Menuju konten utama

Ombudsman Sebut Negara Belum Hadir Penuh bagi Korban KDRT

Ninik mengatakan bahwa negara belum mampu hadir secara penuh dalam pengusutan kasus serta melindungi korban KDRT.

Ombudsman Sebut Negara Belum Hadir Penuh bagi Korban KDRT
Sejumlah pekerja sosial yang tergabung dalam Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) membawa poster saat berunjuk rasa di Jalan Veteran, Malang, Jawa Timur, Selasa (15/3).. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/kye/16.

tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia menilai ketidaksetaraan dalam hubungan suami istri merupakan akar permasalahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia. Menurut anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, dominasi salah satu pihak merupakan pencetus terjadinya KDRT itu. Ninik pun menyebutkan berdasarkan laporan dari Komnas Perempuan tentang KDRT mencapai lebih dari 25.000 kasus.

“Sementara faktor pemicu yang lain ada soal ekonomi, perselingkuhan, budaya yang berbeda dari pasangan itu. Namun akar masalahnya tetap pada relasi yang tidak setara,” kata Ninik di Jakarta, Senin (19/6/2017) siang.

“Bisa dibayangkan kalau relasi suami istri, yang satu bicaranya lebih tinggi atau memerintah, sementara yang satunya diperintah. Apalagi kalau yang diperintah kemudian merasa bahwa perintahnya terlampau tinggi. Itulah yang seringkali menyebabkan percek-cokan di dalam rumah tangga,” tambah Ninik.

Lebih lanjut, Ninik mengklaim KDRT merupakan permasalahan yang paling banyak dialami oleh perempuan dan anak-anak.

“Jadi kalau diperhatikan, kasus KDRT itu hampir 80 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang ada. Selain merupakan yang tertinggi di tingkat pengadilan agama, setiap tahunnya jumlahnya pun meningkat. Sementara dari kasus di Mahkamah Agung, yang tertinggi adalah perceraian,” ungkap Ninik.

Meski jumlahnya terbilang besar, namun Ninik menyebutkan bahwa negara belum mampu hadir secara penuh dalam pengusutan kasus serta melindungi korban KDRT. Berdasarkan penuturan Ninik, Ombudsman melihat pemerintah baru bisa memenuhi dua dari lima hak pemulihan korban.

“Setidaknya ada lima hak yang sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM), yakni hak atas pengaduan, kesehatan, proses hukum, rehabilitasi, dan pemulangan. Kami baru melihat pengaduan dan kesehatan. Belum ke proses hukum,” ucap Ninik.

Menanggapi hal itu, Ninik mengaku pihaknya tengah berencana untuk melakukan intervensi dalam agar pemenuhan hak korban KDRT oleh negara dapat semakin mendekati SPM.

“Kami memang akan melakukan kajian terkait proses hukum secara khusus. Karena di 2017 ini kami sedang mengembangkan instrumen kepatuhan hukum, termasuk penanganan terhadap korban KDRT. Ini kami lagi menyusun instrumennya dulu, mudah-mudahan di 2018 kita sudah bisa memantau bagaimana kepatuhan hukum lembaga-lembaga penegak hukum itu,” jelas Ninik.

Ninik berharap instrumen itu nantinya bisa mengakomodasi kegiatan pemantauan terhadap seluruh lapisan penegak hukum. “Mulai dari kepolisian, kejaksaan, di masa penuntutan, masa penjatuhan sanksi, Mahkamah Agung, hingga di lembaga pemasyarakatan,” ujar Ninik lagi.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto