tirto.id - Lembaga riset The PRAKARSA menilai, pajak kekayaan dapat menjadi salah satu alternatif kebijakan fiskal yang berpeluang diterapkan di Indonesia untuk menambah potensi penerimaan negara. Hal ini selaras dengan hasil penelitian bertajuk “Penerapan Pajak Kekayaan di Indonesia: Potensi dan Peluang” yang telah mereka lakukan.
Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan mengatakan, Indonesia sebagai negara berkembang dianggap mengalami kinerja fiskal yang memprihatinkan terutama semakin terpuruknya perekonomian dampak pandemi Covid19. Hal ini lantaran satu dekade terakhir rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih jauh dari potensi yang ada.
Bahkan, kata Maftuchan, pada 5 tahun terakhir tax ratio Indonesia sulit untuk mencapai angka 13 persen, padahal banyak lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), kemudian lembaga konsultan keuangan dunia Deloitte memprediksi potensi tax ratio Indonesia sebagai midle income country seharusnya bisa diangka 17 persen.
“Artinya kemampuan kita untuk memungut pajak dan melakukan trobosan terhadap mobilisasi sumber daya domestik yang kita miliki potensinya belum tergarap secara optimal,” kata Machtuhan dalam rilis yang diterima Tirto, Jumat (30/9/2022).
Selain itu, Maftuchan juga menjelaskan kemampuan fiskal Indonesia sangat terbatas untuk bisa recovery dari krisis pandemi COVID-19 dan potensi krisis lain seperti pangan dan energi.
“Dari situ kami melihat bahwa kita tidak bisa lagi business as usual pada kebijakan fiskal, kita harus melakukan terobosan-terobosan agar domestic resourch mobilization yang kita tempuh perlu multi track, atau perlu mencerminkan upaya komprehensif terhadap potensi yang ada,” kata dia.
Menurut dia, salah satu potensi yang dimiliki untuk mewujudkan hal tersebut adalah kelompok super kaya yang ada di Indonesia. Meskipun, kondisi Indonesia tidak dianggap khas karena di berbagai negara juga terjadi peningkatan ketimpangan yang tinggi.
Maftuchan menambahkan, bahkan pasca pandemi COVID-19, kelompok super kaya mengalami peningkatan kekayaan signifikan, sedangkan kelompok miskin berada dalam kondisi yang sangat memperihatinkan.
“Kami berpandangan bahwa pajak kekayaan perlu diperkenalkan sebagai alternatif kebijakan fiskal untuk dua hal. Pertama, ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, ini bisa menjadi alat bagi negara untuk mengakselerasi distribusi kekayaan dan sumberdaya sekaligus juga meningkatkan kemampuan negara untuk pendanaan pembangunan,” kata Maftuchan.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa pajak kekayaan merupakan salah satu cermianan dari upaya untuk keadilan pajak. “Refleksi konkret bahwa kebijakan pajak itu mendekati rasa keadilan adalah ketika pajak diterapkan secara lebih progresif dalam hal ini, artinya menerapkan pajak kekayaan bagi kelompok super kaya,” kata dia.
Peneliti The PRAKARSA, Irvan Tengku Harja menambahkan, saat ini pemerintah masih terus berupaya menggali sumber-sumber penerimaan pajak baru.
“Pemerintah dapat menambahkan pajak kekayaan sebagai jenis pajak baru di samping jenisjenis pajak yang ada. Sementara dapat menstimulasi penerimaan negara, paja kekayaan juga bisa memperlambat laju ketimpangan kekayaan,” kata dia.
Hal tersebut didasarkan pada data angka kemiskinan Indonesia per Maret 2022 mencapai 26,16 juta. Menurut Irvan, angka kemiskinan ini pada kenyataannya sulit untuk dientaskan apalagi ditambah oleh krisis pandemi.
Ketika sebagian besar warga Indonesia bahkan dunia mengalami kesulitan ekonomi, tetapi 100 orang terkaya di Indonesia versi Forbes justru mengalami peningkatan kekayaan yang signifikan.
“Wajah ketimpangan di Indonesia adalah 1 persen orang terkaya menguasai kekayaan nasional sebasar 30 persen, sementara 50 orang termiskin hanya menguasai 5 persen kekayaan nasional, dan 49 persen sisanya baru dibagi-bagi,” kata dia.
Untuk itu, kata Irvan, pajak kekayaan patut dipertimbangkan sebagai alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah ekonomi. Ia menjelaskan pajak kekayaan akan dikenakan pada kekayaan bersih, pemindahan kekayaan, dan kekayaan dari apresiasi yang dihasilkan dari keuntungan modal yang dimiliki oleh high net wroth individual (HNWI) atau orang super kaya dengan nilai kekayaan lebih dari 1 juta dolar AS.
Lebih jauh, Irvan mengatakan, riset ini menemukan setidaknya 5 model perhitungan pajak kekayaan yang bisa diterapkan. Namun dari 5 model tersebut, The PRAKARSA telah memilih salah satu model yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.
The PRAKARSA menawarkan proposal format pajak kekayaan berupa pengenaan pajak kekayaan kepada HNWI atau orang super kaya yang memiliki kekayaan di atas Rp144 miliar per tahun pajak terakhir. Objek pajak meliputi aset berupa tabungan atau giro, deposito, saham, waran, surat berharga negara, sukuk, dan logam mulia. Sedangkan yang bersumber dari pemindahan kekayaan berupa warisan, donasi dan hibah.
Waktu pemungutan pajak adalah tahunan dengan mekanisme pelaporan self-assessment seperti pelaporan surat pemberitahuan tahuanan (SPT) dan perlu diverifikasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
“Menurut perkiraan kami berdasarkan data yang ada, jika pajak kekayaan ini diterapkan terdapat jumlah wajib pajak sebanyak 4.714 wajib pajak. Di samping itu agar penerapannya lebih mudah perlu diterapkan juga relaksasi berupa cicilan 1 tahun pembayaran agar tidak memberatkan wajib pajak,” kata Irvan.
Dari proposal ini, kata dia, estimasi pajak kekayaan jika diterapkan mampu menambah penerimaan negara sebesar Rp78,50 triliun.
“Jika kita bandingkan ini dengan penerimaan jenis pajak lain, pajak kekayaan bisa lebih besar dari PPh OP realisasi Desember 2021, bahkan lebih besar dari dua kali tax amnesty yaitu pada 2016 dan 2022 yang menghasilkan 61 triliun rupiah,” kata Irvan.
Tidak sampai disitu, riset ini juga telah menyertakan jejak pendapat dari para Anggota Komisi XI DPR RI. Hasilnya cukup positif, sebanyak 47 persen anggota perlemen setuju dengan penerapan pajak kekayaan. Namun berbeda dengan sebelumnya waktu pemungutan yang disetujui hanya satu kali dalam lima tahun.
Selain itu, hasil riset ini juga menjelaskan, pada dasarnya pajak kekayaan dan zakat tidak saling menegasikan. Bahkan pajak kekayaan memiliki pertautan yang kuat dengan zakat, sehingga keduanya dapat dilembagakan sebagai sebuah sistem redistribusi kekayaan terpadu.
Berdasarkan data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), jika dihitung potensi penerimaan zakat di Indonesia memiliki nilai yang cukup besar, namun realisasinya masih belum optimal. Pada 2020 potensi penerimaan zakat mencapai Rp326,7 triliun, tetapi realisasinya hanya mencapai Rp71,4 triliun atau sekitar 21,7 persen.
Sementara itu, Peneliti The PRAKARSA lainnya, Samira Hanim menambahkan, belum optimalnya pengumpulan zakat disebabkan oleh kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia yang menyalurkan zakatnya secara langsung atau tidak melalui lembaga amil zakat resmi.
“Sebagian masyarakat muslim di Indonesia meyalurkan zakatnya secara langsung kepada yang membutuhkan di sekitar tempat tinggalnya, di daerah asal, atau lembaga yang sudah mereka percayai di luar lembaga amil zakat resmi sehingga wajar jika realisasi penerimaan zakat menjadi rendah,” kata dia.
Selain itu, tantangan pengumpulan zakat juga dikarenakan adanya ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga charity yang dikelola oleh pemeritah serta tingkat kesadaran masyarakat untuk mengumpulkan zakat pada lembaga resmi seperti BAZNAS masih terbatas pada kewajiban sebagai pegawai dalam suatu perusahaan.
“Pembayaran zakat belum berupa kesadaran pribadi, ditambah lagi dalam praktiknya pembayaran zakat yang berlaku selama ini merupakan praktik standar minimal dan bukan dengan standar keutamaan," kata Samira.
Editor: Anggun P Situmorang