tirto.id - Dua belas jam sebelum banjir datang, warga Cawang Atas siap-siap mengungsi. Barang-barang berharga sudah diamankan. Beberapa ada yang pergi ke rumah kerabat di luar Jakarta. Hujan deras pada Minggu pagi, pekan kedua Februari lalu, dan naiknya permukaan sungai Ciliwung membuat mereka yakin bahwa banjir tak akan terhindarkan.
Saat warga sibuk mengemasi barang untuk mengungsi, Misbah Muchtar, ketua RW 04, tengah sibuk mengatur segala keperluan dengan petugas kelurahan, satpol PP, dan petugas kecamatan. Dua perahu karet disiapkan. Balai rapat rukun warga disulap jadi ruang pengungsian.
Menjelang sore, sungai sudah meluap. Puncaknya sekitar pukul delapan malam, ketinggian air hingga setinggi dada orang dewasa. Rumah-rumah terendam. Paling parah menerjang permukiman di RT 003, 010, dan 012. Sebanyak 255 kepala keluarga pun harus mengungsi. Rumah Misbah sendiri terendam sampai selutut orang dewasa.
“Rumah saya enggak terlalu, banyak lebih parah,” kata Misbah, 64 tahun, Jumat pekan lalu.
Selama dua hari listrik padam. Hujan masih mengguyur selama beberapa hari meski tak sederas hari Minggu. Empat hari setelah banjir, warga masih membersihkan rumah. Kasur-kasur dijemur di halaman dan pagar. Plastik-plastik sampah menumpuk di depan rumah. Lemari kayu dan tripleks yang rusak jadi pemandangan di kampung itu.
Salah seorang warga pengguna aplikasi Qlue dengan akun 'superwomen' melaporkan bagian belakang rumah yang tergerus ke bibir sungai. Ia meminta bantuan pemerintah membersihkan, tetapi tak direspons sampai 24 jam.
Misbah mengatakan bahwa melihat lokasinya, foto yang diunggah pengguna Qlue itu terletak di Jl. Mustika, sekitar 200 meter dari balai RW. Lokasi itu tidak terkena banjir. Namun, ada kemungkinan foto itu diambil di pinggir sungai. Ia segera menyaksikan laporan itu.
“Kalau laporan di Qlue itu kadang enggak bener. Kami juga sudah lama enggak pakai itu lagi. Kadang media komunikasi itu ada yang efektif, ada yang enggak. Sebelum banjir, kami mudah koordinasi,” ujar Misbah.
Selama banjir di Jakarta beberapa waktu lagi, ada beberapa laporan yang masuk lewat aplikasi Qlue. Namun, bukan banjir seperti yang terjadi di kampung Cawang Atas. Sebagian adalah genangan air di badan jalan karena selokan tersumbat. Laporan ini misalnya tercatat di Tebet, Jakarta Selatan, dan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Jika Anda menelusuri pencarian Qlue dengan kata kunci “banjir”, Anda bisa mendapati lebih dari 30 hasil laporan banjir sepanjang tahun lalu. Sementara pada 2018, sejauh ini, kurang dari 10 laporan. Padahal Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jakarta mencatat ada 141 RT yang terkena banjir di Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.
Gambaran itu menunjukkan menurunnya pelaporan di aplikasi Qlue. Berdasarkan data Qlue, jumlah pengaduan selama dua tahun terakhir memang menurun. Pada 2016 total ada 480.898 laporan, sementara tahun 2017 ada 197.104 laporan.
Penurunan ini dampak dari penghapusan kewajiban ketua RT dan RW untuk melapor kegiatannya tiga kali sehari via Qlue. Semula kewajiban ini ditetapkan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, dalam sebuah peraturan pada April 2016. Namun, sesudah ketua RT/RW mendesak Ahok mengevaluasi kebijakan tersebut, pelaksana tugas gubernur Sumarsono menghapuskannya pada Januari 2017.
Sejak itu, Ketua RW seperti Misbah tak pernah melapor kejadian di kampungnya via Qlue, termasuk banjir yang membuat sebagian besar warga di lingkungannya mengungsi.
“Sejak enggak diwajibkan, kami enggak pakai lagi,” katanya.
Performa Qlue untuk Citra
Kehadiran Qlue, aplikasi lokal di bawah PT Qlue Performa Indonesia, sebagai sarana pengaduan warga Jakarta adalah buah kerja sama dengan Jakarta Smart City. Setiap aduan ke Qlue akan direspons sesegera mungkin, jika memungkinkan. Jika tidak, ia akan berpengaruh pada key performance indicators (KPI) para pejabat.
Indeks KPI adalah alat untuk menilai kinerja pejabat di Jakarta. Penerapan KPI pertama kali berlaku pada Mei 2016 di bawah kepemimpinan Ahok. Setiap tahun, para pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah akan menandatangani perjanjian KPI, termasuk di bawah pemerintahan baru Jakarta Anies Bawedan dan Sandiaga Uno.
Karena itu, meski sudah terjadi penurunan jumlah laporan di Qlue, petugas di kelurahan tetap menindaklanjutinya.
Misalnya di kelurahan Mampang Prapatan. Dalam dua minggu terakhir (27 Januari – 10 Februari), ada 29 laporan di Qlue. Laporan ini menurut sekretaris kelurahan, Sulastri, tetap ditindaklanjuti meski beberapa di luar wewenang kelurahan.
“TL-an (tindak lanjut) kami masih jalan. Kalau enggak jalan, KPI-nya Wali Kota bisa anjlok. Itu, kan, runtutan kerjanya ada. Jadi, KPI itu indikator dari suatu pimpinan. Kalau tidak di-TL, KPI Wali Kota anjlok, kami yang dijewer,” ujar Sulatri, 8 Februari lalu.
Demi mendapatkan KPI yang baik itulah ada kemungkinan bahwa beberapa respons itu hanya asal-asalan. Pada aplikasi Qlue, setiap laporan yang masuk ditandai warna merah. Jika dalam proses ditindaklanjuti, setiap laporan berubah warna kuning, dan ketika selesai, menjadi hijau. Proses membuat kode warna merah dan hijau ini sangat mungkin jadi pertarungan antara pelapor dan pemerintah.
Contohnya laporan soal parkir liar di Mampang Prapatan yang diunggah akun @Flora_Rie pada 23 Januari 2018. Laporan ini cepat menjadi hijau setelah di-TL oleh akun @gotenks. Tetapi kembali dimerahkan oleh @Flora_Rie dan teman-temannya karena TL tersebut sama sekali tak mengubah kondisi. Sehari kemudian laporan itu kembali berwarna hijau. Tak terima, pelapor kembali memerahkan TL yang dianggap abal-abal. Begitu terus selama lima hari.
Kepala pekerjaan penanganan sarana dan prasarana umum (PPSU) Kelurahan Mampang Prapatan, Andry Prabowo, membantah tudingan TL abal-abal.
“Kadang itu ada yang lahan pribadi, kami enggak bisa. Kalau parkir, hari ini sudah kami TL, besok kacau lagi, dimerahkan lagi. Bukan berarti abal-abal,” kata Andry.
Pada beberapa kasus, laporan seperti macet dan parkir liar menjadi hijau bukan lantaran kerja petugas, melainkan karena memang macet sudah terurai sendiri dan parkir liar sudah pergi.
Kejanggalan Laporan Qlue
Akun @Flora_rie dalam percakapan lewat layanan pesan di aplikasi Qlue dengan reporter Tirto mengatakan bahwa ada intimidasi yang diterimanya karena giat membuat laporan di Qlue. Suatu hari, dalam satu laporan soal parkir liar di Mampang, sebuah akun anonim memposting nomor polisi mobil milik @Flora_rie.
Padahal, selama ini @Flora_rie tidak pernah mengumbar identitasnya di Qlue. Ia bahkan menolak membuka identitas kepada Tirto. Ia menjadi was-was.
Bentuk intimidasi lain adalah tantangan untuk melapor langsung ke kelurahan dengan membawa KTP. Intimidasi ini dilakukan oleh akun-akun baru dan langsung menghilang.
“Saya curiga aparat itu adalah Dishub dari Kecamatan Pancoran. Karena beberapa waktu lalu, saya lapor via kecamatan pakai mobil,” ujarnya.
Selain intimidasi, ada pula akun yang menuding @Flora_Rie dan @MeiSha_NEO adalah milik pekerja Qlue karena membuat laporan yang begitu banyak supaya aplikasi Qlue tetap dipakai pemerintah.
Tudingan ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan rekap data Qlue, pada Desember 2017 akun @Flora_Rie menempati peringkat ketiga dalam membuat laporan. Ia mengunggah 620 laporan selama sebulan atau rata-rata 19 laporan per hari. Lokasi laporan pun berbeda-beda setiap hari.
Laporan terbanyak dibuat oleh akun @ANTISUAP, yakni 1.033 laporan selama sebulan, dan posisi kedua ada akun @RideTheLightning dengan 620 laporan dalam sebulan.
Kejanggalan laporan terlihat pada perbandingan jumlah laporan dan jumlah akun. Misalnya, pada Desember 2017, dari 10.759 laporan yang masuk, 4.135 laporan dibuat hanya oleh 10 akun. Bulan sebelumnya ada 12.405 laporan di mana 4.606 laporan dibuat oleh 10 akun.
Sarah Ramadhania, yang bekerja sebagai marketing strategis Qlue, membantah tuduhan para pekerja Qlue yang membuat banyak laporan. “Pada dasarnya setiap karyawan Qlue memang memiliki value untuk #beraniberubah, jadi ya apa pun kami lakukan untuk menjadikan lingkungan yang lebih baik lagi,” ujar Sarah lewat pesan singkat.
Soal kemungkinan Qlue mempekerjakan orang untuk membuat laporan juga dibantah. “Sangat enggak mungkin sih... soalnya value Qlue, kan, pemetaan masalah, enggak mungkin banget ada tim aku memperkerjakan orang untuk bikin laporan... petanya jadi artificial, dong. Yang ada malah kami fokus untuk menyeleksi laporan-laporan yg substansial,” ujarnya.
'Kubu-Kubuan' di Qlue
Terlepas dari tudingan-tudingan itu, Qlue kini seperti media sosial umumnya. Saling serang di kolom komentar adalah hal biasa. Bahkan muncul kelompok di Qlue yang kompak mengawasi setiap laporan dan TL.
Salah satunya kelompok NEO. Kelompok ini berisi akun-akun yang menggunakan nama pengguna dengan kata “NEO” di belakang. Misalnya akun @djoko311_NEO, @MeiSha_NEO, @putri_dev_NEO, dan @Beatzr_NEO.
Empat akun kelompok NEO ini pada November dan Desember 2017 masuk dalam 10 besar akun yang membuat laporan terbanyak. Pada November, akun djoko311_NEO membuat 913 laporan, MeiSha_NEO membuat 354 laporan, dan putri_dev_NEO membuat 321 laporan.
Pada Desember tahun lalu, djoko311_NEO membuat 581 laporan, dan Beatzr_NEO membuat 140 laporan. Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi salah satu akun tersebut tetapi tidak mendapatkan respons sampai artikel ini dirilis.
Akun @Flora_Rie mengatakan selain membuat banyak laporan, kelompok NEO juga kerap bersama-sama memerahkan kembali TL hijau karena dianggap belum selesai.
Tidak hanya NEO. Ada pula akun “ava biru” yang dibuat oleh admin Qlue yang turut membantu.
“Ava biru itu bentukan admin, mereka diberi ava yang poin nembaknya besar, yaitu 8 poin,” katanya.
Aturan main di Qlue, untuk memerahkan kembali sebuah TL yang sudah hijau dibutuhkan 20 poin. Masing-masing user dengan peringkat tertentu memiliki poin berbeda.
Munculnya kubu-kubuan akun di Qlue membuat aplikasi ini menjadi kontraproduktif. Sementara jumlah tindak lanjut yang dilakukan pemerintah pun tak pernah mencapai 100 persen.
Pada 2016, dari 480.898 laporan, ada 370.685 laporan yang diselesaikan atau sekitar 77 persen. Pada 2017, dari 197.104 laporan, ada 158.400 laporan atau sekitar 80 persen yang direspons pemerintah.
Meski ada peningkatan, waktu penyelesaian TL lebih lama. Pada Desember 2016, rata-rata waktu penyelesaiannya 9 jam. Pada Desember 2017, rata-rata waktu penyelesaian TL anjlok menjadi 72 jam.
Di samping “perang” antara pelapor, serta indikasi ada akun-akun buatan admin Qlue dan akun-akun pemerintah, banyak laporan sepele pun membuat relevansi aplikasi ini makin kabur.
Misalnya soal laporan sampah, yang menempati posisi teratas selama Oktober sampai Desember 2017. Berturut-turut selama tiga bulan itu jumlah laporannya sebanyak 3.261 buah, 2.524 buah, dan 2.221 buah. Masalah yang dilaporkan itu terkadang sepele, misalnya sampah menumpuk dan berserakan, yang seharusnya bisa dibersihkan sendiri oleh warga tanpa perlu lapor dan menunggu petugas DKI Jakarta.
Saat Djarot Saifulah Hidayat masih menjadi gubernur, ia pernah mengeluhkan hal tersebut. Ia menilai ada banyak laporan tak substansial di Qlue.
“Kalau persoalannya sangat sederhana, kenapa enggak dilakukan oleh warga sendiri? Misalnya menggeser ban di pinggir jalan. Itu bisa dilakukan sendiri,” kata Djarot, September 2017.
Laporan remeh macam ini tentu jadi masalah: jumlahnya banyak, sedangkan tenaga Pemprov Jakarta terbatas. Selain itu, ia membuat warga semakin bergantung pada pemerintah untuk mengurusi masalah sepele. Begitu terus setiap hari.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam