Menuju konten utama

Vietnam yang Membuka Pintu untuk Pasar Bebas

Partai Komunis Vietnam menyambut kapitalisme sepaket dengan ketimpangan sosial dan nepotisme.

Vietnam yang Membuka Pintu untuk Pasar Bebas
Presiden Joko Widodo (kanan) berjalan bersama Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong (kiri) saat upacara penyambutan tamu negara di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Selasa, 22 Agustus 2017 lalu, Sekretaris Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong mengadakan pertemuan dengan pemerintah dan DPR. Kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan nilai perdagangan sebesar 5,6 miliar dolar. Angka tersebut akan naik menjadi 8 miliar dolar tahun depan dan 10 miliar dolar di waktu mendatang.

Vietnam dan Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik sejak tahun 1955. Vietnam News Agency melaporkan, Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang memiliki kemitraan strategis dengan Vietnam.

Pada bulan April, Indonesia berada di peringkat 30 dari 105 negara yang menanamkan modalnya di wilayah Vietnam. Proyek-proyek yang dijalankan Indonesia di sana antara lain minyak, gas, batubara, kayu, sampai perbankan.

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, nilai perdagangan Indonesia dan Vietnam mengalami kemajuan selama 5 tahun terakhir. Pada 2012, nilai perdagangan menyentuh angka 4,8 miliar dolar. Kemudian naik menjadi 5,12 miliar dolar di 2013, 5,87 miliar dolar di tahun 2014, serta 5,90 miliar dolar di tahun 2015 sebelum puncaknya mencapai 6,27 miliar dolar di tahun 2016.

Baca juga: "Ketakutan Muncul Negara Komunis Sebenarnya Sudah Tak Ada"

Menurut Trong, posisi Indonesia sebagai anggota G20 yang berisikan negara-negara dengan capaian ekonomi baik memberikan peran penting dalam pembangunan ekonomi Vietnam dan stabilitas regional.

Kedatangan Trong menandakan untuk pertama kalinya seorang kepala Partai Komunis Vietnam mengunjungi Indonesia sejak kunjungan Ho Chi Minh di tahun 1959. Selain itu, lawatan Trong juga menjadi kunjungan pertama bagi pemimpin tertinggi pemerintahan semenjak kemitraan kedua negara terbentuk di tahun 2013.

Komunis yang Menyambut Pasar Bebas

Semenjak Perang Vietnam berakhir 42 tahun yang lalu dan membawa kemenangan bagi Vietnam, kondisi negara berada dalam keadaan hancur. Jalanan rusak, jalur kereta api terputus, dan jembatan roboh akibat ledakan bom. Lima juta hektar lahan dibumihanguskan oleh pasukan Amerika, dua pertiga desa di kawasan selatan luluh lantak. Secara total, Perang Vietnam telah menyebabkan 10 juta pengungsi, 880 ribu anak yatim, dan 3 juta pengangguran.

Kondisi ekonomi setali tiga uang. Saat Vietnam memutuskan bersatu pada 2 Juli 1976, inflasi mencapai 900 persen. Kenyataan pahit lainnya: Vietnam harus mengimpor beras meski, jumlah sawah berlimpah. Keadaan tersebut diperburuk dengan sikap AS yang mengangkangi kesepakatan damai di Paris. Amerika seharusnya membayar 3,5 miliar dolar untuk bantuan rekonstruksi pasca-perang. Namun, sepeser uang pun tak pernah dibayarkan.

Sikap lancang AS tak berhenti sampai situ. Setelah kalah perang, AS memberlakukan embargo perdagangan untuk Vietnam yang diikuti oleh sekutu Amerika lainnya, serta lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan UNESCO.

Di tengah tekanan ekonomi luar biasa, proyek sosialis yang dicanangkan pemerintah terancam runtuh. Pemerintah Vietnam sadar apabila tak segera berbenah, jurang kehancuran semakin dekat. Atas pertimbangan itu, pada akhir 1980an Partai Komunis mengubah banting setir dengan kebijakan “ekonomi pasar berorientasi sosialisme.”

Baca juga: Venezuela: Kegagalan Sosialisme atau Sabotase Elite?

Kebijakan itu mulai berbuah selama 1990an. Investor asing diperkenankan masuk, bisnis swasta menggeliat, perdagangan bebas berjalan, serta adanya sistem upah untuk pekerja. Singkatnya, benih kapitalisme lahir.

Melihat perubahan Vietnam, AS pun turut antusias. Pada 1994, AS resmi mencabut embargo perdagangan. Semenjak itu pihak luar yang dulunya menutup diri kepada Vietnam, mulai menjalin kontak. Momentum tersebut membawa ekonomi Vietnam tumbuh sebesar 8,4 persen per tahun dan status eksportir beras terbesar kembali dipegang.

Sejak itu pula Vietnam berhasil mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Berawal dari 70 persen saat perang berakhir turun menjadi 32 persen pada 2000. Pada saat bersamaan, pemerintah membangun jaringan sekolah dasar dan layanan kesehatan di setiap wilayah.

Kala itu, posisi politik dari fraksi sosialis di Partai Komunis masih memiliki kekuatan untuk mengarahkan model kapitalisme yang diusung Vietnam. Terbukti ketika Bank Dunia menawarkan pinjaman senilai ratusan juta dolar dengan syarat penjualan perusahaan milik negara, Vietnam menolaknya sebanyak tiga kali.

Namun, pendirian itu akhirnya goyah. Saat kekuatan politik bergeser dan tekanan terus-menerus dari pendonor maupun investor asing, Vietnam menyetujui penjualan perusahaan negara dari tahun 2000. Semenjak saat itu, laju investasi dan bantuan asing tak bisa dibendung. Hubungan perdagangan dengan Amerika juga meningkat drastis dan di tahun 2006 Vietnam menjadi anggota Organisasi Perdagangan Internasional (WTO).

Hasil jejak pendapat menarik dikeluarkan oleh lembaga riset Pew Research Center. Meskipun Vietnam merupakan negara sosialis dan otoriter, nyatanya masyarakat Vietnam memiliki pandangan paling positif mengenai kapitalisme ketimbang Jerman, India, atau bahkan Amerika Serikat.

Infografik Hubungan Dagang

Kapitalisme Membawa Korupsi dan Ketimpangan

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonom Vietnam, efek mengerikan juga turut ditimbulkan. Menurut laporan Transparency International tahun lalu, Vietnam dianggap sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Indikatornya, Vietnam menempati posisi 113 dan hanya mencapai 31 poin dari maksimal 100 (semakin rendah poin, semakin korup).

Suburnya korupsi di Vietnam bukan temuan yang baru. Keadaan tersebut dipicu dua hal. Pertama, kebiasaan para pejabat publik yang menjual pengaruh untuk meraih dukungan. Kedua, privatisasi perusahaan negara dan pemberian peluang bagi anggota keluarga pejabat untuk menjadi pemangku eksekutif.

Soal serah jabatan kepada anggota keluarga ini sempat memicu perdebatan khalayak luas. Pada 2015, terdapat indikasi bahwa Perdana Menteri Nguten Tan Dung menunjuk kedua putranya untuk mengemban jabatan publik. Nguyen Thang Nghi, putra sulung Dung menjadi pemimpin partai tingkat provinsi dalam usia muda, 39 tahun.

Sedangkan saudara mudanya, Nguyen Minh Triet menjadi anggota komite partai di Provinsi Binh Dinh. Kemudian Nguyen Xuan Anh, anak mantan anggota Politbiro Partai Komunis Vietnam Nguyen Van Chi juga terpilih menjadi ketua partai di Da Nang.

Menurut putra perdana menteri Vietnam Nguyen Thanh Nghi, apa yang telah dicapainya tersebut merupakan “tradisi keluarga dan usaha pribadi” untuk berkontribusi kepada kebangkitan Partai Komunis Vietnam. Situasi yang terjadi di Vietnam selintas mirip dengan di Cina di mana anggota keluarga para pejabat juga mendapatkan jabatan.

Peneliti pembangunan Asia Tenggara Martin Gainsborough mengkritisi tradisi tersebut. “Alih-alih diilhami cita-cita reformis,” tulis Gainsborough, “para pejabat termotivasi oleh suap. Reformasi nyatanya adalah kepentingan bisnis-politik untuk mendapatkan kontrol atas sumber keuangan dan sumber daya lainnya.”

Baca juga: Teknologi Dorong Kapitalisme Ubah Masyarakat

Sebuah situs bertajuk Chan Dung Quyen Luc ( “Potret Kekuasaan”) sempat menggemparkan politik Vietnam karena melaporkan kebobrokan pejabat elit Vietnam. Chan Dung Quyen Luc mengaku memiliki dokumen dan rekaman audio maupun video yang bisa menguak tabir perilaku korup pejabat.

Dalam situs Chan Dung Quyen Luc seperti dilansir The Guardian menggambarkan telah terjadi transaksi jual beli kepentingan, nepotisme, penyuapan, praktik kolusi dan korupsi, pencurian aset, sampai penghindaran pajak yang melibatkan pejabat dengan perusahaan besar. Transaksi yang dihasilkan keduanya pun tak main-main: jutaan dolar.

Masalah yang timbul selain perilaku korup pejabat ialah ketimpangan ekonomi dan terpukulnya sektor informal. Laporan Bank Dunia pada 2012 menyebutkan Vietnam “kembali menghasilkan ketidaksetaraan ekonomi.”

Sedangkan di sektor informal, terutama di kawasan industri, perlindungan untuk para pekerja semakin lemah. Pakar ketenagakerjaan Angie Ngoc Tran dalam bukunya Ties That Bind (2013) menjelaskan bahwa penegakan terhadap hak-hak pekerja makin lemah akibat lobi-lobi yang dilakukan kelompok seperti Kamar Dagang Amerika Serikat.

Menurut Angie, dengan lonjakan modal yang masuk ke Vietnam melalui investasi dan privatisasi perusahaan negara, pemerintah tak lagi bertindak atas nama rakyat dan serikat pekerja dilemahkan keberadaannya. Angie menambahkan, negara terkadang tak ragu untuk bersekutu dengan kapitalisme atas nama kemajuan ekonomi.

Tiga dekade lalu, partai komunis muncul sebagai pemenang dalam perang. Ironisnya kini kapitalisme, korupsi, dan kesenjangan ekonomi justru lahir dari partai yang sama.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN BILATERAL atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf