Menuju konten utama

PAN Beberkan Lima Alasan Tolak Sistem Pemilu Tertutup

Sistem suara terbanyak lebih adil dibanding sistem pemilu tertutup. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil akan mendapatkan suara lebih banyak.

PAN Beberkan Lima Alasan Tolak Sistem Pemilu Tertutup
Wakil Ketua DPP PAN, Viva Yoga Mauladi. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

tirto.id - Partai Amanat Nasional (PAN) berharap Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menolak gugatan sistem pemilu proporsional tertutup yang akan diputuskan pada Kamis (15/6/2023) besok.

Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menjelaskan sudah tiga kali pemilu di Indonesia menggunakan suara terbanyak sebagai syarat untuk kemenangan.

Menurut dia, rasanya cukup bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk lebih tangguh, andal, dan kuat karena memiliki pengalaman empiris agar dapat menyelenggarakan pemilu lebih baik dan berkualitas.

Di sisi lain, kata dia, ada beberapa hal positif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia dengan mengunakan sistem pemilu proposional daftar terbuka.

Pertama, kata dia, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol. Secara empiris, kata dia, siapa yang dekat pimpinan akan mendapatkan nomor urut kecil.

"Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara transparan dan objektif. Namun, unsur subjektivitas pimpinan selaku policy maker dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur objektivitas," kata Viva saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (14/6/2023).

Kedua, lanjut dia, sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol. Sebab, yang merekrut, menyusun, dan mendaftarkan caleg ke KPU adalah parpol.

"Tidak bisa orang perorang karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik," ucap Viva.

Viva mengatakan parpol akan mengukur caleg tersebut bagaimana kadar dan pemahaman ideologi partainya, basis massa di dapil, kinerja, dan sebagainya.

"Jika terpilih, siapa pun orangnya, sudah diatur di Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, untuk wajib tunduk, patuh, dan taat pada kebijakan parpol," tutur Viva.

Menurut Viva, parpol memiliki otoritas atau kewenangan mutlak untuk melakukan evaluasi dan pergantian antar waktu jika anggota dewannya wanprestasi atau melanggar ketentuan yang sudah digariskan.

"Setiap anggota dewan pasti akan berbicara sesuai dengan kebijakan parpolnya. Tidak dapat membawa kepentingan pribadi yang berbeda dengan platform dan kebijakan parpolnya," ujar Viva.

Ketiga, lanjutnya, sistem suara terbanyak akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituennya. Konstituen pun dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat.

Dengan kata lain juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif.

"Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol," imbuh Viva.

Sebaliknya, kata dia, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, menurut Viva, sistem suara terbanyak lebih bersifat adil dibanding sistem pemilu tertutup. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil akan mendapatkan suara lebih banyak.

"Memilih orang dalam pemilu adalah salah satu tonggak penting membangun kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan sendiri siapa yang akan mewakili dirinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat," tutur Viva.

Ia mengatakan justru jika memakai sistem tertutup hanya mencoblos tanda gambar partai saja, maka akan terjadi praktik nepotisme, diskriminasi, ketidakadilan elektoral, koruptif di internal partai, dan melanggar prinsip demokrasi.

"Praktik ini bukan demi menjaga kedaulatan parpol, tetapi lebih pada hegemoni pimpinan parpol yang mengelabui nilai kedaulatan rakyat di pemilu," kata Viva.

Kelima, lanjutnya, tidak ada jaminan dan ukuran akademis bahwa sistem proporsional daftar tertutup murni (hanya mencoblos tanda gambar partai) akan mengurangi dan atau menghilangkan praktik politik uang (money politic) dibandingkan sistem proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak.

Ia mengatakan praktik money politic bukan soal apa sistem pemilunya, tetapi karena soal kesulitan ekonomi rakyat, kesadaran politik rakyat dalam memaknai pemilu, pengawasan pelaksanaan pemilu oleh Bawaslu, lembaga pemantau, maupun oleh partisipasi masyarakat, serta penegakkan aturan pemilu.

"Akhirnya, sejarah akan menguji MK. Apakah masih memiliki nurani dan terbuka mata atas realitas yang menolak sistem pemilu tertutup," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SISTEM PEMILU PROPORSIONAL atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fahreza Rizky