tirto.id - Terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso akan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Hal itu disampaikan kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan.
"Iya (mau ajukan PK lagi). Nanti kami persiapkan, banyak hal nanti yang akan kami persiapkan," kata Otto saat dihubungi pada Senin (9/10/2023) malam.
Otto mengatakan pengajuan PK ini bukan karena kalah atau menangnya Jessica dalam perkara dugaan pembunuhan Mirna dengan kopi bersianida tersebut.
"Dalam perkara ini saya tidak mencari menang, tapi mencari keadilan. Kalau mencari menang nanti segala cara dilakukan bagaimana menang, tapi kalau mencari keadilan, kita harus menegakkan kebenaran," kata dia.
Otto belum dapat memastikan kapan pengajuan PK kedua oleh Jessica ke MA itu dilakukan.
Di sisi lain, Juru Bicara MA, Suharto menjelaskan aturan pengajuan PK seperti yang tertuang dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa PK dapat diajukan dua kali apabila ada dua putusan yang bertentangan.
"Bisa asal atau sepanjang ada dua putusan yang saling bertentangan seperti yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009," ujar Suharto kepada reporter Tirto, Selasa (10/10/2023).
Kasus kopi sianida ini kembali ramai di masyarakat usai peluncuran film Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso di Netflix. Dari dokumenter tersebut digambarkan Mirna tidak mengembuskan nafas terakhirnya karena sianida.
Berbagai polemik kemudian muncul menyudutkan kepolisian yang disebut tidak sepenuhnya mengusut kasus pembunuhan ini berdasarkan fakta hukum. Bahkan, sejumlah nama perwira tinggi Polri terseret karena diduga mengaburkan fakta sesungguhnya kasus tersebut.
Menanggapi itu, Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menjelaskan polemik dokumenter Ice Cold seharusnya dipisahkan antara film dalam kadar sajian hiburan dan persoalan hukum. Sugeng menuturkan masyarakat Indonesia cenderung mencampurkannya tanpa mengingat bahwa sebuah film tetap ada campur tangan sutradara dari sisi daya jual.
"Kalau mau melihat dari kaca mata hiburan, ya silakan ditelah dan dinikmati semua yang disajikan dalam film itu tanpa kembali mempersoalkan proses hukumnya. Film adalah produk yang ada fiksinya. Masyarakat Indonesia sendiri cenderung lebih suka yang berpolemik," kata Sugeng kepada wartawan Tirto, Selasa (10/10/2023).
Sugeng menjelaskan apabila masyarakat ingin melihat dari segi persoalan hukum, kasus ini telah melewati fase proses teratas, yakni PK. Apa yang dilakukan penyidik kepolisian, ujarnya, sudah diuji oleh jaksa sejak berkas perkara dilimpahkan pertama kali.
Kemudian, sejak dilakukan revisi beberapa kali berkas perkara, dinyatakan lengkap dan disidangkan. Dalam tingkat pengadilan negeri, ucapnya, pengujian kembali hasil penyidikan dilakukan majelis hakim dengan menghadirkan para saksi dan ahli.
Tahapan selanjutnya, putusan hakim diuji kembali ke tingkat pengadilan tinggi. Lalu, terakhir di tingkat MA.
"Kalau udah melewati semua tahapan tersebut dan hasilnya dinyatakan bersalah, itu lah yang harus kita yakini sebagai sebuah kekuatan hukum tetap atau incraht. Harus kita hormati karena tahapan pengadilan paling tinggi di mana ketua hakim yang memutuskan pun memiliki track record anti suap, sudah ada," tuturnya.
Sugeng menambahkan masyarakat harus teredukasi bahwa tidak menutup kemungkinan apa yang ramai ini memang untuk meningkatkan rating dari film itu sendiri. Bahkan, kata dia, tidak menutup kemungkinan adanya kepentingan tertentu.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Gilang Ramadhan