tirto.id - Bertahun-tahun yang lalu, saya pernah membayangkan ingin memiliki sebuah tempat makan dengan konsep farm to table. Asal keinginan ini muncul dari romantisme salah satu novel karya NH. Dini. Namun itu hanyalah sebuah angan tak berdasar. Karena pada kenyataannya ilmu dan pengalaman saya di bidang masak-memasak, bercocok tanam dan manajemen restoran sangatlah minim.
Memasuki masa pandemi di awal 2020 dulu, gelombang bercocok tanam mulai naik. Minat terhadap tanaman meningkat, terutama tanaman-tanaman hias yang indah dan memesona. Bisa jadi ini karena banyak orang membutuhkan distraksi dari suasana pandemi awal yang mencekam.
Namun, selain tanaman hias, tren berkebun untuk tanaman pangan juga tampaknya ikut naik. Ramai-ramai orang membeli bibit sayur – termasuk saya. Hasrat merealisasikan konsep farm to table kembali menggelora, tapi kali ini cakupannya cukup untuk rumah tangga saja. Untuk makan sehari-hari.
Kebun di depan rumah yang saya tanami pohon pinus dan rumput hias, diubah menjadi “kebun” oleh Mbak Sumi, rewang yang membantu saya di rumah. Pohon pinus dipertahankan, tapi rumput hijau diolah, ditanami dengan berbagai bibit sayuran: buncis, kacang panjang, bayam, tomat dan entah apa lagi.
Saya hanya bermodalkan niat. Sementara Mbak Sumi yang kesehariannya tinggal di desa di Kalasan, langsung menata sepetak kecil lahan di depan dan belakang rumah menjadi kebun seperti di rumahnya. Alhasil, rumah saya yang niatnya ditata dengan konsep minimalis, menjadi bernuansa kebun yang berantakan.
Tapi 'berantakan' ini bukanlah tanpa hasil. Tak berapa lama setelah benih-benih dari sampah dapur ditabur, tanpa banyak teori, hasilnya mulai tampak. Tangan Mbak Sumi katanya dingin, sehingga menanam apa saja bisa berhasil. Sayur-mayur yang terhidang di meja makan pun mulai menggunakan hasil kebun Mbak Sumi. Sayur bening kelor, sayur bayam, tumis buncis, lengkap dengan sambal dari cabai hasil panen.
Pernah suatu waktu, muncul labu bergelantungan di pohon kamboja kuning saya. Tiga labu berukuran sedang berhasil kami panen berturut-turut saat itu. Selama beberapa hari ke depan, camilan yang muncul di meja pun bernuansa labu: kolak dan labu kukus gula Jawa. Atau, juga pernah tiba-tiba tumbuh pohon pepaya yang buahnya banyak sekali. Kalau yang ini tak mungkin dihabiskan sendiri, sehingga sampai dibagi-bagikan ke tetangga.
Setiap pagi, Mbak Sumi berkeliling kebun kecilnya. Ngramban – atau bahasa Indonesianya, meramban. Daun-daunan yang sudah cukup umur, dipanen secukupnya untuk sayur satu hari. Apabila butuh jahe, kunyit, atau sereh, tinggal ambil di pot.
Sementara, paket benih yang saya beli secara online dan saya tanam tlenik-tlenik di tray semai, mati semua. Pokcoy, bayam, basil, sawi, hingga timun, tak ada yang tumbuh lebih dari 1 cm.
"Ibu cuma kurang sabar," ujar Mbak Sumi kalem, sambil menebar segala yang ada di tray semai ke kebunnya.
Dari ngeramban ini, saya senantiasa belajar tentang konsep sak madya, alias secukupnya, sewajarnya. Ini jadi semacam antitesis saya yang biasa mikir besok akan masak apa, dan apa yang akan di beli di Bu Wari, sang penjual sayur keliling.
Konsep ngramban justru sebaliknya. Berkeliling kebun, mencari tanaman yang sudah bisa dipanen, lalu dimasak sesuai yang ada. Kalau adanya bayam, bisa jadi selama 3 hari lauk yang terhidang berbahan sama, dengan pengolahan yang berbeda: lodeh bayam, kluban bayam, atau sayur bening bayam, misalkan. Hasilnya: kreativitas masak jadi terus teruji. Memasak menjadi kegiatan untuk merespons apa yang tersedia di kebun dan di dapur.
Dari peristiwa itu, saya tersadar bahwa perkara berkebun dan ngramban ini lantas menjadi rumit bagi orang-orang seperti saya. Ngramban, yang bagi banyak orang di desa merupakan kegiatan wajar dan sehari-hari, di kota menjadi sesuatu yang "mahal".
Masalah seperti lahan terbatas, memang bisa diatasi dengan polybag dan pot-pot. Begitu pula tanah yang mungkin kurang subur, tentu bisa diatasi dengan membeli tanah paketan dengan nutrisi lengkap. Yang membuatnya mahal adalah pengetahuan holistik ngramban yang tak lagi dimiliki oleh kebanyakan orang yang tinggal di kota – seperti saya.
Terbiasa bergantung pada penjual sayur yang keliling setiap pagi, sayur yang terhidang di meja makan biasanya itu-itu saja: sop untuk anak-anak dan tumisan untuk yang dewasa. Pengetahuan saya tentang tanaman yang dapat dimakan sangat terbatas. Tanaman liar yang sebenarnya bisa dimakan, bisa jadi saya anggap merusak pemandangan. Alih-alih berakhir menjadi lalapan bersama sambal di meja makan, dia justru berakhir di sampah.
Jiwa ngramban tidak terasah karena jarang bertemu dengan kebun semacam punya Mbak Sumi, yang penuh dengan sayuran siap masak.
Jenis-jenis tanaman edible ini menjadi pengetahuan yang elite. Tidak banyak yang tahu. Jadi, kalau pun saya dilepas di suatu kebun di desa yang penuh tanaman, bisa saja saya tetap pulang dengan tangan kosong karena tak tahu apa yang bisa dimakan atau bagaimana cara mengolahnya.
Dengan dasar gerakan ketahanan pangan, kini ngramban dan budidaya tanaman memang sebaiknya perlahan mulai dipopulerkan kembali. Cakupannya bisa dari kegiatan komunal kecil hingga kursus berbayar mahal. Yang dipelajari pun bisa dari mengenal tanaman-tanaman edible dan cara pengolahannya, atau lebih jauh lagi sampai ke pengolahan tanah dan pupuk.
Di Yogyakarta sendiri, Pemerintah Kota telah mengadakan program Lorong Sayur sejak tahun 2018. Program Lorong Sayur ini merupakan usaha pemanfaatan lahan sempit untuk budidaya tanaman dan memenuhi sebagian dari kebutuhan sayur di rumah tangga. Meski sempat vakum, program ini aktif kembali sejak pandemi melanda.
Bagi saya yang “kurang sabar” dan bertangan panas (katanya!), berkebun merupakan tantangan tersendiri. Kaktus saja mati di tangan saya, apalagi tanaman-tanaman yang sensitif.
Ini terbukti. Sejak Mbak Sumi kembali ke rumahnya untuk merawat ibunya yang sakit, kebun di rumah saya beranjak mati. Saya tak mampu mengikuti jejak langkah Mbak Sumi yang telaten mengurus tanaman. Beberapa waktu lalu untuk terakhir kalinya saya memanen apa yang tersisa dari kebun: tanaman cabai yang mulai kering.
Editor: Nuran Wibisono