tirto.id - Sebelum kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat menyentak publik Tanah Air, ada kasus pembunuhan lain juga pernah begitu menyita atensi masyarakat. Ia menjadi bahan pembicaraan, pemberitaan, hingga gunjingan sampai beberapa bulan lamanya.
Kasus yang saya maksud adalah dakwaan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Wongso, teman dekatnya sendiri, di Café Olivier di bilangan Jakarta Pusat pada 6 Januari 2016.
Di kemudian hari, kasus tersebut lebih dikenal sebagai kasus kopi sianida, mengikuti dugaan bahwa sejumlah sianida dalam dosis mematikan telah dituangkan ke dalam segelas vietnamese iced coffee yang dikonsumsi oleh mendiang Mirna.
Polisi menetapkan Jessica Wongso selaku tersangka tunggal. Setelah melalui setidaknya 20 rangkaian persidangan yang melelahkan pada Oktober 2016, Jessica menerima vonis 20 tahun penjara.
Tujuh tahun usai hingar-bingar drama itu, Netflix merilis sebuah film dokumenter panjang yang menelisik kembali kasus itu berikut fakta-fakta yang sebelumnya tersaji, testimoni para pihak yang terlibat, hingga misteri yang tersisa hingga kini.
Dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso ini dibesut oleh Rob Sixsmith dan merupakan produksi kolaboratif yang menjelajahi tiga negara yaitu Indonesia, Singapura, dan Jerman.
Satu poin menarik turut menyertai penayangan dokumenter ini. Sejak Netflix menyediakan ruang khusus untuk genre true-crime documentary beberapa waktu lalu, formatnya selalu dalam bentuk miniseri yang terdiri dari tiga atau empat episode.
Kali ini, Netflix memilih format feature length berdurasi 87 menit yang terasa lebih padat dengan ritme yang terjaga, terutama pada sekuens-sekuens berisi jukstaposisi argumen antara ayah Mirna dan penasehat hukum Jessica.
Selain itu, konten-konten true-crime terdahulu di Netflix kerap “menyuapi” audiens dengan konklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Sementara itu, Ice Cold justru mendobrak pakem itu dengan menyediakan epilog yang ambigu.
Lantas, apa saja aspek dari perjalanan kasus kopi sianida itu yang masih menyimpan daya tarik dan diungkap lewat film dokumenter?
Ragam Misteri
Sebagai salah satu kasus pidana yang paling sering dibicarakan sekaligus paling banyak disaksikan publik Indonesia Pascareformasi 1998, kasus ini sesungguhnya masih menyisakan beberapa kejanggalan dan misteri yang cukup krusial. Mungkin, boleh juga dibilang kasus ini tak sepenuhnya beres.
Aspek inilah yang coba diusung oleh dokumenter ini. Di sepanjang film penonton seakan dibuat untuk terus mempertanyakan, “Apakah Anda yakin Jessica yang membunuh Mirna?”
Ice Cold berulang kali menunjukkan secara visual bahwa rangkaian persidangan tidak mampu menyajikan bukti primer dengan kuantitas yang cukup untuk meyakinkan semua orang bahwa Jessica benar-benar merencanakan pembunuhan terhadap teman baiknya sendiri.
Contoh atas poin tersebut adalah soal perbandingan kadar sianida yang ditemukan dalam lambung mendiang Mirna.
Penonton juga ditunjuki beberapa kejanggalan di balik persidangan itu. Contoh akan hal itu ditunjukkan melalui pernyataan ahli psikologi forensik Reza Indragiri bahwa ada pihak tak dikenal yang mengirimkan sejumlah uang agar dia berhenti bicara mengenai kasus pembunuhan Mirna.
Pada bagian penutup, Otto Hasibuan selaku penasehat hukum Jessica juga mengungkapkan bahwa dia “tahu sesuatu terjadi di balik layar persidangan, tapi mengalami kesulitan membuktikannya”.
Ice Cold juga menyoroti nihilnya pengungkapan motif Jessica dalam rangkaian persidangan. Padahal, motif pelaku adalah salah satu elemen terpenting dalam proses penyidikan. Otto beberapa kali mempertanyakan keseriusan jaksa penuntut umum dalam menyampaikan kemungkinan motif dalam delik dakwaan mereka.
Wakil Menteri Hukum & HAM Prof. Eddy O.S. Hiariej yang diwawancarai oleh tim produksi menawarkan argumen kontra dengan Otto. Menurutnya, motif memang penting tapi tidak perlu dibuktikan.
Pasalnya, konstruksi Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana tidak membutuhkan motif sehingga jaksa penuntut umum tidak berkewajiban membuktikan hal tersebut.
Namun, tanpa pengungkapan motif yang kuat, tuduhan yang dilayangkan kepada Jessica sejatinya hanya berakhir menjadi praduga subjektif yang sumir. Hingga saat ini pun, Jessica konsisten menolak disebut sebagai pembunuh.
Di lain sisi, penonton dijelaskan pula tentang sejumlah perilaku Jessica yang janggal dan bikin curiga. Waktu kedatangannya yang amat cepat ke Café Olivier, gerak-gerik yang terekam CCTV, sampai keanehan posisi kantong belanjaan yang menghalangi gelas kopi pesanan dari kamera CCTV tentu tak dapat dikesampingkan begitu saja.
Eksplanasi yang diberikan oleh beberapa ahli psikologi yang membaca raut wajah hingga ekspresi mikro Jessica juga memainkan peranan penting demi mengungkap state of mind-nya.
Yang jelas, segala ketidaktuntasan itu turut mengakselerasi kemunculan beragam teori konspirasi yang membanjiri media sosial. Pada puncak engagement-nya, netizen berlomba-lomba mencari cocokologi dari teori yang mereka usung.
Salah satu teori konspirasi yang paling populer saat itu adalah dugaan konflik cinta segitiga antara Jessica, Mirna, dan Arief Soemarko, suami Mirna. Namun, Arief sama sekali tidak muncul dalam Ice Cold untuk membikin terang isu ini.
Hal tersebut cukup bikin penasaran sebab saudara kembar Mirna yang tinggal di Jerman toh tetap ikut menyumbang testimoni personal dalam film. Namun, bisa saja tim produksi atau Arief memiliki alasan tersendiri atas keabsenan tersebut.
Di atas semuanya, kejanggalan terbesar mungkin terletak pada larangan bagi Jessica untuk diwawancarai oleh siapapun. Betapa anehnya, sebab napi terorisme dan bahkan gembong narkoba saja masih boleh diwawancara.
Pembuat film awalnya dapat akses untuk mewawancarai Jessica melalui video conference. Namun, petugas lapas yang mendampingi Jessica tiba-tiba menginterupsi pelaksanaan wawancara tepat ketika sang narapidana hendak berbagi kisah lebih mendalam.
Hal itu bikin Rob dan kru produksinya kesal. Kekesalan itu kemudian tertuang secara literal melalui teks yang muncul di layar. Segala bentuk lobi dan upaya lanjutan guna memperoleh akses wawancara ditolak mentah-mentah oleh pihak berwenang.
Bagi saya, bingkai naratif Ice Cold pada akhirnya cukup berhasil memancing kritisisme penonton. Boleh dibilang itu adalah nilai plus dokumenter ini, terlebih kasusnya relate bagi warga Indonesia. Sebuah pancingan yang mengajak kita memikirkan ulang persepsi yang telanjur bercokol di benak masing-masing.
Secara implisit, penonton juga dibawa untuk mempertanyakan hal yang lebih besar: apa mungkin hukum di negara kita sebenarnya juga tak beres?
Opini publik yang terbelah antara kubu pembela Jessica dan yang sepenuhnya percaya bahwa dia bersalah hanyalah bumbu pemanis belaka. Ia dihadirkan untuk menyamarkan esensi sejati di balik kasus yang menghebohkan ini.
Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, begitu pula plot hole dalam kisah kematian Mirna Salihin yang belum terjelaskan secara rasional. Mungkin sejarah semata yang kelak membuktikan apa yang sesungguhnya terjadi.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi