tirto.id - Pada 28 April 2012, kapal YM yang berlayar dari Lianyungan, Shenzhen, Cina, tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. BNN dan petugas pun melakukan penggeledahan dan menggelar “Operasi Control Delivery” terhadap temuan tersebut. Hasilnya, di dalam kontainer, ditemukan 1,4 juta butir pil ekstasi yang berada dalam 12 kardus bersama dengan barang-barang lain.
“Kita semua kaget waktu itu, kok alamatnya ke sini (Koperasi BAIS). Lainnya juga tanya. Kita harus ekstra hati-hati karena kita tidak tahu siapa yang bermain. Tidak tahu petanya. Karena itu kita melakukan operasi intelijen,” ujar Irjen Benny saat berbincang dengan tirto.id, pada Selasa (16/8/2016).
Setelah kabar itu tersiar di media massa, situasi pun memanas. Semua mata mendadak tertuju pada BAIS TNI yang dianggap “selingkuh” dengan para bandar narkotika buat menyelundupkan jutaan ekstasi. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai bermunculan. Benarkah TNI terlibat dalam penyelundupan barang haram tersebut? Inikah modus baru para bandar mengamankan barangnya?
Terlepas apakah ada atau tidak keterlibatan oknum TNI dalam penyelundupan tersebut, apa yang dilakukan oleh para bandar patut diwaspadai. Mereka yang selama ini selalu berupaya jauh-jauh dari aparat demi keamanan, mendadak nekat mengirimkan jutaan ekstasi lewat koperasi milik TNI.
“Semula kita memang curiga, tapi setelah mempelajari ternyata nggak nyambung. Sepertinya memang oknum ini,” ujar Benny.
Empat tahun berjalan, kasus pun berlalu. Salah seorang anggota TNI, Serma Supriadi yang mengurus koperasi, divonis bersalah dan dihukum 7 tahun penjara. Dia dihukum karena memalsukan dokumen pengiriman dan mengalamatkan kontainer berisi narkoba atas nama Primer Koperasi Kalta milik BAIS TNI. Kegaduhan pun segera reda, sampai akhirnya aktivis Kontras, Haris Azhar membuat testimoni pengakuan Fredi Budiman (Freddy Budiman), bandar besar sekaligus terpidana mati di balik penyeludupan 1,4 juta pil ekstasi.
Sebelum dieksekusi mati, Haris mengaku pernah menemui Fredi di Lapas Nusakambangan, Cilacap pada 2014. Dalam perbicangan tersebut, Fredi mengaku memberikan setoran kepada BNN sebesar Rp450 miliar dan Rp95 miliar kepada seorang “jenderal bintang dua”. Dia juga mengaku pernah dikawal ketika membawa narkoba dari Pulau Sumatera oleh seorang jenderal berpangkat bintang dua.
Pengakuan itupun kembali memunculkan pertanyaan yang belum tuntas terjawab empat tahun silam dan sekaligus memberikan benang merah atas dugaan-dugaan yang ada. Benarkah ada aparat yang terlibat dalam penyelundupan narkotika? Hal ini juga membuat Presiden Joko Widodo turun tangan. Dia meminta Kapolri jenderal (Pol) Tito Karnavian membentuk Tim Independen buat mengusut “Nyanyian Freddy”.
Dampak Status Haris
Status yang ditulis Haris Azhar di dinding akun Facebook memang menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi mencoba membongkar keterlibatan oknum aparat dalam kasus narkoba yang terkait dengan Freddy Budiman, di sisi lain menghancurkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, yaitu TNI, Kepolisian dan BNN.
“Kita senang kalau ini dijadikan sebagai momentum dan pintu masuk untuk membersih oknum-oknum aparat yang mungkin ada yang terlibat,” kata Benny.
Di sisi lain, Benny khawatir, hancurnya kepercayaan publik terhadap aparat merupakan agenda dari para bandar narkoba. Karena dengan hancurnya kepercayaan publik, bisa berdampak pula pada moril para aparat. Menurut Benny, kondisi itu tentu menjadi kabar baik untuk para bandar. Mereka tidak akan dipusingkan lagi dengan gerak aparat, sebab secara moril mereka sudah hancur dan akhirnya berdampak pada konsentrasi pemberantasan narkoba.
“Ini bandar-bandar senang. ‘Bagus papa senang kalau begini’, mungkin bandar akan berkata begitu. Termasuk dengan penundaan eksekusi mati, ini yang senang juga bandar,” kata Benny.
Kondisinya akan semakin rumit, ketika masyarakat memilih untuk percaya pada Haris. Bahkan jika nantinya pengakuan Fredi yang menyebutkan ada suap untuk aparat tidak terbukti, masyarakat tidak akan mau tahu. Karena sejak awal, mereka sudah memilih untuk percaya pada Haris. “Kalau ini tidak terbukti bagaimana? Orang tetap akan percaya Haris. Kalau terbukti itu bagus. Tapi kalau tidak, orang tidak mau tahu. Ini bahaya,” katanya.
Menunggu Kerja Tim Independen
Kondisi semakin runyam jika apa yang ditulis Haris dari pengakuan Fredi tak ditemukan dalam berkas pembelaan. Haris pun dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Haris dituduh melakukan fitnah terhadap institusi Polri dan BNN terkait adanya aliran dana dari Fredi Budiman ke dua institusi tersebut. Beruntung Presiden Jokowi segera mengambil keputusan dan membentuk tim independen.
Pasca tim dibentuk, Mabes Polri pun menghentikan proses laporan pencemaran nama baik tersebut. Namun dengan dibentuknya tim independen, tidak lantas masalah tuntas. Sebab masih ada masalah utama yang harus diselesaikan, yakni mengungkap kebenaran dari kesaksian Fredi kepada Haris. Sayangnya, informasi yang diberikan Fredi kepada Haris tidak detail. Kepada siapa uang itu diberikan, kapan uang itu diberikan, siapa saja jenderal yang terlibat menjadi beking Fredi tidak pernah diungkapkan kepada Haris.
Karena itu, tugas tim independen akan menjadi lebih berat. Pertama, tim independen harus berupaya membongkar aliran dana Fredi. Kedua, tim independen juga mempunyai tugas mengembalikan kepecayaan publik pada institusi penegak hukum. Jika gagal, bisa jadi kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum menjadi taruhan.
Jika keduanya gagal, maka jangan berharap Indonesia bisa bersih dari narkoba. Kalau pun pemerintah kembali memutuskan mengeksekusi para bandar narkoba, hal itu tidak akan banyak berdampak. Kemungkinan terburuknya sama seperti Fredi, tidak sempat membuat kesaksian secara langsung sebelum menjalani eksekusi mati.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti