tirto.id - Masa kerja anggota DPR periode 2014-2019 maksimal hanya tiga bulan lagi sampai Oktober tahun ini. Dalam tiga bulan mendatang, masih ada lebih dari 100 RUU yang perlu disahkan menjadi undang-undang.
Pada kepemimpinan Setya Novanto yang dibantu Fahri Hamzah, Fadli Zon, Agus Hermanto, dan Taufik Kurniawan sebenarnya hanya menargetkan 189 RUU yang harus disahkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) dan 33 RUU Prolegnas Kumulatif --sebelumnya pada April 2019, jumlahnya hanya 31--.
Pada periode sebelumnya, tugas DPR jauh lebih berat yakni 247 RUU. Tentu saja tidak semuanya selesai dan ada yang diwariskan ke periode berikutnya atau anggota legislatif 2014-2019.
Dalam periode 2005-2009, misalnya, RUU Prolegnas juga jauh lebih banyak yakni 284 RUU. Setiap tahun, Baleg dan pemerintah harus mematok 55 UU setiap tahun agar bisa menyelesaikannya, yang tentu saja tidak berhasil.
DPR pada masa 2014-2019 tidak lebih baik dari itu. Meski hanya 189 RUU, mereka tidak mampu menghabiskannya dalam 5 tahun. Jangankan mencapai 55 RUU setiap tahun, mereka hanya berhasil menyelesaikan 27 UU dalam lima tahun.
Jika dilihat dari target, jelas angka ini melebihi ekspektasi. Namun, setidaknya masih ada ratusan RUU yang belum selesai. Aturan itu bisa dibahas lagi di masa jabatan berikutnya atau bisa saja dihentikan pembahasannya sementara.
Setnov, panggilan akrab Novanto, sempat menginstruksikan pemimpin komisi untuk fokus mengesahkan tiga RUU saja per tahun. “Sehingga dalam satu tahun, kualitasnya terjamin dan jumlahnya tidak besar,” kata dia pada 28 November 2014 di gedung DPR.
Jika demikian, tentu hanya akan ada 15 RUU yang disahkan dalam lima tahun periode DPR RI 2014-2019.
Jika dibandingkan periode sebelumnya, yakni 2009-2014, yang menghasilkan rata-rata 10 UU per tahun, kinerja DPR 2014-2019 dari ukuran capaian legislasi jelas menurun hingga 50 persen.
Ganti kepemimpinan DPR dari Setnov ke Bambang Soesatyo tidak mempengaruhi pembahasan RUU Prolegnas dan Prioritas. Di bawah kepemimpinan Bamsoet, justru RUU yang disahkan semakin sedikit dari periode sebelumnya.
Tidak tercapainya target legislasi ini tentu bukan tanggung jawab DPR semata. Sebab, dalam pengesahan RUU, anggota legislatif perlu persetujuan pemerintah. Apalagi, anggota DPR periode 2014-2019 ini mayoritas adalah partai pendukung pemerintah.
Tidak Akan Terkejar
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai sulit bagi DPR periode 2014-2019 untuk menyelesaikan seluruh RUU itu dalam waktu yang tersisa.
Menurut dia, yang mereka bisa lakukan sekarang setidaknya menyelesaikan hal yang sudah setengah jalan demi membantu pekerjaan di periode berikutnya.
“Sulit sekali untuk mengejar hingga 10 RUU yang bisa diselesaikan DPR dalam waktu 3 bulan ini. Wong dalam setahun saja baru sekali mereka bisa mencapai hasil 10 RUU [2016]," kata Lucius kepada reporter Tirto, Senin (1/7/2019).
Namun, Lucius melihat ada 10 RUU yang pembahasannya sudah mencapai tingkat 1. Menurut dia, RUU inilah yang seharusnya digenjot agar tidak menumpuk menjadi pekerjaan rumah bagi DPR periode mendatang.
“RUU-RUU yang proses pembahasannya sudah pada tahap pembicaraan Tingkat I itu yang paling mungkin diharapkan bisa digenjot oleh DPR agar disahkan sebelum masa bakti mereka berakhir,” kata dia.
Sebab, kata Lucius, beban RUU di DPR periode sekarang tentu akan dikirimkan ke periode berikutnya. Dia berharap hal tersebut tidak terus terulang dan menjadi tradisi.
"Tahun 2019 ini baru 3 dari 55 RUU Prioritas 2019. Saya kira jumlah beban 55 RUU itu bukan sesuatu yang ringan," ucapnya.
"RUU yang tak tuntas memang secara otomatis menjadi beban DPR selanjutnya, apalagi jika RUU itu merupakan prioritas,” kata Lucius menambahkan.
Sedangkan Direktur Populi Center Usep S Ahyar menilai seringkali anggota DPR beralasan ke daerah untuk mendengar keluhan masyarakat. Padahal, seharusnya tugas mereka adalah memperjuangkan keluhan itu di parlemen.
Usep memandang, turunnya anggota ke daerah justru untuk memenangkan diri mereka sendiri daripada konstituennya.
"Itu lebih ke arah menguntungkan mereka agar terpilih lagi di periode berikutnya," kata Usep kepada reporter Tirto.
Boros Anggaran
Selain capaian legislasi, evaluasi lain soal dugaan pemborosan anggaran.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung selama periode 2015-2019, jumlah anggaran DPR untuk pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp1,62 triliun atau sekitar Rp323,4 miliar per tahun.
Dari laman ppid.go.id, tahun 2018, DPR memiliki anggaran pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp385,141 miliar. Alokasi anggaran terbesar pada RUU yang mencapai Rp307,112 miliar untuk 37 RUU atau sekitar Rp3,8 miliar per RUU setiap tahun.
Namun, bengkaknya anggaran itu tidak dibarengi angka produksi legislasi yang dihasilkan DPR. Idealnya, satu pembahasan RUU bisa diselesaikan dalam tiga kali masa sidang.
Dalam catatan yang dihimpun Tirto, setidaknya ada 14 RUU yang terus-menerus masuk dalam Prolegnas prioritas dalam 5 tahun berturut-turut, tapi tak kunjung disahkan. Salah satunya RUU KUHP, yang sebenarnya bersifat mendesak.
Jika diilustrasikan berdasarkan anggaran per RUU pada 2018 yakni Rp3,8 miliar, artinya dalam periode ini, DPR sudah menghabiskan Rp53,2 miliar/tahun untuk 14 RUU atau Rp266 miliar selama periode 2014-2019 hanya untuk 14 RUU. Ke-14 RUU ini pun tak kunjung dirampungkan dan pembahasannya terus diperpanjang.
Beberapa alasan untuk tidak datang ke paripurna, yang salah satu agendanya adalah mengesahkan RUU menjadi UU, adalah bentrok dengan rapat lain, atau anggota dewan harus ke daerah.
Ke daerah ini pun menjadi beragam tujuan. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu beralasan dia pergi ke daerah untuk menyerap aspirasi di daerah. Namun, sebanyak apa pun aspirasi yang ia serap, RUU yang juga aspirasi masyarakat banyak yang tak kunjung selesai.
"Tugas anggota banyak. Harus ke daerah. Kalau rapat pembahasan sebenarnya tidak harus kuorum juga. Kecuali yang sifatnya mengambil keputusan," ujar Masinton beberapa waktu lalu.
Partai Solidaritas Indonesia sampai memberikan “Gabut Award” kepada anggota DPR. Menurut mereka, DPR periode 2014-2019 adalah yang terburuk sepanjang sejarah reformasi.
“Sehingga beberapa lembaga dan termasuk Formappi menyatakan bahwa DPR saat ini adalah DPR terburuk sejak reformasi. Dan kami melihat sendiri di rapat paripurna kemarin teman-teman DPR hanya datang 24, sedangkan mereka absen 193,” kata juru bicara PSI bidang Teknologi Informasi, Sigit Widodo, Senin (1/4/2019).
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz