tirto.id - Salah satu poin yang bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah pasal mengenai penghinaan presiden. Dikatakan bermasalah karena pada masa lalu pasal ini telah menjebloskan banyak orang ke dalam penjara. Pasal ini juga dinilai dapat jadi prakondisi munculnya pemerintahan yang otoriter.
Taufiqurrohman Syahuri dalam Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (2011) mengatakan bahwa pasal ini "karet" karena penerapannya akan sangat tergantung pada karakter presiden.
Pada zaman Habibie dan Abdurrahman Wahid misalnya, tidak pernah ada perbuatan yang sebetulnya sudah dapat digolongkan sebagai penghinaan presiden ditindak. Sementara pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak demikian.
Tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) sebetulnya telah menghapus pasal ini. Seharusnya pasal penghinaan presiden tidak bisa dimunculkan lagi. Namun yang terjadi tidak demikian. DPR tetap bersikeras untuk memasukkan pasal ini.
Dalam KUHP yang lama, penghinaan presiden diatur dalam Pasal 134--pasal yang kemudian dicabut MK karena dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Sementara dalam RKUHP, aturan soal penghinaan presiden tertera dalam Pasal 265 dan 266.
Dalam Pasal 265 tertulis: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV [sebesar Rp300 juta]."
Sementara pasal selanjutnya tertera: "setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum... yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden... dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun."
Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara MK, Fajar Laksono Soeroso, mengatakan bahwa dilihat dari proses pembuatan Undang-undang, pasal itu akan tetap sah dan berlaku jika memang dipertahankan hingga nanti "ketok palu".
Dikatakan sah karena ia adalah hasil musyawarah atau voting lembaga legislatif yang memang bertugas membuat regulasi dalam sistem tata negara kita.
Namun di sisi lain, secara konstitusional itu bermasalah karena faktanya DPR tidak mengindahkan apa yang jadi putusan MK 12 tahun lalu.
"Jadi itu sah secara legislasi, tapi bermasalah secara konstitusional,"kata Fajar di Pusdiklat MK RI, Rabu (28/2/2018).
Menurut pria yang juga menjabat sebagai juru bicara MK ini, pasal penghinaan presiden terbuka lebar untuk diuji materi kembali. Dan ketika itu terjadi, maka MK akan selalu merujuk pada keputusan lama. Dengan demikian, pasal tersebut potensial untuk gugur untuk kedua kalinya.
Jika hal ini berlangsung dan kemudian DPR mengakalinya lagi seperti yang mereka lakukan saat ini, maka akan terjadi apa yang menurut Fajar sebagai "krisis konstitusi."
Pada hari yang sama, Joko Widodo mengundang Mahfud MD, Luhut Pangaribuan, Edward Hiariej dan Maruarar Siahaan ke Istana Negara. Dalam acara dengan para pakar hukum itu, Jokowi meminta pandangan soal banyak hal, termasuk pasal penghinaan presiden.
"Presiden mendengar masukan tentang apa yang dilihat oleh para pakar ini tentang perkembangan hukum. Kita memberi pandangan-pandangan yang bisa menjadi alternatif," kata Mahfud, dikutip dari Antara.
Mahfud mengaku ia dan kolega tidak mengusulkan apakah sebaiknya pasal itu dihapus atau tidak. Mereka hanya memberikan pendapat apa yang bakal terjadi jika aturan ini diterapkan atau tidak diterapkan. Pada akhirnya semua dikembalikan ke presiden.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Yantina Debora