tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi atau judicial review UU Minerba. Uji materi UU Minerba kali ini diajukan empat pemohon, yakni WALHI, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, seorang petani bernama Nurul Aini, dan seorang nelayan bernama Yaman.
Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis (29/9/2022), Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak tiga dari empat pokok permohonan judicial review UU Minerba. Permohonan yang ditolak yaitu menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat; potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba; dan jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B.
Majelis Hakim hanya mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang WIUP, WIUPK, dan WPR, dengan memberikan penafsiran “sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Ali Akbar, salah satu anggota Tim Advokasi Undang-Undang Minerba berpendapat putusan MK tersebut mengkhianati agenda reformasi.
“Karena salah satu hal penting dari agenda reformasi yaitu bagaimana mendekatkan jarak negara dengan rakyat. Sehingga muncul agenda-agenda yang disebut dengan otonomi,” ucap Ali dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022).
Ali menyoroti ditolaknya permohonan terkait penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat yang membuat menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan.
“Ketika dia ditarik semua ke pusat, artinya negara sedang bermain-main dengan nasib rakyat yang ada di tapak-tapak. Pemerintah pusat tidak akan mengetahui secara utuh bagaimana situasi yang terjadi, ada banyak izin-izin yang diberikan oleh pemerintah daerah dulu, yang tidak bisa dianulir karena alasan (izin) diambil (ditangani) pemerintah pusat,” sambung dia.
Putusan ini pun ia sebut ambigu dan lucu, antara pemerintah yang membicarakan transisi energi namun di sisi lain pemerintah memberikan ruang luas terhadap eksploitasi mineral dan batu bara di Indonesia. Pemerintah semestinya melindungi, bukan mengesampingkan keselamatan rakyat.
“Mungkin hakim tidak punya cukup gambaran atau hakim kurang jalan-jalan, sehingga dia hanya melihat dokumen dan bilang masyarakat tidak punya kewenangan bicara soal peninjauan terhadap kekuasaan perizinan,” kata Ali.
Anggota tim advokasi lainnya, Mareta Sari menyorot ihwal ruang partisipasi masyarakat yang menyempit lantaran seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak melibatkan masyarakat.
“Ketika putusan dibacakan, menunjukkan bahwa masyarakat tidak dianggap dalam pertimbangan atau pemutusan terhadap kawasan itu akan digunakan untuk pertambangan atau tidak,” terang Mareta.
Mareta mengaku kecewa dan sedih. Putusan MK terhadap UU Minerba ini, menurutnya, membuat masyarakat, khususnya di Kalimantan Timur mendapatkan berita buruk.
"Di Kalimantan Timur ada 5,2 juta hektare kawasan pertambangan yang dalam putusan pada hari ini lagi-lagi tidak ada penciutan dari luasan tersebut. Itu menyedihkan bagi kami,” ucap Mareta yang juga sebagai Dinamisator Jatam Kaltim.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto