tersebut berasal dari PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui PPMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri sebesar Rp76,27 miliar. Kemudian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri atas pemungutan oleh non bendaharawan senilai Rp82,85 miliar.

"Pajak kripto yang sempat pada saat itu terjadi boom telah kita kumpulkan untuk PPN-nya Rp82 miliar, untuk transaksi aset yaitu perpindahan tangan dari aset kripto terkumpul Rp76,2 miliar," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita di Jakarta, dikutip pada Sabtu (22/10/2022).

Ketentuan pungutan pajak atas transaksi aset kripto, baik PPh maupun PPN, tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 68 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

PPh yang dipungut atas transaksi aset kripto adalah PPh Pasal 22 yang bersifat final. Bila perdagangan aset kripto dilakukan melalui platform yang terdaftar Bappebti, PPh Pasal 22 final yang dikenakan adalah sebesar 0,1 persen.

Sementara perdagangan yang dilakukan melalui platform yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPh Pasal 22 final yang berlaku atas transaksi tersebut adalah sebesar 0,2 persen.

Sedangkan untuk pengenaan PPN, penyerahan aset kripto melalui platform yang terdaftar Bappebti dikenai PPN sebesar 1 persen dari tarif umum atau sebesar 0,11 persen.

Apabila penyerahan dilakukan melalui exchanger yang tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPN dikenakan menjadi dua kali lipat yakni 2 persen dari tarif umum atau sebesar 0,2 persen.

"Jadi capaian ini semakin menunjukkan bahwa setiap hal yang memang seharusnya menjadi objek pajak, maka kita akan lakukan compliance atau pemenuhan kepatuhan sehingga azas keadilan itu terjadi," kata Sri Mulyani.

Pajak Pinjol Terkumpul Rp130,09 Miliar

Di sisi lain, pemerintah juga telah berhasil mengumpulkan penerimaan dari pajak dari fintech peer-to-peer lending atau pinjaman online (pinjol) sebanyak Rp130,09 miliar hingga September 2022. Pajak ini sudah berlaku sejak 1 Mei yang mulai dibayarkan dan dilaporkan Juni 2022.

Secara rinci penerimaan pajak dari pinjol itu terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yaitu sebesar Rp90,05 triliun.

Kemudian, pemerintah memperoleh Rp40,04 miliar yang berasal dari PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri.

Ketentuan pemungutan PPh atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak melalui aplikasi pinjaman online itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022.

Pada beleid itu diatur bila bunga diterima wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap atau perusahaan pinjol maka dikenakan PPh 23 sebesar 15 persen dari jumlah bruto atas bunga.

Sementara bila penerima bunga adalah wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, bunga dikenakan PPh 26 dengan tarif sebesar 20 persen sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.

Lewat PMK 69/2022, maka perusahaan fintech atau pinjol memiliki tanggung jawab sebagai pihak yang melakukan pemotongan PPh. Perusahaan fintech yang dimaksud adalah yang sudah berizin dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Baca juga artikel terkait PAJAK KRIPTO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Gilang Ramadhan