tirto.id - Matahari belum lagi tiba di peraduan saat Goenawan Mohamad gamang menjawab rentetan pertanyaan dalam wawancara dari Radio Nederland pada Sabtu, 18 Juni 1994. TEMPO, majalah berita mingguan yang ikut dia dirikan pada 1971 dan dipimpinnya selama 23 tahun, tengah menghadapi ketidakpastian. Pilihan di depan mata hanya dua: vonis ditutup atau merombak kepemimpinan. Dua-duanya sama-sama berat.
Duduk perkaranya dapat ditarik lima belas hari sebelumnya. Kala itu, wartawan TEMPO Toriq Hadad tengah mewawancarai Deputi Analisis Industri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Suleman Wiriadidjaja di kantornya. Seisi kantor itu mendadak riuh oleh berita tenggelamnya KRI Teluk Lampung di Teluk Biscay, Spanyol!
Toriq, yang mula-mula mengajukan pertanyaan tentang cara pembelian 39 kapal perang bekas Jerman Timur, lantas membelokkan pertanyaan ke peristiwa tenggelamnya satu dari 39 kapal Jerman yang tengah dilautkan ke Indonesia itu.
“Ada beban kargo yang dicantelkan ke tubuh kapal. Ini melanggar prosedur keselamatan pelayaran. Bahaya. Kapal bisa terguling,” jawab Suleman.
Itu sebabnya, ketika ombak menampar lambung kapal, kargo oleng ke kiri. Kapal hilang keseimbangan. Bagian depannya hancur dan perlahan tenggelam. Beban cantelan itu sendiri adalah milik TNI Angkatan Laut.
Bersiut cepat meninggalkan kantor BPPT, Toriq melaporkan temuan itu kepada redaktur rubrik Ekonomi & Bisnis Isma Sawitri. Di saat bersamaan, Isma rupanya tengah mengedit berita ihwal perseteruan Menteri Riset dan Teknologi Baharuddin Jusuf Habibie dan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad.
Untuk membeli kapal perang bekas Jerman Timur itu, Habibie mengajukan harga US$1,1 miliar. Padahal, dua tahun sebelumnya, pengajuan anggaran masih US$12,74 juta. Reparasi dan pengiriman kapal, diklaim Habibie sebagai penyebab menggelembungnya anggaran. Mar’ie tidak menyetujui anggaran yang diajukan Habibie itu.
Pada 1992, Fraksi ABRI bertandang ke Jerman guna mengecek kapal yang dibeli pemerintah. Habibie mati-matian meyakinkan kapal-kapal itu masih bisa melaut. Namun, delegasi Fraksi ABRI kecewa lantaran mendapati kapal perang itu nyatanya besi tua belaka.
Lobi Habibie mentah seketika. Tenggelamnya KRI Teluk Lampung pun seakan mengonfirmasi afkirnya kapal itu. Karena itu alasan itu pula, Mar’ie menolak anggaran yang diajukan Habibie.
Rapat redaksi TEMPO memutuskan menurunkan berita kejanggalan kapal dan proses pembeliannya. Tak hanya berbekal informasi dari Toriq, redaksi pun segera mengumpulkan dokumen-dokumen penting dari sumber-sumber terpercaya. Reporter ekonomi & bisnisBambang Aji juga mengusahakan dokumen yang bisa memverifikasi laporan Toriq.
Dari verifikasi dokumen, konfirmasi berbagai pihak, dan prinsip cover both sides sudah dijalankan. Sabtu pagi, 11 Juni 1994, TEMPO menyambangi pembacanya dengan headline yang menohok “Habibie dan Kapal Itu”.
Dari Titah di Teluk Ratai
Enam laporan utama yang diturunkan TEMPO edisi 15 tahun XXIV itu sontak menjadi perbincangan di kalangan ekonom, politisi, dan pengamat. Tidak sampai setengah hari sejak beredar, angin panas mulai berembus. Petang hari, bersama wartawan dan reporter lain di kantor, Fikri Jufri menonton siaran ulang pidato Presiden Soeharto saat peresmian Pelabuhan Teluk Ratai, Lampung.
“Ada pers yang mengeruhkan situasi dan mengadu domba. Ini gangguan pada stabilitas politik dan nasional. Kalau tak bisa diperingatkan, akan kita ambil tindakan karena mengganggu pembangunan sebagai tumpuan kita,” demikian titah Soeharto.
Fikri sontak menepuk kepalanya sendiri seraya berujar, “Habislah kita.” Pers mana lagi yang dimaksud Soeharto kalau bukan TEMPO?
Persoalan “pers yang mengadu domba” itu juga dibahas dalam rapat menteri sehari sesudah Soeharto berpidato. Menteri Penerangan Harmoko melempar usul agar TEMPO diberedel saja. Usulan ini ditentang Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman. Meski begitu, desas-desus tentang gawatnya nasib TEMPO dengan cepat beredar.
Mingguan berita itu dinilai telah memperhadapkan secara vis-a-vis dua pembantu presiden. Lebih-lebih masa itu, Habibie dikenal sebagai “anak emas”-nya Soeharto. Goenawan Mohamad, dalam wawancaranya dengan Radio Nederland, menampik jika berita terkait perbedaan pendapat di antara dua menteri Soeharto itu dianggap sebagai adu domba.
“Orang rupanya tidak bisa memahami apa artinya yang disebut cover both sides,” keluh Goenawan. “Kalau itu dianggap sangat gawat—saya tidak tahu apa lagi yang [disebut] gawat.”
KRI Teluk Lampungmemang bisa diselamatkan oleh SAR Spanyol sebelum tenggelam ke dasar laut, tetapi tidak dengan kapal TEMPO. Senin, 20 Juni 1994, Soeharto memanggil Harmoko ke rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Esoknya, Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 123 tertanggal 21 Juni 1994 diteken Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Subrata. Isinya menyebut tentang pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tiga media, yaitu TEMPO, DeTik, dan Editor.
SK Menteri Penerangan juga menyebut alasan pencabutan SIUPP itu: “....demi kepentingan terbinanya stabilitas nasional di negara Republik Indonesia.”
Menggeruduk Harmoko
Berita pembredelan dua majalah berita dan satu tabloid itu dengan cepat menggemparkan publik dan memicu gelombang protes. Mahasiswa, seniman, dan terutama wartawan terang menyatakan protes. Pada 22 Juni 1994, gedung Departemen Penerangan (Deppen) di Medan Merdeka Barat digeruduk demonstran.
Menurut Alumni Majalah TEMPO dalam Buku Putih TEMPO: Pembredelan Itu (1994, hlm. 17), gelombang massa pertama berjumlah sekitar 50 orang. Massa itu terdiri dari aktivis LSM, mahasiswa, seniman, dan wartawan. Mereka melakukan long march dari dari kantor DeTik di Jalan Gondangdia Lama sambil membentangkan spanduk dengan nada sengit seperti “Harmoko Turun!” dan menyanyikan lagu-lagu penyemangat.
Kedatangan gelombang massa pertama itu langsung disambut satuan polisi antihuru-hara yang bersiaga di gerbang Deppen. Massa yang datang segera dihalau agar berdiri di halaman rumput pemisah ruas jalan Medan Merdeka Barat. Situasi pun memamanas hingga terjadi aksi tarik-menarik spanduk dan poster di antara demonstran dan polisi.
Massa demonstran kalah dan kecewa. Poster dan spanduk direnggut tanpa ampun. Namun, kemudian datanglah gelombang demonstran kedua.
Gelombang massa kedua ini diramaikan oleh sejumlah tokoh, seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, dan H.J. Cornelis Princen. Mereka lantas memajukan permintaan audiensi langsung dengan Menteri Penerangan. Sebagai perwakilan, Buyung bersama sejumlah aktivis diminta ke ruang tunggu.
Sayangnya, tak ada pertemuan apa pun setelah Buyung dan kawan-kawan menanti hingga sejam. Buyung pun kembali kepada massa dan berseru, “Kita sekarang kembali saja, dan besok kita akan datang lagi dengan jumlah yang lebih besar!”
Keesokan paginya, pelataran Monumen Nasional benar-benar disesaki sejumlah besar demonstran berkaus hitam tanda berkabung. Kali ini, wartawan TEMPO dan DeTik pun ikut bergabung. Aksi pagi itu diramaikan dengan nyanyian, puisi, hingga guyonan sinis yang menyindir kebijakan pemberedelan pers.
Hari itu, Dirjen Subrata berkenan menerima delegasi demonstran yang diwakili Adnan Buyung Nasution, H.J.C. Princen, Sri Bintang Pamungkas, tiga perwakilan TEMPO, dan dua perwakilan DeTik. Lagi-lagi, demonstran dibikin kecewa karena Subrata hanya sekadar menampung aspirasi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Malam harinya, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), digelar “tahlilan” yang antara lain dihadiri Eros Djarot, Christine Hakim, serta Daniel Dhakidae. Ketika tamu-tamu sedang asyik makan malam, seregu polisi tiba-tiba datang dan memerintahkan tahlilan dibubarkan.
Sempat terjadi debat sengit, tuan rumah dan tamu memilih mengalah pada kehendak polisi. Tak hanya itu, tanpa meminta izin lebih dulu, polisi juga menyapu bersih poster-poster protes yang terpampang di kantor YLBHI.
Senin Berdarah yang Terlupa
Demonstrasi yang terus-menerus digelar di kantor Deppen ternyata cukup membuat gatal aparat. Puncaknya, polisi bertindak brutal membubarkan demonstrasi dengan menggunakan tongkat rotan.
Setidaknya lima demonstran mengalami luka-luka gara-gara represi aparat itu. Seorang di antaranya bahkan mengalami gegar otak, tanda penyiksaan terhadap demonstran berlangsung fatal. Peristiwa itu pun jadi berita besar. Sampai-sampai siaran BBC dari London menyebutnya “Jakarta Berdarah”.
Tak hanya di Jakarta, demonstrasi menolak pemberedelan juga terjadi di Yogyakarta. Sekira 1.000 mahasiswa dikabarkan menggelar aksinya di boulevard Universitas Gadjah Mada. Para demonstran menamai aksinya “Gerakan Masyarakat Purna Orde Baru”.
Tidak hanya mahasiswa, sejumlah pengajar dan cendekiawan juga turut hadir dalam unjuk rasa tersebut. Di antara mereka itu ada pula sastrawan Ashadi Siregar dan Umar Kayam.
“Kalian anak-anak yang hadir di sini, seharusnya kalian menyiapkan pentungan dan tameng untuk melawan petugas yang mengawasi kalian!” seru Umar Kayam di tengah demonstrasi.
Setali tiga uang, aparat menindak unjuk rasa di Kota Sultan ini dengan cara kekerasan. Bersamaan dengan perintah “bubar” yang dikumandangkan Letkol Diwan Avriadi dari Kepolisian Wilayah Yogyakarta dan Komandan Kodim Yogyakarta Letkol Unal Asri, aparat mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Polisi bahkan merangsek sampai ke ruang salat Jamaah Salahuddin.
Tindakan aparat yang tergolong sewenang-wenang itu lantas mengundang kecaman. Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, misalnya, mengeluarkan pernyataan mengutuk tindakan represif itu.
“[....] kekerasan yang tidak perlu dari aparat keamanan [....] merupakan cermin kebrutalan penyalahgunaan kekuasaan yang patut dikutuk dan kami menuntut segera diambil tindakan hukum terhadap para pelaku dan penanggung jawab tindakan kekerasan aparat keamanan yang telah menimbulkan korban dan menyakitkan hati rakyat,” kecam Gus Dur dalam maklumat protesnya.
Peristiwa Senin berdarah itu, yang antara lain menunjukkan besarnya simpati mahasiswa akan nasib TEMPO, turut memengaruhi pribadi Pemimpin Redaksi TEMPO Goenawan Mohamad. Kepada Janet Steele dalam buku Wars Within (2007, hlm 224), Goenawan mengaku terpukul menyaksikan jatuhnya korban dalam demonstrasi itu.
“Ketika mahasiswa-mahasiswa itu dihajar, saat itu saya tahu jalan mana yang harus saya ambil,” kata Goenawan.
Transformasi diri Goenawan ini dikonfirmasi Arief Budiman, sahabat Goenawan, yang juga diwawancarai Steele. “Secara dramatis, diaa berubah. Dia menjadi amat sinis terhadap pemerintah. Sebelumnya dia lebih kompromis. Setelah itu, dia melawan pemerintah, dengan risiko apapun,” tegas Arief.
Karena Fikri?
Ketidakjelasan alasan pemberedelan TEMPO menimbulkan gosip bahwa pemberedelan itu terkait dengan kedekatan antara Fikri Jufri, orang kedua di TEMPO setelah Goenawan Mohamad, dan Jenderal Leonardus Benjamin “Benny” Moerdani. Masa itu, Benny yang beragama Katolik dipandang sinis sebagai “jenderal anti-Islam”. Dia juga dianggap bikin repot Soeharto yang kala itu tengah berupaya mendekati kelompok-kelompok Islam—antara lain dengan mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Pada awal 1990-an, Benny mulai tersingkir dari lingkaran penyokong utama Soeharto. Dia mula-mula digeser dari posisinya sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Kemudian, Sidang Umum MPR 1993 mencopotnya dari posisi menteri koordinator itu.
Rezim juga mencurigai siapa pun yang dekat dengan Benny, termasuk Fikri. Menurut mantan Redaktur Pelaksana TEMPO Agus Basri, kedekatan Fikri dan Benny terlihat dari bias pemberitaan TEMPO yang memutihkan kedudukan Benny.
“Anda bisa lihat ketika Pak Benny mantu, jadi laporan utama. Ketika Benny memuat buku juga jadi laporan utama. Kelihatan sekali Pak Fikri itu orangnya Benny. Padahal Benny dalam posisi disingkirkan,” ujar Agus sebagaimana dikutip Steele (hlm. 220).
Tapi, gosip dan spekulasi itu dimentahkan langsung oleh Fikri. “Kebohongan besar.... Benny tidak pernah datang ke kantor kami. Dia bahkan tidak tahu di mana kantor kami!” tandasnya.
Menurutnya, pemberedelan TEMPO adalah langkah yang dipersiapkan “tim pendukung” Habibie yang mulai digadang-gadang menjadi pengganti Soeharto.
“TEMPO dibredel karena sebuah skenario,” ujar Fikri. “Habibie datang ke Soeharto, dan sudah ada rencana membunuh TEMPO, karena TEMPO dianggap musuh.”
Belakangan, ketika diwawancarai kembali untuk pembuatan buku “kecap dapur” 40 tahun TEMPO, Fikri menanggapi gosip itu dengan lebih enteng. “Wartawan itu harus dekat dengan siapa saja,” tuturnya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi