tirto.id - Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sistem pemilu proporsional tertutup atau coblos partai politik. Pernyataan itu disampaikan Viva menyusul kabar MK akan memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup.
Viva menjelaskan sejumlah alasan sistem proporsional tertutup harus ditolak. Pertama, kata dia, sistem pemilu tertutup yang hanya mencoblos tanda gambar partai politik saja akan merusak sistem demokrasi.
"Karena akan melanggar prinsip pemilu yang demokratis, yang ditandai oleh one person, one vote, one value (OPOVOV). Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox populi, vox dei) tidak akan terwujud di dalam sistem pemilu tertutup," kata Viva saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (31/5/2023).
Kedua, jelas dia, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008 telah menetapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Hal itu mengabulkan gugatan atas Pasal 214 (a, b, c, d) UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memakai sistem proporsional daftar tertutup.
Oleh karena itu, PAN mengingatkan MK yang pernah mengabulkan gugatan untuk menerapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka karena alasan bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan sistem pemilu tertutup terbatas itu akan menyebabkan terjadinya pelanggaran dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.
Menurut Viva, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, memberlakukan sistem pemilu tertutup terbatas berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya.
"Selain itu, sistem tertutup telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih," ucap Viva.
Ia mengatakan tuntutan dari para pihak yang menginginkan kembali menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup justru kembali ke zaman pemilu yang primitif. Pasalnya, tidak ada nama caleg yang berdasarkan nomor urut, tetapi hanya mencoblos tanda gambar partai politik saja.
"Sangat tidak masuk akal dan sifatnya ahistoris bagi pembangunan demokrasi jika MK mengabulkan gugatan tersebut," tutur Viva.
Alasan ketiga, jika yang menjadi dasar penggugat adalah Pasal 22 E Ayat 3 UUD RI 1945 bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR RI dan anggota DPRD adalah partai politik, tetapi di Pasal 22 E Ayat 6 sudah jelas dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan Undang-Undang.
"Nah, sudah ada di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur sistem pemilu proporsional terbuka. Tentang sistem pemilu harusnya masuk ke ranah open legal policy. Bagi masyarakat pemilih sistem ini dapat diterima dengan baik karena sudah terbiasa dengan pemilihan langsung, melalui pilkades, pilkada, pilpres, dan pileg," pungkas Viva.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Reja Hidayat