Menuju konten utama

Paranoia di Balik Pembatasan Akses WNA ke Museum TNI

Warga negara asing dilarang masuk museum-museum Pusjarah TNI pada Agustus 2017-Januari 2018. Para peneliti asing menilainya sebagai paranoia.

Paranoia di Balik Pembatasan Akses WNA ke Museum TNI
Kasus pelarangan WNA ke museum tentara mengindikasikan langgengnya paranoia di tubuh militer Indonesia terkait kebebasan informasi, menurut peneliti. tirto/Gery

tirto.id - Indonesia bukan negeri yang asing bagi Michael G. Vann. Apalagi sejak pria yang berstatus pengajar di California State University, Sacramento, ini pernah mengajar kelas perbandingan Asia Tenggara. Studi sejarah kolonialisme di Asia Tenggara membawa Vann ke museum-museum yang berisi objek-objek penting terkait proses dekolonisasi serta identitas politik yang terbentuk setelahnya.

Pada 6 November 2017, Vann mengunjungi Museum Lubang Buaya, satu area dengan Monumen Pancasila Sakti, di Kelurahan Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Sebelumnya ia pernah berwisata ke tempat yang sama pada 2012 dan 2014. Saat itu Vann bisa berkunjung tanpa halangan sebagai wisatawan. Waktu itu visanya sebagai turis.

Namun, pada kunjungan ketiga, masih dengan visa turis, ia mendadak dilarang masuk.

“Ada tanda yang berbunyi, 'Maaf saat ini orang asing tidak diperbolehkan masuk',” kisahnya kepada Tirto pada November 2017.

Vann bingung. Ia mengira museum adalah tempat publik yang boleh dikunjungi semua orang, termasuk anak-anak sekolah yang ia saksikan bisa masuk bersama rombongan lain tanpa perlu dilarang-larang—asal membeli tiket, tentunya. Ia pun mencari penjelasan kepada otoritas museum. Seorang petugas menunjukkan surat resmi pelarangan tersebut.

Jika tetap ingin masuk, kata Vann, ia diwajibkan pergi ke kantor Kedutaan Besar AS untuk mengurus surat yang menunjukkan identitas resminya. Surat itu kemudian harus ia bawa ke Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia untuk mengurus izin masuk museum. Ia menerima jawaban serupa saat keesokan hari bertandang ke kantor Direktorat Jenderal Kebudayaan: Ia mesti mendapatkan izin dari Mabes TNI.

Menilai hambatan birokrasi ini terlalu berbelit-belit, Vann memilih untuk membatalkan. “Pengurus museum juga tak senang dengan apa yang saya alami. Mereka sebenarnya ingin membantu saya, tapi karena kontrol tentara, mereka tak bisa berbuat apa-apa,” imbuhnya.

Vann mengira pelarangan hanya terjadi di Lubang Buaya. Ketika mengunjungi Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto bersama reporter Tirto pada 17 Desember 2017, ia juga menerima penolakan yang sama.

Kapten Laut (KH) I Wayan Agus Apriana selaku staf Museum Satria Mandala menjelaskan memang pernah berlaku pelarangan bagi WNA ke museum-museum nasional di bawah Pusat Sejarah (Pusjarah) TNI. Tiga di antaranya Museum Satria Mandala, Museum Lubang Buaya, dan Museum Keprajuritan Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah.

Surat perintahnya, lanjut Wayan, datang dari Markas Besar TNI selaku lembaga yang membawahi Pusjarah TNI dan berlaku efektif sejak Agustus 2017. Pada awal Januari 2018, ada surat susulan yang menyatakan pelarangan ini dicabut. WNA dengan kepentingan wisata sudah dibolehkan mengunjungi museum, tetapi untuk kepentingan riset harus mendapatkan izin dari Mabes TNI.

“Ada proses penyaringan termasuk di antaranya pemanggilan untuk wawancara, pemeriksaan dokumen-dokumen, dan lain-lain. Sebelumnya harus mengajukan surat permohonan penelitian. Nanti kami ajukan ke pimpinan, ditelusuri latar belakangnya, tujuannya apa, kemudian baru diputuskan izinnya,” kata Wayan, Senin lalu.

Kecemasan Berlebihan terhadap Kebebasan Berpikir?

Museum Satria Mandala, bekas rumah Presiden Sukarno, diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1972. Ide pendiriannya tak lepas dari usulan Prof. Nugroho Notosusanto dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia yang juga berstatus sebagai Kepala Pusjarah TNI pertama.

Koleksi Museum Satria Mandala menarasikan awal mula pembentukan TNI. Salah satu yang menjadi daya tarik utama, atau Wayan menyebutnya "ikon", adalah tandu untuk memikul Panglima TNI pertama Jenderal Soedirman selama menjalani perang gerilya pada 1948 dalam kecamuk agresi militer Belanda kedua.

Ikon ini menarik para pengunjung dari sekitar Jakarta, kata Wayan, terutama di akhir pekan atau masa liburan sekolah. Koleksi museum yang lain meliputi beragam peralatan perang dan diorama.

Pengunjung asing memang tidak sebanyak tamu lokal, tetapi selalu ada. Menurut Wayan, kebanyakan pengunjung asing berasal dari Jepang. Mereka ingin mendatangi gedung yang pernah ditinggali Sukarno bersama istrinya dari Jepang, Ratna Sari Dewi. Saat pelarangan diterapkan, Wayan menolak kunjungan wisatawan asing, apa pun kepentingannya, termasuk dari warga Jepang. Jadi, Vann bukan satu-satunya.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigadir Jenderal Sabrar Fadhilah, yang menjabat sejak November 2017, mengklaim kepada Tirto bahwa ia tidak memahami kasus tersebut, termasuk alasan di balik munculnya pelarangan temporer WNA ke museum yang dikelola Pusjarah TNI.

Mayor Jenderal TNI Wuryanto, mantan Kapuspen saat surat pelarangan itu dibuat, juga menolak berkomentar. Sejak Oktober 2017 Wuryanto dipromosikan sebagai Panglima Kodam IV/Diponegoro.

Michael Vann menilai kasus pelarangan WNA ke museum tentara mengindikasikan langgengnya paranoia di tubuh militer Indonesia terkait kebebasan informasi.

Memanggungkan Sejarah

Museum-museum di bawah komando Pusjarah TNI, bagi Michael Vann, amat penting untuk menarasikan sejarah versi militer—entah itu pada era Orde Baru, ketika museum-museum itu didirikan, maupun hari ini, ketika reformasi mencapai usia dua dekade.

Monumen Pancasila Sakti, misalnya, adalah salah satu elemen penting dalam propaganda anti-komunisme Orde Baru, menurut Vann dalam catatan riset bertajuk “Murder, Museums, and Memory Holes: Cold War Public History in Jakarta, Ho Chi Minh City, and Phnom Penh” (2013). Riset ini merupakan proyek penelitian terbaru Michael Vann di tiga negara yang masih dalam tahap pengerjaan.

Tempat lain adalah Monumen Pahlawan Revolusi yang memuat patung "tujuh pahlawan revolusi" dari Gerakan 30 September dan relief yang menempatkan Partai Komunis Indonesia sebagai "pelaku utama" peristiwa tahun 1965 tersebut. Terdapat pula Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), sumur Lubang Buaya tempat pembuangan mayat korban, rumah penyiksaan, pos perencanaan pemberontakan, hingga dapur umumnya.

Tak ketinggalan pula Museum Paseban. Di dalamnya banyak diorama yang menggambarkan momen-momen sebelum dan setelah G30S, dari persiapan pemberontakan, latihan sukarelawan, penculikan, penganiayaan, pengangkatan jenazah pahlawan revolusi, proses lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pelantikan Soeharto sebagai presiden, hingga tindak lanjut pelarangan PKI.

Menariknya, masih menurut catatan riset Vann, Monumen Pancasila Sakti tak mengalami perubahan sejak berakhirnya Perang Dingin, juga jatuhnya Orba. Ia membandingkan Museum Peninggalan Perang di Ho Chi Minh City, Vietnam, yang mengalami perubahan nama dan koleksi.

Dua tahun setelah pasukan Amerika Serikat ditarik pada 1973, Perang Vietnam resmi berakhir. Pada tahun yang sama, Partai Komunis Vietnam mendirikan Gedung Pameran Kejahatan AS dan Antek-Anteknya di bekas bangunan Badan Informasi AS. Museum yang menjadi kanal propaganda pemerintah Vietnam ini berisi koleksi benda-benda yang berkaitan dengan Perang Vietnam dan Perang Indocina pertama.

Pada 1990, namanya berganti jadi Gedung Pameran Agresi dan Kejahatan Perang. Menyusul normalisasi hubungan dengan AS, museum itu kembali mengubah namanya menjadi Museum Peninggalan Perang.

Perbandingan kedua museum oleh Vann menunjukkan pelbagai kesamaan dalam hal struktur, format, termasuk diorama-diorama. Kedua museum juga mendemonstrasikan apa yang harus dipublikasikan ke masyarakat dan mana yang harus disembunyikan. Khusus di Indonesia, propaganda anti-komunisme itu masih laku hingga hari ini. Namun, sejak beberapa tahun lalu, muncul narasi tandingan yang menghangatkan diskursus publik.

“Pada mulanya saya mengira pelarangan WNA ke museum tentara karena dipublikasikannya dokumen tentang tragedi 1965 oleh pemerintah AS. Tapi saya tetap tak bisa menemukan korelasinya. Museum itu (Pancasila Sakti) bukan tentang apa yang terjadi pasca-tanggal 1 Oktober 1965, melainkan tentang apa yang terjadi sebelumnya,” kata Vann.

I Wayan Agus Apriana, staf Museum Satria Mandala, mengakui ada kekhawatiran terhadap fenomena merebaknya sejarah versi lain yang berlawanan dari versi negara dan sudah masuk ke kurikulum pendidikan dasar. Namun, kendati menyatakan bahwa penting mengacu pada sumber-sumber yang kredibel, ia mengakui penulisan sejarah memang tak bisa lepas dari unsur subjektivitas, termasuk di Satria Mandala. Ia menyebut versi TNI sebagai jenis “sejarah ideologis.”

“Penulisan sejarah TNI itu arahnya pada pembentukan ideologi bangsa. Ini soal nilai-nilai luhur bangsa. Salah satu cara membentuk ideologi bangsa, ya dengan sejarahnya. Kalau ideologi bangsa tidak dibentuk, mau jadi apa bangsa ini?” kilahnya.

Wayan paham jika di era keterbukaan informasi orang bisa menulis apa pun. Masing-masing punya versi sejarah yang berbeda. Melalui museum-museum nasional atau militer lain, ia berharap ada upaya membuat masyarakat pintar dalam literasi data agar mawas diri terhadap riset yang mengandung “subjektivitas yang sangat tinggi.”

“Kami berusaha mengajari masyarakat mana sejarah yang benar,” tambahnya.

Infografik HL Indepth Peneliti Asing

Ekses “Bela Negara”?

Wayan menyatakan kepada Tirto bahwa ia kurang sreg dengan kata “pelarangan”. Apalagi sejak awal tahun 2018, Satria Mandala dan museum lain di bawah koordinasi Pusjarah TNI sudah kembali menerima wisatawan asing.

Soal izin penelitian, ia mengatakan "wajar" sebab kegiatan akademis membutuhkan data militer, sehingga tetap "harus sesuai prosedur yang ditetapkan Mabes TNI."

Sejarawan Asvi Warman Adam mengisahkan bahwa pada 2010-2011 saat ia meneliti arsip Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub) Pusjarah TNI, ia juga mengkonfirmasi prosedur akses tersebut. Mahmilub digelar pada 1966-70 untuk memeriksa dan mengadili para tahanan yang dituduh terlibat peristiwa G30S.

Asvi membawa surat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lalu diizinkan mengakses arsipnya.

“Kenapa orang asing harus minta izin? Memang ada aturan peraturan bertamu seperti itu di TNI. Orang asing harus meminta izin terlebih dahulu,” cerita Asvi kepada Tirto. Ia bilang sebelumnya tak pernah ada pembatasan pengunjung.

Meski pelarangan hanya berlangsung sekitar lima bulan (Agustus 2017-Januari 2018), ketidakjelasan alasan pelarangan membuat tak hanya Vann yang menilai bahwa militer Indonesia bersikap paranoia.

Katherine E. McGregor, peneliti sejarah dari University of Melbourne, Australia, mengungkapkan pelarangan ini jadi bahan perbincangan oleh para peneliti internasional yang selama ini meneliti Indonesia.

"Saya agak terkejut sebab museum, kan, tempat publik," kata penulis History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia's Past (2007). "Di negara-negara lain, saya tak pernah mendengar ada museum yang sangat ketat mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh masuk."

"Terasa paranoia, ya," ujarnya kepada Tirto via wawancara interaktif, Kamis pekan lalu.

McGregor juga menyayangkan kisruh soal Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3/2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) pada awal Februari kemarin. Salah satu bagian yang paling dikritik oleh publik Indonesia adalah kemungkinan SKP tidak diterbitkan apabila penelitian dianggap "membawa dampak negatif."

Tidak ada ukuran jelas mengenai "dampak negatif" pada beleid itu, sehingga muncul anggapan pemerintah hendak membatasi kemajuan ilmu pengetahuan. Setelah gelombang kecaman bergulir, Kementerian Dalam Negeri akhirnya mencabut aturan tersebut.

Permendagri SKP Riset hanya efektif bergulir kurang lebih dua hari. Meski demikian, McGregor tetap menangkap kesan pemerintah Indonesia ingin menutup pintu penelitian tak hanya bagi warga asing, melainkan orang Indonesia.

Ia memperkirakan kebijakan ini ekses “Bela Negara”, program pemerintah yang berjalan sejak 2015, dan konsep “kewaspadaan (nasional)” yang berkembang selama Orde Baru.

“Kewaspadaan terhadap apa?” tanya Kate.

“Di era demokrasi, segala sesuatu seharusnya bisa diperdebatkan di ruang publik, baik oleh orang Indonesia sendiri maupun oleh orang asing. Itu kalau demokrasi benar-benar dipraktikkan secara serius,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait MUSEUM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf