tirto.id - Para pekerja PT Tunas Sawa Erma (TSE) biasa memanfaatkan lahan perusahaan untuk menanam singkong, pepaya, dan pisang untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Lahan yang digunakan adalah area Palm Oil Plantation (POP)-A, terletak di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Salah satu yang memanfaatkan lahan tersebut adalah pemuda dari suku Wambon Distrik Asiki bernama Marius Betera. Pada pagi hari tanggal 16 Mei, Marius dan istrinya, yang berprofesi sebagai guru di SD setempat, menemukan lahan yang mereka pakai untuk menanam pisang sudah digusur. Ini berbeda dengan kebiasaan perusahaan yang akan mengimbau para ‘petani’ untuk membereskan atau memanen hasil kebun jika lahan hendak dipakai produksi atau ekspansi.
“Tapi kali ini tidak ada informasi itu,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Samperante kepada reporter Tirto, Senin (18/5/2020). Yayasan Pusaka adalah lembaga nirlaba yang fokus melakukan riset advokasi, pendokumentasian, dan promosi hak-hak masyarakat adat.
Marius menduga kebun itu dirusak ekskavator perusahaan sehari sebelumnya. Merasa dirugikan, ia pun mendatangi pos polisi Camp 19 yang masih berada di area perusahaan untuk mengadu. Ia tiba sekitar pukul 11 dan kepala kepolisian pos (kapolpos) tidak ada di tempat.
Tidak puas, Marius bersama istri lantas mendatangi Kantor Umum PT TSE yang juga terletak di Camp 19, sekitar pukul setengah 12 siang, menggunakan motor. Marius menanggalkan alat berburu dan berkebun di samping pintu kantor.
Di sana Marius disambut oleh manajer perencanaan bernama Andi Suparna. Marius protes, kenapa perusahaan tidak memberitahukan jika lahan yang ia garap mau dipakai. Ia merasa dirugikan karena semestinya dapat memanen pisang.
Karena tak ada respons positif, Marius yang pernah jadi petugas keamanan PT TSE hingga Agustus 2019 memilih angkat kaki.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal mengatakan berdasarkan keterangan saksi bernama Engelbertus Inabu, Marius marah-marah saat keluar kantor. “Saksi (Engelbertus) menyampaikan agar korban tenang dan pulang saja, nanti saksi akan membantu menyelesaikan permasalahan ini,” ujar Kamal dalam keterangan tertulis, Senin (18/5/2020).
Franky membantah keterangan ini. “Tidak ada marah-marah,” katanya.
Marius tak bisa segera pulang ke rumahnya di barak E nomor 11. Franky bilang saat hendak memacu motor, seorang anggota PAM Obvit perusahaan bernama Melkianus Yowei merampas peralatan berburunya. Setelah itu wajah Marius dipukul pakai busur satu kali. Marius kembali dipukul berkali-kali, sekarang dengan tangan kosong, di punggung, leher, hingga telinga. Perutnya juga ditendang.
Pemukulan ini terjadi di hadapan sejumlah pekerja perkebunan. Saksi menyebut Marius sempat memasukkan jarinya ke telinga. Saat dikeluarkan, darah segar menempel di ujung jarinya itu.
Melkianus adalah seorang brigadir polisi yang tahun lalu bertugas di Polpos Camp 19, kata Franky. Ia sempat dipindahkan ke Polres Tanah Merah setelah melakukan kekerasan terhadap mama MY dan membuat warga marah.
Melkianus bisa sekonyong-konyong memukul Marius diduga karena dihubungi Andi Suparna. “Orang menduga Pak Andi panggil polisi karena ia (Marius) bawa alat [berburu dan berkebun],” kata Franky.
Marius yang merasa tak enak badan setelah dipukuli polisi tanpa sebab jelas memutuskan ke klinik PT TSE menggunakan motor sebelum pukul 1 siang. Namun belum juga sampai pos keamanan klinik, ia terjatuh. Petugas bergerak cepat menggotongnya ke dalam. Tapi ternyata sakitnya lebih parah dari yang dibayangkan. Marius meninggal dunia di klinik itu.
Jenazah Marius dimakamkan di TPU Bosowa, Distrik Mandobo, Boven Digoel, Senin (18/5/2020) kemarin.
Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke Anselmus Amo mengatakan apa yang dilakukan Melkianus terhadap Marius adalah bentuk kesewenang-wenangan dari pihak yang “merasa punya kekuatan dan senjata.” “Kami larang tindak kekerasan,” katanya kepada reporter Tirto.
Polisi Bantah Penganiayaan, Perusahaan Masih Investigasi
Ahmad Mustofa Kamal membantah terjadi pemukulan. “Dari hasil pemeriksaan luar, tidak ditemukan adanya lebam maupun luka lecet pada korban,” katanya.
Menurutnya sempat terjadi rebutan busur panah antara Marius dan Melkianus. Marius tak mengizinkan Melkianus mengambil alat produksinya itu. “Terjadi perebutan sambil korban berkata, ‘komandan, kasih saya punya busur, saya mau jalan.’ Setelah korban melepaskan busur panah, sempat terjadi keributan antara korban dan Brigpol MY,” kata Kamal.
Kamal mengatakan Marius datang ke klinik dalam keadaan meronta-ronta, gelisah, dan marah. Marius juga menolak untuk diperiksa serta dipasangi infus dan oksigen meski telah masuk ke ruang UGD.
“Keluhan korban, mengalami sesak napas sambil memukul-mukul dadanya dan minta turun dari tempat tidur untuk berbicara dengan anak perempuannya sambil marah-marah,” ujar Kamal. Marius juga sempat minum dan sekali muntah.
“Sekitar pukul 13.00 WIT, korban dinyatakan meninggal dunia akibat serangan jantung,” katanya.
Okto Betera, adik Marius, tak percaya dengan klaim tersebut. “Itu tipu-tipu. Ini pembunuhan,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (18/5/2020).
Sementara Luwy Leunufna, Senior Manager of Resources Management Korindo Group, induk perusahaan PT TSE, mengatakan kepada reporter Tirto, Senin (18/5/2020), kalau “saat ini masih dilakukan investigasi bersama di lapangan.”
Korindo mempekerjakan kurang lebih 10 ribu pekerja di Asiki, distrik bisnis utama di Papua. Jumlah pajak daerah yang telah dibayarkan oleh Korindo di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel mencapai 30 dan 50 persen dari total pajak lokal masing-masing kabupaten.
Anselmus Amo menegaskan organisasinya akan mengawal kasus ini agar penegakan hukum tetap berjalan dan kejadian serupa tak terulang.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino