Menuju konten utama

Pemagang WNI Berulah di Jepang, Apa Saja yang Perlu Dibenahi?

Menteri P2MI mewacanakan semua jenis pekerja ke luar negeri harus mengurus perizinan administratif di Kementerian P2MI.

Pemagang WNI Berulah di Jepang, Apa Saja yang Perlu Dibenahi?
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding (tengah) berswafoto dengan sejumlah calon pekerja migran Indonesia (PMI) saat acara pelepasan PMI di Depok, Jawa Barat, Selasa (17/6/2025). Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) melepas 306 PMI ke Jepang dalam program kerjasama Government to Government (G to G) di sektor keperawatan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/bar

tirto.id - Kabar tak mengenakkan datang dari tiga orang warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di Jepang. Mereka bertiga kedapatan melakukan perampokan di Hokota, Prefektur Ibaraki, pada 2 Januari 2025. Tiga WNI itu antara lain Bayu Rudialto (34), Nanda Arif Rianto (33) dan Jaka Sandra (23).

Mereka bertiga merampok di rumah seorang warga Jepang berusia 45 tahun dengan disertai aksi kekerasan. Akibatnya, pemilik rumah mengalami cedera serius karena didorong hingga terjatuh.

Direktur Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia, Judha Nugraha, mengungkapkan bahwa tiga WNI tersebut telah ditahan oleh otoritas kepolisian setempat. Judha menjelaskan bahwa Kementerian Luar Negeri melalui KBRI Tokyo

telah memberikan pendampingan hukum kepada tiga pelaku dan terus berkoordinasi dengan Kepolisian Mito, Kashima, dan Namegata di Prefektur Ibaraki tempat mereka tersebut ditahan.

“Untuk dapat menjenguk, memeriksa kondisi mereka, dan melakukan wawancara untuk mengetahui motif dan detil informasi lainnya,” kata Judha dalam keterangan pers, Kamis (3/7/2025).

Saat ini, status masa ijin tinggalnya di Jepang secara hukum sudah kedaluarsa atau overstay. Meski demikian, Judha menjamin bahwa mereka akan tetap mendapatkan hak-haknya dan KBRI Tokyo akan terus memantau kasus itu hingga tuntas.

“KBRI Tokyo akan terus memonitor kasus ini dan memberikan pendampingan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak mereka dalam proses penegakan hukum di Jepang,” kata dia.

Masalah Lain di Jepang

Masih di Ibaraki, permasalahan WNI di Jepang tidak berupa aksi kriminal, tapi juga administrasi kenegaraan. Dari yang datang secara ilegal hingga administrasi visa mereka yang overstay dan menolak untuk kembali.

Di 2021, Tirto menemukan adanya ribuan WNI yang bekerja secara ilegal di Jepang. Mereka adalah korban penipuan calo dan terjepit di celah kerangka kerja dua negara tersebut. Saat ini pun, ada banyak WNI yang menempati pos pekerjaan kerah biru dan sebagian dari mereka berstatus ilegal atau overstay.

Kepolisian Jepang khawatir para pekerja migran yang datang ke negaranya secara ilegal membuat organisasi kriminal. Demi mengantisipasi adanya kasus kriminal dari WNI, kepolisian Jepang pun melatih anggotanya untuk bisa berbahasa Indonesia.

Di akhir 2024, beredar video mengenai ulah sekelompok anak muda asal Indonesia yang duduk di emperan jalan dengan gaya dan pakaian ala preman. Aksi itu ditengarai terjadi di Osaka. Hal itu lantas menuai atensi anggota Komisi I DPR RI yang kemudian dikonfirmasi langsung kepada Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Meski demikian, Retno membantah adanya aksi gangster yang dilakukan WNI di Jepang.

“Dari komunikasi kami dengan Konjen [Konsulat Jenderal] kita di Osaka, beliau menyampaikan bahwa sejauh ini belum terdapat indikasi adanya komunitas pekerja migran atau pemagang WNI karena di sana banyak sekali pemagang WNI yang membuat geng WNI di Jepang,” kata Retno.

Retno menjelaskan bahwa aksi WNI berkumpul di area publik seperti itu hanya dilakukan di momen tertentu, yaitu di hari mereka libur.

“Konjen juga menyampaikan bahwa biasanya di saat liburan atau akhir minggu memang terdapat sejumlah komunitas WNI yang berkumpul di wilayah Dotonbori dan Namba di Osaka dalam jumlah dan suasananya yang biasa dan wajar terkendali,” kata Retno dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi I DPR RI, Kamis (5/9/2024).

Regulasi Buruh Migran Perlu Diperbarui

Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care, Nurharsono, menyampaikan bahwa pemberangkatan WNI ke Jepang dilandasi hubungan bilateral yang kemudian disahkan secara hukum sejak 1993. Nurharsono menjelaskan bahwa sebagian dari WNI yang berangkat ke Jepang tidak bisa disebut sebagai pekerja migran.

Beberapa dari mereka, seperti tiga WNI yang melakukan perampokan di Jepang, berstatus pemagang yang bertujuan untuk mengurangi pengangguran dan peningkatan skill.

“Ini kan proses magang. Artinya, kalau magang itu juga waktunya terbatas dan juga belum bisa diakui sebagai pekerja,” kata Nurharsono saat dihubungi Tirto, Selasa (8/7/2025).

Nurharsono menjelaskan bahwa status hukum WNI pemagang di Jepang sebenarnya telah diperkuat dengan Permenaker 8 Tahun 2008 mengenai tata cara perijinan dan penyelenggaraan pemagangan di Jepang. Meski demikian, sejumlah masalah tetap timbul. Salah satunya adalah pemagang enggan pulang usai programnya selesai dan akhirnya menimbulkan masalah sosial di Jepang.

Pelepasan peserta magang ke Jepang oleh Menaker

Peserta magang mengikuti acara pelepasan magang ke Jepang di Gedung Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBVP) Kementerian Ketenagakerjaan, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (15/3/2025). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

“Tapi, kenyataannya mereka ini kan ada yang pulang, yang kemudian balik lagi. Kemudian, ada juga yang bertahun-tahun tidak pulang karena habis kontrak,” kata dia.

Mengenai dugaan aksi gangster di Jepang, Nurharsono tidak bisa memungkiri bila hal itu mungkin terjadi. Pasalnya, pekerja migran, baik legal maupun ilegal, sudah sangat banyak di Jepang. Ditambah lagi, para pekerja migran asal Indonesia kerap kali menuai masalah di tempat kerja, seperti gaji yang tak sesuai ekspektasi dan problematika sosial lainnya.

“Gajinya mungkin tidak sama dengan pekerja yang lain atau tidak standarisasi. Ini kan perlu dicari akar masalahnya,” kata Nurharsono.

Seiring dengan makin mengemukanya masalah-masalah pekerja Indonesia di Jepang itu, Nurharsono mendesak pemerintah untuk memperbarui lagi regulasi pekerja magang dan pekerja migran secara adil dan merata. Menurutnya, aturan itu harus dibuat di level undang-undang. Pasalnya, “anak magang” tidak diakui sebagai pekerja di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.”

“[Pemagang] tidak diakui sebagai pekerja migran yang harus dilindungi, mulai prapemberangkatan, di tempat kerja, sampai pulang,” ungkap Nurharsono.

Sekertaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Juwarih, menilai aksi pelanggaran hukum dan norma yang kerap dilakukan oleh buruh migran asal Indonesia di sejumlah negara—tidak hanya Jepang—disebabkan oleh minimnya sosialisasi dari pemerintah.

Menurutnya, pemerintah melalui KBRI atau Konjen di negara tujuan buruh migran mestinya secara rutin melakukan sosialisasi terkait aturan hukum di negara tersebut hingga isu sosial dan budaya lainnya.

“Masih minim sosialisasi atau melakukan pendekatan. Seharusnya kan perwakilan itu melakukan pendekatan terhadap komunitas-komunitas yang ada di luar negeri,” kata Juwarih saat dihubungi Tirto, Selasa (8/7/2025).

Mengenai isu pekerja migran Indonesia yang marak terlibat gangster, Juwarih membantahnya. Dalam temuannya, mayoritas masyarakat Indonesia berkomunitas atas asas kesamaan daerah atau keagamaan. Bahkan, hingga saat ini, belum ada serikat pekerja migran Indonesia yang terbentuk di negara-negara tujuan bekerja.

“Jadi, untuk serikat pekerja migrannya yang justru di sana belum terbentuk,” kata dia.

Oleh karena itu, Juwarih meminta pemerintah membuat nota kesepahaman atau MoU dengan negara sahabat yang menerima buruh migran terkait pengakuan atas serikat pekerja migran asal Indonesia. Baginya, serikat pekerja mampu menjadi payung hukum apabila buruh migran mengalami kasus hukum, baik sebagai korban maupun pelaku.

“Kenapa penting adanya berserikat di sana, ya tadi tugas serikat itu mengedukasi karena kami tahu kemampuan pemerintah pasti terbatas. Alasannya budget, SDM-nya terbatas dan lain-lain,” kata Juwarih.

Menanggapi kasus yang ada di Jepang, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Karding, menambahkan bahwa tiga WNI yang berkasus di Jepang tersebut statusnya bukanlah pekerja migran, tapi pemagang.

header KemenP2MI 91

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding dalam rapat koordinasi nasional (Rakornas) Pengendalian Program Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI) yang dihadiri seluruh Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) di Kuningan, Jakarta Selatan pada Sabtu (28/6/2025). FOTO/dok.KemenP2MI

Oleh karenanya, tiga orang tersebut tidak tercatat dalam data kementeriannya sehingga tidak bisa mendapat pelindungan sebagai pekerja migran.

Merespons hal itu, Karding mewacanakan agar semua jenis pekerja ke luar negerix harus mengurus perizinan secara administratif di Kementerian P2MI. Dengan terdata di Kementerian P2MI, para pekerja tersebut akan dibekali dengan ilmu pengetahuan terkait skill pekerjaan yang dibutuhkan hingga khazanah sosial dan budaya di negara tujuan.

“Ini saya kira harus kita atur ke depan agar semua yang mau bekerja di luar negeri, apakah itu magang, apakah itu bekerja, atau apa pun namanya, sepanjang dia menghasilkan upah dia harus satu pintu. Supaya terdata dan bisa kita kontrol dan bisa kita siapkan kualifikasi-kualifikasinya yang mau berangkat,” kata Karding, Selasa (8/7/2025).

Dia menambahkan bahwa bila para pemagang dibiarkan berangkat tanpa perizinan, mereka berpotensi merugikan negara apabila terjadi suatu pelanggaran di luar kendali Pemerintah Indonesia.

“Nah, ini akhirnya yang merugikan. Kita dirugikan, negara dirugikan, karena nama baik negara kita bisa berdampak juga pada penerimaan pekerja yang lain nanti,” kata Karding.

Baca juga artikel terkait PEKERJA MIGRAN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi