tirto.id - Sebuah foto viral awal tahun baru 2020 ini.
“Tawa dan tangis kadang hanya terpisah beberapa meter—secara harfiah,” kata kalimat pertama caption-nya.
Di foto itu kita bisa melihat salah satu sudut Hotel Shangri-La Jakarta—yang rimbun ditutupi tanaman, lengkap dengan kolam berenang yang berisi beberapa orang—langsung bertabrakan dengan banjir di luar pagarnya. Tepat di sudut simpang jalanan itu, Tim Sar sedang mengevakuasi korban banjir dengan perahu karet.
“Di sisi atas foto, anak-anak renang di hotel. Di bawah, anak-anak diselamatkan Tim Sar dari banjir,” lanjut caption-nya. Warna biru cerah kolam renang di Shangri-La dan warna air banjir yang cokelat jadi kontras di foto itu.
Beberapa orang di kolom komentar lalu menyamakan foto itu seperti film Parasite karya sutradara Korea Selatan Bong Joon-ho. “Macam Parasite,” kata salah satu komentar. “Ketimpangan sosial yang kentara,” kata komentar lain.
Yang Menderita Karena Banjir
Malam pergantian tahun kemarin membawa cerita sedih bagi kebanyakan orang Jabodetabek. Intensitas hujan yang tinggi menggantikan semarak kembang api yang biasa menghiasi malam 31 Desember. Sejak 1 Januari dini hari, alih-alih pesta kembang api, media sosial justru diramaikan foto-foto banjir. Beberapa orang bahkan memanfaatkannya untuk minta tolong.
Salah satunya Lalita, yang mencuit sekitar pukul 11 malam, 1 Januari: “Tolong siapa pun yang liat, saya butuh bantuan banget. Udah nelponin semua nomer darurat di bekasi. Tolong banget kakek saya stroke ga bisa ke mana mana air banjir udah sepaha”.
Kepanikan Lalita menjalar cepat di Twitter. Sekejap saja twitnya direspons ratusan orang. Kebanyakan orang memberikan nomor telpon bantuan tambahan, yang kebanyakan sudah dihubungi Lalita, tapi tak aktif.
Hujan deras bikin air di rumah Lalita, di Komplek Permata Bekasi 2, Bekasi, terus naik. Saat itu kakek, ayah, ibu, dan omnya di lantai satu rumah mereka. Sibuk mengakali agar kakek Lalita yang sudah tak bisa bicara tak tersentuh air. Sementara ia dapat tugas untuk terus mengontak nomor bantuan di lantai dua, tempat sinyal ponsel lebih cerah. Lalita juga punya nenek yang sudah kepayahan jalan karena mengidap gagal ginjal.
Sejak pagi, air memang sudah masuk ke rumahnya akibat hujan 31 Desember. Namun, air terus naik karena hujan susulan. Listrik yang padam dan sinyal ponsel yang hilang timbul menambah horor malam itu.
“Saya panik banget. Lantai dua rumah kami enggak ada balkonnya. Jadi, kalau pun akhirnya harus terjebak di lantai dua, kami semua pasti enggak akan bisa minta tolong ke luar. Enggak ada yang tahu kalau ada sekeluarga yang terjebak di rumah kami,” kata Lalita pada saya.
Ia juga tak tahu mana duluan yang akan terjadi: bantuan datang mengevakuasi kakeknya, atau air yang akan terus naik sampai lantai dua rumah mereka. Yang Lalita tahu, ia harus terus mencari bantuan sebelum baterai ponselnya habis, dan kepanikan makin kuat mencengkram tengkuknya.
Sejam kemudian, cuma satu nomor bantuan yang mengangkat. “Itu juga yang di Jakarta, jadi saya cuma dikasih nomor yang di Bekasi, dan enggak ada yang angkat.” Hujan makin deras, air sudah seperut orang dewasa, dan bantuan belum juga datang.
“Kakek saya sudah mau tenggelam banget ya Allah,” Lalita mencuit lagi.
“Sinyal saya ilang ilangan, ya Allah please help me… hujannya deres lagi.”
Thread Lalita malam itu bagaikan parade horor di Twitter. Kepanikan menjalar ke semua orang yang membacanya. Baru dua jam setelah itu, datang empat orang dari karang taruna sekitar untuk membantu mengevakuasi kakek dan keluarga Lalita.
“Katanya mereka dapat info tweet-ku dari grup Whatsapp,” kenang Lalita yang secara putus asa juga menyebarkan alamat rumah dan nomor ponsel pribadinya di Twitter.
Kakek Lalita akhirnya bisa dievakuasi ke kantor lurah dengan keranda tempat memandikan jenazah yang dipinjam dari masjid. Mereka tak sempat menunggu perahu karet atau bantuan lainnya yang tak tahu juga kapan datangnya. Namun, akibat tweet-nya yang viral, sekitar 10 orang asing yang tak saling kenal datang mencari sampai ke rumah Lalita untuk menolong mengevakuasi kakeknya.
Salah satu keluarga bahkan sempat ingin menawari kakek Lalita ikut naik mobil mereka untuk mengungsi ke tempat yang lebih layak, semisal hotel atau penginapan.
Kepanikan malam itu disumbang ketidaksiapan Lalita dan keluarganya menghadapi banjir. “Ini pertama kali saya seumur hidup ngadapin banjir, dan langsung sampai setinggi itu,” katanya. “Kata ayah saya yang tinggal di rumah ini lebih dari 25 tahun, ini tuh banjir pertama juga di komplek kami.”
BMKG mencatat curah hujan pada hari pertama 2020 kemarin adalah yang tertinggi selama 154 tahun terakhir. Kepala Pusat Data Informasi BNPB Agus Wibowo menginformasikan kepada jurnalis setidaknya sudah ada 23 titik yang terendam banjir di Bekasi, dua titik di Bogor dan 17 titik di DKI Jakarta.
Terlepas dari itu, di sebagian tempat Jabodetabek, banjir memang sudah jadi realitas tahunan yang rutin dihadapi. Salah satunya RT05/RW01 Kelurahan Serdang, Kemayoran, Jakarta. Rumah padat penduduk yang dekat dengan aliran Kali Sunter ini memang rutin disambangi banjir saban tahun, tapi baru kali ini memakan korban meninggal.
Latief sesekali mengusap air matanya, saat kembali menceritakan kronologis kematian Arfiqo Alif Ardana, putra pertamanya, pada saya.
Subuh 1 Januari kemarin, Latief baru masih sibuk menyelamatkan perabotan rumahnya yang sudah terendam banjir sepaha, saat putra bungsunya lari-lari ke rumah sambil sesenggukan dan berteriak. “Pa! Pa! Fiqo meninggal, Pa!”
Latief yang tak percaya tetap saja berlari ke arah yang ditunjuk anak bungsunya. Di depan Masjid Al Ikhlas, Fiqo sudah tergeletak kaku dengan tangan kanan tegak ke atas. Warga menutupinya dengan koran, sebelum akhirnya membawa jenazah Fiqo ke aula kelurahan.
Selidik punya selidik, ternyata ada kabel yang terkelupas pada tiang listrik yang dipegang Fiqo tanpa sengaja. Kata Latief, pihak PLN sudah minta maaf padanya dan membantu biaya tahlilan dan urusan administrasi kematian anak sulungnya. Ia dan keluarga juga sempat dikunjungi Gubernur Anies Baswedan, sehari setelah kematian Fiqo.
“Ikhlas ya, mas. Semua itu titipan dari Allah. Anak juga titipan dari Allah, emang udah jalannya,” Latief mengulangi nasihat Anies padanya. “Ya nenangin juga lah buat saya,” tambahnya.
Bagi Latief sendiri, kematian Fiqo adalah musibah dan takdir. Ia tak mau ambil pusing tentang penyebabnya, yakni banjir dan kelalaian PLN merawat tiang listriknya.
“Dari kecil udah terbiasa kena banjir, satu. Mungkin, emang udah musibahnya saya aja di tanggal kemarin, anak saya yang kena. Saya sih enggak nyalahin siapa pun, saya anggapnya sih emang musibah,” kata Latief. “Kalau saya pribadi, emang dari dulu gubernurnya siapa pun emang pasti banjir sih. Mungkin emang dari dulu infrastrukturnya emang udah buruk, saya juga kurang ngerti.”
Saking rutinnya banjir di Jakarta, sebagian besar warganya memang sudah terbiasa, hingga nyaris menormalkan bencana tahunan ini. Saya ingat Ati, warga RW 04 Cipinang Melayu yang tahun lalu membanggakan kondisi kulkasnya yang sudah dilanda banjir bertahun-tahun tapi masih kuat dan bisa dipakai.
“Wah udah lama banget ini umurnya,” kata Ati dengan wajah bangga. “Dari anak pertama saya kelas tiga SD, sampe sekarang udah kuliah semester enam,” lanjutnya.
Kulkas tua-pintu-satu berwarna hijau lontong itu memang terlihat lawas. Pintunya dihiasi bintik-bintik karat, terkumpul di bagian bawah. Warna hijaunya pudar. Tahun ini, kata Ati, rumahnya kemasukan air lagi, dan kulkas itu masih sehat walafiat.
BNPB—sampai 6 Januari kemarin—menyebut setidaknya 60 orang meninggal akibat banjir di Jabodetabek. Penyebab kematiannya macam-macam: tersengat listrik, terseret arus, hipotermia, dan terimbun tanah longsor.
Selain Fiqo, saya juga mencoba mendatangi beberapa alamat korban lain. Dua di antaranya Agus dan Sanusi, yang menurut data BNPD tinggal di Kali BKT RT05/RW11 Kelurahan Serdang, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sayangnya, saya tak berhasil menemukan keluarga mereka atau alamat tinggal keduanya. Ketua RW11 Kelurahan Serdang Suardi bilang kalau tak ada warganya yang meninggal karena banjir kemarin. Hal serupa juga disampaikan Ketua RT5 Robby.
Tapi, kabar tentang seorang pemulung yang hanyut sempat di dengar satpam komplek itu. “Denger-denger diketemuin di Pintu Air sono, katanya mau ambil keseret air pas mau ambil kulkas,” kata si satpam.
Saat saya mendatangi Pintu Air Kali BKT, Pandi, petugas yang berjaga bilang juga sempat dengar cerita tentang bapak tua yang hanyut. Tapi, sama sekali tak tahu alamat rumahnya.
“Denger-denger sih pemulung, emang enggak ada alamat rumahnya,” kata Sobud, warga yang tengah nongkrong di pos jaga Pintu Air Kali BKT. Lalu, saya menghubungi Agus Wibowo dari BNPB untuk menanyakan kepastian alamat Sanusi dan Agus. Tapi, ia bilang data yang disampaikan BNPB didapat dari BPBD.
Saat saya menghubungi Kapusdatin BPBD Muhammad Ridwan, ia mengonfirmasi nama Sanusi sebagai korban meninggal. Tapi, tidak tahu kenapa alamat rumahnya salah. “Saya juga dengar bapak tua itu pemulung sih, tapi semua data sudah kita konfirmasi ke Kelurahan kok. Dan alamatnya memang terdaftar di warga sana,” kata Ridwan.
“Dan di laporan sudah ada keluarga yang urus kok,” tambahnya.
Banjir Jakarta dan Ketimpangan yang Nyata
Buat Cristian Rahadiansyah, banjir memang punya nostalgia sendiri. Waktu masih kecil dan tinggal di Ciledug, rumah orang tuanya juga langganan banjir. “Cuma yang saya ingat memang tidak setinggi sekarang. Tapi, pasti selalu datang di akhir Januari atau awal Februari, biasanya dekat-dekat Imlek,” kata Cristian.
Dulu, ketika kecil, ia sama sekali tak paham mengapa banjir terus datang di musim hujan, dan sama sekali tak mencari-cari tahu alasannya, karena sudah jadi realitas—keadaan normal. Semakin dewasa, ia akhirnya melihat dunia yang lebih luas, dan sadar kalau banjir di Jakarta adalah masalah yang harus dan bisa diperbaiki. Bukan sesuatu yang bisa dimaklumi saja sebagai musibah.
“Amsterdam juga sama-sama di bawah permukaan laut, tapi kenapa enggak banjir? Di Jepang kenapa air banjirnya jernih? Kalau mau sebetulnya Jakarta bisa belajar banyak dari negara-negara lain tentang bagaimana mengatasi banjir,” tambah Cristian.
Kini, ia memang tak lagi jadi korban banjir rutin yang menimpa Jakarta. Bukan karena banjirnya hilang, tapi karena Cristian tinggal di lantai 29 Sudirman Park.
“Ini kan juga bukan apartemen mewah, kalau dilihat harganya murah, dan hitungannya rusun, tapi ya saya bersyukur enggak kena banjir. Tapi, apakah berarti saya tidak kena dampak banjir tahunan ini? Ya, pasti kena juga karena ini masalah sistemik,” terangnya.
Pagi 2 Januari kemarin, Cristian mendengar suara bising anak-anak dari luar apartemennya. Suara itu biasa muncul tiap akhir pekan dari kolam renang Hotel Shangri-La yang berpapasan langsung dengan jendela unitnya. Hanya saja, kali ini pemandangannya sedikit berbeda. Jalan Karet Abdul Jalil di samping Sharing-La dilanda banjir. Sebuah perahu karet tengah mengevakuasi anak-anak di seputaran situ.
Cristian memotret pemandangan itu, tanpa dugaan kalau fotonya akan viral. Di foto yang ia unggah di instagram itu, Cristian menulis:
Sebagai orang yang lahir, besar & bekerja di Jakarta, pemandangan ini jelas bikin sedih, tp di sisi lain jg bikin semangat untuk membuat kota ini lebih adil bagi semua, bagi mereka yg renang di hotel maupun terancam tenggelam. Resolusi 2020!
Ananda—bukan nama sebenarnya—juga punya protes yang sama. Baginya Jakarta harus mampu mengatasi banjir dan masalah ketimpangan yang disebabkannya. Kegelisahan itu muncul dari pengalamannya sebagai karyawan Building Management di salah satu apartemen di Jakarta.
“Pas banjir gini, biasanya kita tetap masuk, bahkan enggak apa-apa kalau telat. Karena pasti hectic banget supaya costumers tetap happy, atau seenggaknya komplennya dikit lah,” kata Ananda sambil tertawa.
Awalnya, ia berpikir bahwa semua itu cuma tuntutan kerja. Namun, lama-kelamaan Ananda merasa ada yang luput tak diperhatikan dari sektor ini, yaitu ketimpangan sosial sistemik.
“Sering banget itu ada satpam yang bahkan harusnya enggak masuk, tapi diminta masuk karena mesti ada yang diurusin pas banjir gini. Padahal, rumah bapaknya juga kebanjiran,” tambah Ananda. “Beneran kaya Parasite, kalau dipikir-pikir.”
Saya teringat salah satu adegan dalam film Bong Jun-ho itu, ketika keluarga miskin Kim Ki-taek harus lari terbirit-birit dari rumah orang kaya majikan mereka saat hujan lebat. Mereka benar-benar harus lari berkilo-kilo menuruni tiap blok dengan kaki telanjang, untuk sampai ke rumah mereka yang sudah habis dilahap banjir. Padahal sebelumnya mereka bisa bersantai dan makan makanan enak—pura-pura jadi orang kaya—karena majikannya sedang berlibur ke luar kota. Sayang, kenikmatan itu cuma sebentar.
“Banjir emang bisa kena ke siapa aja, tapi pengalaman gue, yang lebih menderita pasti orang miskin lah,” kata Ananda.
Lalu, saya teringat nasib Sanusi.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna