tirto.id - “Dalam sebuah pertemuan, Panglima (Panglima TNI) sudah bilang ke saya, coba itu kontainer dicek, jangan-jangan ada narkobanya.”
Kalimat itu disampaikan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksda (Purnawirawan) Soleman B Ponto, saat berbincang dengan tirto.id. Dia mencoba mengurai jalan cerita impor 1,4 juta pil ekstasi yang didatangkan Fredi Budiman (Freddy Budiman) pada Mei, empat tahun lalu. (Nama yang tertera dalam berkas pengadilan adalah Fredi Budiman - Red)
“Panglima memang selalu bilang jika bertemu saya. Bilang apa saja tidak hanya termasuk itu,” katanya, seakan menegaskan bahwa apa yang dikatakan mantan Panglima TNI, Laksamana (TNI) Agus Suhartono, memang bukan terkait kasus narkoba yang menyeret nama Primer Koperasi Kalta, milik Badan Intelijen Strategis.
Kasus impor narkoba dari Cina yang dipesan oleh mendiang terpidana mati Fredi Budiman memang belakangan kembali menjadi topik perbincangan. Pemicunya, saat Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Pidana Kekekasan (KontraS), Haris Azhar mengunggah "Nyanyian Freddy". Puncaknya, ketika testimoni yang ditulis Haris itu tidak ada dalam berkas pembelaan. Haris pun dipolisikan.
Haris dilaporkan ke kepolisian karena diduga melakukan pencemaran nama baik institusi, yaitu Polri, BNN dan juga TNI. Belakangan, Presiden Joko Widodo turun tangan mengatasi hal ini. Dia menyuruh Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk membentuk Tim Independen buat mencari kebenaran dari testimoni “Nyanyian Freddy”. Pencarian bukti pun masih terus dilakukan hingga saat ini.
Terkait “Nyanyian Freddy” ini, Soleman B Ponto punya analisa lain. Menurut dia, “Nyanyian Freddy” akan sulit dibongkar karena yang bersangkutan sudah dieksekusi mati akhir bulan lalu. “Jadi kita hanya bermain di indikasi-indikasi. Saling menuding satu sama lain, karena Fredi sudah mati,” katanya.
Dia pun menjelaskan kronologi sebenarnya, sesuai dengan pengetahuannya ketika menjadi Kepala BAIS. Menurut Soleman, ketika itu dia sempat terkejut ada pengungkapan narkoba oleh BNN yang menyeret nama koperasi BAIS. Sebelum pengungkapan impor narkoba, Soleman mengaku sudah meminta kepada Kepala Koperasi agar menghentikan impor dengan menggunakan kontainer. Instruksi bukan tanpa alasan, sebab sebelumnya dia membaca berita di media massa yang menyebut ada penyelundupan minuman keras.
Soleman pun khawatir Primer Koperasi Kalta milik BAIS disalahgunakan. Instruksi untuk menghentikan impor itu ternyata tidak dipatuhi. Pemesanan barang terus berlanjut. Ada kontainer baru masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok dari Cina. Isinya, kata Soleman, berupa fish tank. Karena itu adalah kontainer yang didatangkan terakhir, maka Soleman pun meminta anggotanya melakukan pemeriksaan. “Saya suruh berhenti, tetapi sudah berhenti kok masih ada lagi,” ujarnya.
Dia menambahkan, pada saat itu juga Primer Koperasi Kalta ternyata juga mendatangkan kontainer di Pelabuhan Semarang. Untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan, Soleman pun memerintahkan memeriksa kontainer-kontainer itu.
“Tahan dulu jangan boleh keluar. Nah, di Semarang dibuka, di sini (Jakarta) dibuka. Ya sudah tidak apa-apa itu,” katanya.
Soleman merasa kaget ketika Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap 1 kontainer berisi 1,4 juta pil ekstasi. Soleman pun marah kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai karena memperbolehkan kontainer itu keluar. Satu kontainer itu, menurut dia dikeluarkan tanpa diketahui BAIS. Padahal sebelumnya, Dirjen Bea dan Cukai, Agung Kuswandono berkomitmen melakukan kerja sama dengan BAIS TNI untuk memberantas penyelundupan yang marak di pelabuhan.
“Nah ketika ini ada yang ditangkap, saya ngomel dong, kok ini bisa keluar. Kontainernya, saya sudah bilang suruh periksa, kenapa tidak diperiksa,” tutur Soleman.
Operasi Control Delivery
Sementara itu, mantan Deputi Pemberantasan Narkoba BNN, Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Mamoto mengakui bahwa memang digelar operasi pengungkapan penyelundupan narkoba yang diduga dilakukan oleh Fredi Budiman. Menurut Benny, pengungkapan itu sebetulnya bermula dari laporan anggota International Drugs Enforcement Conference yang mensinyalir ada kontainer berisi narkoba didatangkan dari Cina. Kontainer itu sudah berada di Terminal Jakarta International Container Terminal (JITC), Tanjung Priok, Jakarta Utara. Laporan itu pun langsung ditindaklanjuti oleh BNN.
Kala itu, kata Benny, dia bersama timnya harus berhati-hati karena penyelundupan harus benar-benar terungkap. Dia pun menggunakan “Operasi Control Delivery” untuk mengungkap siapa sebetulnya yang mengimpor narkoba dari Cina. Apalagi belakangan, impor justru dilakukan oleh Primer Koperasi Kalta, di bawah BAIS TNI. “Begitu kita pantau di pelabuhan, saya langsung ke Dirjen Bea Cukai. “Pak Agung, ini ada info yang sensitif karena menyebut nama koperasi, ini sangat rahasia,” ujar Benny saat ditemui di Gedung Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (16/8/2016).
“Ketika ada kontainer masuk, maka disampaikan ke Pak Agung, teknik supaya bagaimana bisa memeriksa dan itu ada prosedurnya. Diterbitkan laporan informasi sebagai dasar pemeriksaan,” kata Benny.
Dalam operasi itu, Benny memang menggunakan teknik Control Delivery. Tujuannya adalah untuk mengungkap penyeludup ini dari hulu hingga hillir. Sebab jika tidak, pengungkapan hanya sebatas membongkar penyelundupan narkoba tanpa diketahui siapa pengirimnya dan siapa yang memesan narkoba tersebut. Guna melancarkan operasi, Benny pun menugaskan anggotanya untuk mengawasi kontainer. Hingga akhirnya, kontainer dikeluarkan dari pelabuhan. Dari JICT, kontainer dibawa menuju sebuah gudang di daerah Jakarta Barat.
Sayang, operasi ini menurut Benny diduga bocor. Belakangan baru diketahui, jika pemesan gudang itu adalah adik Fredi Budiman. “Yang pesan tempat dan gudang itu adalah adiknya Fredi,” tutur Benny. Dari sanalah kemudian terungkap siapa yang memesan narkoba dari Cina.
Skandal Impor Ekstasi Fredi
Dalam berkas persidangan yang diperoleh tirto,id, soal impor ekstasi dijelaskan secara rinci. Pada berkas Putusan Mahkamah Agung dari Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta itu, Serma Supriadi telah ditetapkan menjadi pelaku pemalsuan dokumen yang menyeret nama Primer Koperasi Kalta, koperasi di bawah Badan Intelijen Strategis TNI. Serma Supriadi pun kini menjalani hukuman 7 tahun penjara.
Pada medio April 2012. Chandra Halim alias Akiong berbicara kepada Fredi Budiman. Dua terpidana narkoba itu melakukan pembicaraan di dalam Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Kepada Fredi, Akiong mengatakan sedang mengimpor 500 ribu butir pil ekstasi dari Cina. Akiong pun memberikan bukti impor dalam bentuk fax kepada Fredi. Dua minggu setelahnya, Akiong memberikan dokumen pelayaran kepada Hani Sapta Pribowo. Hani alias Bowo datang ke Lapas Cipinang untuk mengatur pengimporan barang.
Fredi pun ikut membantu impor ekstasi itu. Dari dalam penjara, Fredi menelpon Abdul Syukur, seorang yang dia kenal sejak tahun 2004 di Unit 1 Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Kala itu Abdul Syukur kerap melihat Fredi disekitar area pelabuhan. Dari perkenalan itu lah, Abdul syukur meminta agar setiap proyek impor diberikan kepada dia. Kepada Abdul Syukur, Fredi mengaku mengimpor Fish Tank dari Cina. Fredi pun memberikan nomor telepon Abdul Syukur kepada Akiong. Dia pun langsung dihubungi Akiong.
Kepada Akiong, Abdul Syukur meminta dikirim dokumen resmi impor ke Kantor Induk Bea Cukai. Dalam dokumen itu, Abdul Syukur kaget karena kops surat dokumen itu merupakan Primer Koperasi Kalta milik BAIS TNI. Abdul pun kemudian menelepon Serma Supriadi dan dia disuruh ke kantor Primkop Kalta. “Consignee (pengimpornya) nya sudah atas nama Primer Koperasi Kalta, apa mau dikasuskan?” kata Abdul kepada Serma Supriadi, seperti ditulis dalam dokumen yang diperoleh tirto.id.
Serma Supriadi tetap memproses dokumen impor itu dan melakukan negosiasi dengan Abdul Syukur. Hasilnya, ada kesepakatan bayaran Rp85 juta. Abdul Syukur langsung menghubungi Akiong. Kepada Abdul, Akiong mengatakan akan ada orang yang akan membantu dirinya mengurus impor itu.
Pada 12 Mei 2012, Akiong mengutus Ahmadi untuk menemui Abdul Syukur. Kemudian, Ahmadi memberikan dokumen impor barang itu kepada Serma Supriadi. Dua hari setelahnya, Ahmadi menemui Abdul Syukur untuk memberikan uang sebesar Rp85 juta. Uang itu juga kemudian diantar ke kantor Primer Koperasi Kalta. Belakangan, uang itu rupanya digunakan untuk memalsukan dokumen. Bedasarkan Putusan Banding Pengadilan Militer Tinggi II yang diperoleh tirto.id, Serma Supriadi memalsukan dokumen itu untuk mencari keuntungan.
Dalam dokumen itu dijelaskan Serma Supriadi menambah bill of lading, invoice dan packing list berlogo Chuangxinzhan Trade-Go, serta menuliskan dirinya merupakan pembeli. Dari pemalsuan ini, Serma Suryadi mendapat keuntungan Rp5 juta sampai Rp10 juta. Dokumen palsu itu pun melenggang bebas buat melancarkan impor kontainer THGU 0683898 dari Cina. Serma Supriadi jugalah yang membuat surat delivery order atas nama Primkop Kalta tanpa memberitahu ketua koperasi milik BAIS saat itu. “Bahwa importir kontainer THGU 06383898 dan pemilik barang di dalamnya adalah Primkop Kalta,” tulis dokumen itu.
Belakangan, impor kontainer atas nama Primkop Kalta juga menjadi perhatian BNN. Tepat 15 Mei, pihak BNN dan Dirjen Bea Cukai melakukan rapat di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jalan Rawamangun, Jakarta Timur. Rapat membahas temuan narkoba di dalam kontainer THGU 06383898 yang diimpor dari Cina. Untuk memuluskan operasi, tim BNN dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diperintahkan bersikap wajar. Tujuannya, agar “Operasi Control Delivery” bisa mengetahui siapa pemesan narkoba dalam kontainer tersebut.
Benny Mamoto menjelaskan, berdasarkan operasi pemeriksaan yang dilakukan itu, awalnya memang sudah diketahui adanya narkoba dalam kontainer. Namun, demi memuluskan operasi, Benny meminta anak buahnya untuk bersikap wajar. Pemeriksaan itu juga dihadiri dua anggota Primer Koperasi Kalta, Dirjen Bea dan Cukai serta BNN. Operasi pun berjalan mulus hingga akhirnya kontainer berisi narkoba itu dibawa keluar.
Pada saat itu juga, BNN yang sudah memantau kontainer pun langsung bergerak. Diketahui, kontainer akan dikirim ke sebuah gudang penimbunan di Jalan Kayu Besar Dalam, Cengkareng, Jakarta Barat. “Mungkin bocor operasinya, begitu kontainer sampai di gudang tidak ada yang nongol,” ujar Benny.
Belakangan, kata Benny, baru diketahui jika pengimpor barang adalah Akiong dan Fredi Budiman. Sementara orang yang menyewa gudang adalah Joni Chandra, adik Fredi Budiman.
Belakangan karena pengungkapan itu juga, Soleman B Ponto marah besar. Dia mengaku tak diberitahu jika kontainer itu berisi narkotika. Dia pun langsung menelpon Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono. Menurut Ponto berdasarkan keterangan anak buahnya, pemeriksaan itu awalnya sama sekali tidak ditemukan narkoba. Dia pun kaget ketika ada narkoba dalam kontainer atas nama Primkop Kalta.
“Tiba-tiba ada narkoba masuk yang dipesan dari Koperasi BAIS TNI. Nah saya jadi heran dong,” ujar Soleman B Ponto.
Sayang, sebelum semua terjawab, Fredi Budiman sudah dieksekusi mati.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti