tirto.id - Setelah melancarkan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan blokade laut terhadap Republik. Hingga perhubungan antara Jawa dengan pulau lain pun terhambat, termasuk dengan Kalimantan. Karena itu, Gubernur Kalimantan Gusti Pangeran Mohammad Noor, yang berkedudukan di Yogyakarta, segera bertindak.
Noor mengirim surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Komodor Surjadi Surjadarma agar ada pemuda-pemuda Republiken yang diterjunkan ke Kalimantan. Demi eksistensi Republik Indonesia di sana.
Dalam surat yang dikirim pada 25 Juli 1947 itu, seperti dikutip Tjilik Riwut dan kawan-kawan dalam Kalimantan Membangun, Alam dan Kebudayaan (1993), Noor menulis, “untuk usaha-usaha merebut Kalimantan menjadi wilayah Republik Indonesia, maka disamping usaha-usaha lain yang kini dijalankan, dipandang perlu memulai pasukan payung untuk mengirimkan pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan ke Kalimantan” (hlm. 169).
Belakangan Tjilik Riwut menjadi Gubernur Kalimantan Tengah periode 1958-1967.
Sebanyak 60 pemuda asal Kalimantan di Jawa mendaftar. Tak ketinggalan 12 pemuda asal Sulawesi dan pemuda-pemuda lain yang di antaranya berasal dari Jawa sendiri. Menurut catatan Tjilik Riwut dan kawan-kawan, mereka semua dilatih kemiliteran. Asrama mereka berada di Warung Boto, Yogyakarta.
Latihan terjun payung diadakan di Wonocatur dan Maguwo, masih daerah Yogyakarta. Parasut yang mereka gunakan adalah warisan Jepang dan Sekutu. Payung-payung itu butuh perawatan khusus dan sebisa mungkin tidak rusak. Menurut catatan Opsir Moeda Oedara Soehodo, seperti dikutip dari buku Kalimantan Membangun (1993: 172), “mereka ini hanya teoritis mendapat pelajaran terjun payung, latihan di tanah, sedang terbang belum pernah dialami mereka.”
Dari semua pemuda yang mengikuti latihan, hanya 12 pemuda asal Kalimantan dan dua anggota AURI asal Jawa yang diikutsertakan dalam operasi ke Kalimantan. Mereka, seperti dicatat buku Baret Jingga: Pasukan Payung Pertama di Indonesia (1999), adalah: M. Dachlan dan Iskandar asal Sampit, J. Bitak dari Kepala Baru, C. Willem dari Kuala Kapuas, J. Darius dari Kasongan, Achmad Kosasih dari Barito, M. Bachri dari Banjarmasin, Djarni dan Ali Akbar dari Balikpapan, Mika Amiruddin dan Imanuel dari Kahayan, Morawi dari Rantau Pulut, Opsir Moeda Oedara II Harry Hadisumantri dari Semarang dan Sersan Udara F.M. Soejoto dari Ponorogo (hlm. 49).
Setelah terpilih, Opsir Moeda Oedara II Soedjono, Opsir Moeda Oedara II Soerojo, Opsir Moeda Oedara III Amir Hamzah, Sersan Udara Sangkala, Sersan Udara Mispar, dan Kopral Udara Matjasir melatih mereka dalam hal terjun payung. Mereka akan diterjunkan dari pesawat. Angkatan Udara yang baru lahir itu mau tidak mau harus berkontribusi besar pada misi pasukan ini. Setidaknya melatih mereka.
Dalam sejarah Angkatan Udara, seperti ditulis dalam buku Bakti Angkatan Udara 1946-2003 (2003: 50), Amir Hamzah, Legino dan Pungut dianggap perintis terjun payung Indonesia. Mereka bertiga, dari tiga pesawat kecil, melakukan terjun payung di atas kota Yogyakarta pada 12 Februari 1946.
Setelah percobaan pertama itu, pemuda yang pernah belajar di Australia dan sudah bergabung dalam satuan udara Republik—Soejono, Soekotjo, Sangkala, dan Mudasir—melakukan percobaan terjun payung kedua. Jadi pada 1947, AURI paling tidak sudah punya bekal untuk melakukan operasi terjun payung.
Operasi terjun payung ke Kalimantan adalah operasi penyusupan untuk menggalang kekuatan Republik di sana. Ini layak disebut operasi intelijen juga.
Untuk operasi ini, seorang tokoh Kalimantan bernama Tjilik Riwut dimiliterkan. Tjilik adalah bekas koresponden surat kabar Pemandangan dan pemimpin redaksi Soeara Pakat milik Pakat Dayak. Antara 1945 hingga 1947, ia menjadi pegawai kantor Gubernur Kalimantan di Yogyakarta. Laki-laki yang pernah mewakili 142 suku asli Kalimantan untuk bersetia kepada Republik Indonesia di hadapan Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta ini diberi pangkat mayor. Menurut Soehodo, Tjilik Riwut pernah jadi mayor Angkatan Darat.
Menurut catatan Boedihardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (1996: 54), Halim Perdanakusuma memberikan dukungan peralatan kepada pasukan yang terjun itu. Mulai dari seragam, sepatu, bahkan senjata api. Untuk sebuah misi di zaman Revolusi yang serba susah, pasukan ini cukup beruntung.
Gagal tapi Tetap Dikenang
Setelah latihan lebih dari dua bulan, pasukan yang diberi nama MN 1001 ini bersiap terjun pada pertengahan Oktober 1947. Nama pasukan dengan inisial MN itu mirip dengan inisial dari Gubernur Kalimantan pertama, Mohammad Noor.
Sejak dini hari, awak pesawat Dakota C-47 sudah bersiap. Mereka meninggalkan Hotel Tugu, Yogyakarta. Penerbang pesawat itu seorang Amerika bernama Robert Earl Freeberg dan Opsir Moeda Oedara II Soehodo. Bertindak sebagai jump master yang akan mengeluarkan penerjun adalah Amir Hamzah.
Pasukan terjun itu dibekali pesawat radio sender dan diberi seragam dan senjata api perorangan. Tak lupa bahan makanan dan perlengkapan lain. Pasukan itu sudah siap diterbangkan pada pukul 01.30 tanggal 17 Oktober 1947. KSAU Suryadi Suryadarma menyalami satu per satu anggota pasukan terjun yang masuk pesawat.
Setelah pesawat mengudara, sekitar pukul 05.30, menurut pengakuan Soehodo, pesawat sudah berada di sekitar garis pantai selatan Kalimantan. Setengah jam kemudian, pesawat sudah berada di atas daerah rawa. Pilot pesawat tentunya berkoordinasi dengan Tjilik Riwut soal persisnya area penerjunan.
“Di sebelah bukit itu,” kata Tjilik Riwut dengan muka mesem. Tapi di area yang ditunjuk itu tak terlihat kampung atau lapangan. Kemudian Tjilik Riwut nenunjuk lagi, “oh gunung itu.” Sekitar pukul 07.00, pesawat berada di atas bukit yang sekitar 5 mil di sebelah utaranya ada ladang kasar.
“Mula-mula kami berputar sekali untuk melihat keadaan di bawah […] setelah itu terdengarlah bel 1 kali, lima orang satu per satu berterjun ke bawah,” aku Soehodo.
Sempat tidak ada yang terjun karena daerah bawah adalah hutan. Setelah ada bunyi bel lagi, maka barang-barang yang dibawa pun diterjunkan pula. Sisa pasukan terjun akhirnya menyusul, meski satu penerjun mogok terjun karena takut. Mayor Tjilik Riwut marah besar pada penerjun yang bersangkutan.
Ketika pasukan payung mendarat, pasukan itu terpencar. M. Dachlan tersangkut di pohon. Lima penduduk asli menemui Dachlan. Meski semula ketakutan, Dachlan berhasil akrab dengan mereka. Beberapa saat kemudian, Dachlan berhasil menemukan Bitak. Sementara Bachri terperosok di pepohonan bambu. Waktu ada suara tembakan, Bachri menyalakan senjata apinya. Tembakan Bachri pun dapat balasan. Bertemulah dia dengan kawan-kawan lain seperti Darius, Iskandar, Bitak, Kosasih, Soejoto, dan Ali Akbar.
“Sore itu, sebanyak 11 dari 13 prajurit dapat berkumpul dalam keadaan selamat,” catat buku Baret Jingga (1999: 58). Esoknya dua orang menyusul. Mereka berada di Desa Sambi, yang mana hanya tinggal 12 keluarga di situ. Pasukan itu kemudian mencari barang perbekalan mereka. Dari belasan parasut barang yang diterjunkan, hanya 10 yang berhasil ditemukan. Dari penduduk, pasukan penerjun itu mengorek informasi di mana saja posisi pasukan Belanda. Pasukan ini gagal berhubungan dengan Yogyakarta.
Salah seorang penerjun, Morawi, ditugaskan menyelidiki pasukan Belanda yang curiga pada penerjunan 17 Oktober 1947 itu. Namun Morawi tak pernah ditemukan rekan-rekannya. Mereka menduga Morawi pulang ke Rantau Pulut, kampung halamannya.
Seminggu setelah penerjunan, pasukan tiba di daerah Panahan. Sementara pasukan Belanda sudah tiba di tempat mereka mendarat. Tanpa Morawi, ke-12 pasukan terjun pun jadi sasaran perburuan militer Belanda.
Pada 17 November 1947, setelah sebulanan jadi kejaran Belanda di hutan, pasukan tiba di Rantau Pulut. Mereka pun menemui seorang tokoh masyarakat yang jadi anggota Dewan bernama Singamaniki. Bukannya memberi pertolongan, Singamaniki malah menyarankan agar pasukan itu menyerah kepada militer Belanda.
Esoknya mereka menuju Mujang. Setelah tiga hari berjalan, mereka bertemu Lurah Mujang Albert Rasing dan wakilnya, Diman. Dua pejabat desa ini mengaku Republiken. Iskandar memimpin pasukan yang makin lemah itu. Darius, Soejoto, dan Imanuel dalam kondisi sakit. Mereka pun beristirahat di rumah Rasing.
Pagi tanggal 23 November, setelah beberapa hari menginap di rumah Rasing, sepasukan Belanda mengepung mereka. Tembakan-tembakan militer Belanda itu berhasil menewaskan Iskandar dan Kosasih. Beberapa jam kemudian, akibat luka tembak, Harry Sumantri juga tewas. Sisa pasukan pun sadar bahwa Lurah Rasing tak bisa dipercaya. Mika, Ali Akbar, dan Bachri berhasil lari. Tapi Dachlan kena tembak lehernya
“Lebih baik menyerah. Militer (Belanda) disini banyak,” kata Rasing seperti diceritakan buku Baret Jingga.
Tapi Dachlan, yang berhasil bertemu Willem, terus kabur. Dalam pelarian, lehernya membusuk oleh ulat. Pelarian itu penuh penderitaan karena hujan turun dan mereka lari tanpa perbekalan.
Pada 29 November, Dachlan tertangkap militer Belanda, di bawah komando Sersan Delima. Dachlan pun akhirnya bertemu kawan-kawannya. Sementara itu, Ali Akbar, Mika, dan Bachri, yang sempat membuat rakit dan bersembunyi, berhasil ditangkap pada 7 Desember 1947 ketika bersembunyi di dalam rumah penduduk.
Mereka dikirim ke Jakarta dan sempat ditahan di Nusakambangan setelah diadili Pengadilan Federal (Belanda) di Banjarmasin pada Maret 1948. Hukuman mereka bervariasi. Ada yang tiga tahun. Ada juga yang 16 tahun seperti Bitak, Willem, dan Mika.
Aksi penerjunan itu, meski tidak seberhasil pasukan pimpinan Hasan Basry di Kalimantan Selatan, dikenang dalam sejarah Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Paskhas AU). Tanggal penerjunan Dachlan dan kawan-kawan, 17 Oktober 1947, dijadikan hari jadi pasukan khusus TNI AU tersebut.
Editor: Ivan Aulia Ahsan