Menuju konten utama

Nihil Pembatasan Iklan Rokok, RUU Kesehatan Diminta Ditunda

Indonesia dianggap masih sangat terbelakang dalam penanganan penanggulangan peningkatan konsumsi zat adiktif terutama rokok.

Nihil Pembatasan Iklan Rokok, RUU Kesehatan Diminta Ditunda
Pedagang menata rokok di kiosnya, Jakarta, Selasa (14/12/2021). Pemerintah menetapkan, kenaikan tarif rata-rata cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2022 sebesar 12%. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menyatakan, menolak pengesahan RUU Kesehatan karena belum mengatur pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk zat adiktif tembakau termasuk rokok dalam pasal utamanya.

Koalisi yang beranggotakan 32 lembaga dan organisasi ini, mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Salah seorang perwakilan koalisi, Project Manager Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Ni Made Shellasih menyampaikan, Indonesia sangat terbelakang dalam penanganan penanggulangan peningkatan konsumsi zat adiktif terutama rokok.

“Kami mendorong untuk pengesahan RUU Kesehatan ini harus ditunda hingga pemerintah atau pun DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasan yang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, kemanusiaan, serta keadilan,” ujar Shella, sapaan akrabnya, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Indonesia, kata Shella, menjadi satu-satunya negara Asia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Akhirnya, hal ini terlihat dari implementasi kebijakan konsumsi rokok di Indonesia.

“Seperti yang kita tahu, iklan atau promosi rokok atau sponsorship rokok ini menciptakan penggunaan rokok sebagai suatu yang keren, dewasa, normal dalam sehari-hari,” sambung Shella.

Shella menambahkan, Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen. Adapun data dari Data Global Tobacco Survey dan data Youth Tobacco SurveY tahun 2021 yang menunjukkan bahwa 19,2 persen pelajar usia 13-15 tahun ini sudah aktif merokok.

“Artinya ketika kita lihat draf RUU Kesehatan sendiri tidak ada adanya pelarangan iklan promosi dan sponsorship rokok, yang artinya kami menilai industri rokok ini bebas masif mengiklankan dan mempromosikan produknya,” ujar Sheila.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyatakan bahwa sudah seharusnya kewajiban negara melindungi masyarakat termasuk soal kesehatan dari paparan rokok.

“Harusnya negara yang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 45 itu disebutkan, negeri ini dibangun untuk melindungi segenap bangsa artinya semua orang. Bukan hanya konglomerat dan pemodal,” ujar Hasbullah.

Menurut Hasbullah, pihaknya tak menolak Omnibus Law Kesehatan, namun menyenangkan masih banyak aturan yang belum dimasukan ke dalam aturan sapu jagat tersebut.

“Banyak kesehatan masyarakat yang belum diatur, termasuk ini godaan-godaan iklan rokok sponsor rokok dan zat adiktif yang membuat mereka (masyarakat) menjadi miskin (karena konsumsi rokok) ini yang seharusnya direvisi ditambahkan,” kata Hasbullah.

Hasbullah meminta pemerintah dan DPR RI menunda pengesahan RUU Kesehatan sampai isi peraturan soal pembatasan iklan, promosi dan sponsor rokok diatur di dalamnya.

“Kami sepakat pemerintah dan DPR jangan buru-buru tetapkan Omnibus Law ini, lebih baik tunda setahun atau dua tahun ke depan,” tuturnya.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri