tirto.id - Pada 21 Juni 1994, Subrata yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pers dan Grafika Departemen Penerangan, meneken surat pemberedelan Tempo. Ini dilakukan lantaran enam laporan Tempo tentang pembelian 39 kapal perang bekas armada Jerman Timur. Pada hari yang sama, Majalah Editor dan Tabloid DeTik turut diberedel tanpa alasan yang jelas. Namun yang pasti, keduanya kerap mengkritik pemerintah yang membuat Soeharto dongkol.
Di Jakarta, 357 wartawan menandatangani petisi yang mengecam pemberedelan dan menuntut agar pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) itu dibatalkan.
Aksi mereka digelar di depan kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka kecewa pada pimpinan PWI yang melegitimasi pemberangusan serta dinilai tak memihak wartawan dan media. Saat pemerintah membungkam tiga media, PWI hanya menyatakan ‘memahami pemberedelan’. Peristiwa ini jadi momentum bagi banyak wartawan untuk membangkitkan semangat kebebasan pers di Indonesia. Inilah yang luput diprediksi Soeharto dan aparatusnya.
Jika alasan yang dipakai untuk melenyapkan Tempo adalah keamanan nasional, maka alasan yang digunakan untuk membungkam Editor adalah soal birokrasi. Ketika diberedel, Editor sedang mengalami ketidakstabilan kepemimpinan. Departemen Penerangan tidak mengizinkan Editor dipimpin oleh orang yang tak terdaftar di SIUPP. Sedangkan DeTik yang didirikan Eros Djarot, menurut pemerintah sudah menyimpang dari tujuan pendirian awalnya sebagai tabloid tentang detektif dan kriminal.
Goenawan Mohamad yang saat itu Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, mengidentifikasi perbedaan besar reaksi publik atas pemberedelan tiga media dibanding dengan tahun sebelumnya.
“Banyak terjadi demonstrasi pasca beredel. Itu belum pernah terjadi, pemberedelan media memicu demonstrasi di mana-mana, di banyak kampus,” ujarnya dalam buku Semangat Sirnagalih: Sejarah Aliansi Jurnalis Independen (2014).
Baginya, mereka bukan hanya membela Tempo, tapi muak lantaran tidak punya ruang bicara. Goenawan menilai solidaritas atas pemberedelan terbanyak datang dari LSM dan mahasiswa. Langkah pemerintah membunuh media yang selama ini dinilai kritis tak hanya memicu kemarahan publik, tapi juga mengkristalkan aspirasi para wartawan muda yang selama ini tak puas dengan sebutan pers Pancasila.
Keresahan Jurnalis
Zaman itu, Ati Nurbaiti selalu tak tenang saat mengerjakan sebuah artikel atau peliputan, takut tiba-tiba pemerintah mencabut SIUPP tempatnya bekerja, The Jakarta Post. Setiap rapat redaksi selalu ada baku tanya tentang apa yang boleh dan dilarang untuk diliput; mengapa artikel itu tidak nangkring di halaman satu; atau penggunaan bahasa ‘halus’ dan tak terus terang.
“We have to survive beyond Soeharto,” ujar Ati menirukan atasannya, Rabu (29/7/2020).
‘Negosiasi’ itu biasa dilakukan bos-bos sejak tahun 1970-an agar tak diberedel pemerintah. Jurnalis yang tak sejalan dengan cara kerja seperti itu biasanya mengundurkan diri. Wartawan bergejolak, tapi tak semuanya berani menyuarakan keresahannya. Dan solidaritas antarmedia masih lemah sebelum tahun 1994.
Namun kali ini jurnalis tak hanya resah, tetapi juga marah. Masyarakat sebagai pembaca media-media yang diberedel juga ikut bereaksi.
“Jika ada sedikit orang yang berani, maka wajiblah maju. Karena orang lain kondisinya tak memungkinkan, bukan tak mau,” terangnya.
Demonstrasi paling brutal terjadi pada 27 Juni 1994. Polisi membubarkan massa yang ikut aksi damai di depan Departemen Penerangan. “Banyak demonstran yang luka parah--pelukis Semsar Siahaan kakinya patah dalam kejadian itu. 32 orang ditahan, seorang di antaranya ialah penyair dan dramawan W.S. Rendra,” tulis Janet Steele dalam Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru (2005).
Meski demikian, aksi lanjutan terus berjalan. Forum Wartawan Indonesia (FOWI) asal Bandung menggalang kekuatan. Mereka dimotori Ahmad Taufik, Happy Sulistiadi, Rini Srihartini (ketiganya dari Tempo), serta Ging Ginanjar dan Lea Pamungkas (DeTIK).
“Dan alasan pemberedelan hanya pemantik. Rezim Soeharto sudah lama gerah,” ujar Lea, Selasa (4/8/2020).
Dalam waktu singkat FOWI segera mengadakan diskusi keliling ke pelbagai kampus dan menyebarkan Buletin FOWI: Independen yang kelak menjadi Suara Independen.
Edisi pertama buletin itu hanya selembar A4 bolak balik yang berisi berita pemberedelan. Kertas itu difotokopi lalu disebarkan dari kampus ke kampus. Kegiatan mereka meluas, diskusi dengan organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat digalakkan. Kegiatan itu disokong oleh partisipati para jurnalis Kompas, The Jakarta Post, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan. Selain itu, ditambah para jurnalis media lokal Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Majalah Mangle, dan Radio Mara. Pers mahasiswa dari ITB, Unpad, Unisba, STSI, Unpar, dan Uninus, juga ambil peran.
Simpati juga meruah dari kalangan seniman. Mereka tak jarang membuat seni pertunjukan dalam sejumlah acara musik, monolog, serta aksi-aksi spontan lainnya. Cara ini mengundang perhatian publik yang lebih luas. Organisasi mahasiswa, jaringan gereja dan pesantren juga mampu menyelundupkan Suara Independen ke hampir seluruh Indonesia. Sementara para aktivis pers dan kemanusiaan membawanya ke Belanda, Australia, Jerman, Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat.
Pada setiap acara yang menghimpun massa, buletin itu diperkenalkan dan dijual, di samping menghimpun sumbangan sukarela untuk mencetak nomor berikutnya secara klandestin. Untuk meminimalkan risiko, hampir setiap edisi dicetak oleh percetakan yang berbeda.
“Jalan Morse 12, Bandung, yang awalnya direncanakan sebagai Kantor Biro Tabloid DeTIK, menjadi kantor redaksi Suara Independen, selain tempat distribusi dan diskusi,” jelas Lea.
Tanda Tangan Perlawanan
Menyikapi pemberedelan dan merespons sikap PWI, rencana dimatangkan dalam sejumlah pertemuan wartawan di Jakarta yang juga dikomunikasikan dengan jajaran FOWI, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC), dan organisasi ad hoc bernama Solidaritas atau Serikat Jurnalis Independen (SJI) Jakarta. Kemudian lahir kesepakatan untuk menggelar ‘Silaturahmi Wartawan Independen’, 6-7 Agustus 1994, di sebuah wisma milik Tempo yang berada di Desa Sirnagalih, Bogor.
Peserta dari luar Jakarta diberitahu bahwa pertemuan akan diadakan di Bandung. Informasi itu untuk mengecoh aparat keamanan yang kemungkinan menguntit acara. Selain itu, Bandung juga dijadikan titik pemberangkatan menuju Bogor bagi jurnalis dari luar Jakarta.
Sebagian besar tiba dengan mobil di wisma pada tanggal 6 Agustus sore. Artinya, tak semua peserta mengikuti acara secara penuh selama dua hari. Pertemuan itu memutuskan untuk membentuk organisasi profesi, dan nama deklarasi disesuaikan dengan nama lokasi acara.
“Ini adalah orang-orang yang mau mencari kebenaran yang lebih tinggi daripada sekadar kebenaran secara formal legal,” kata Andreas Harsono, Minggu (2/8/2020). Lebih dari 130 orang hadir di sana dan dia yang memegang absensi acara.
Karena bukan organisasi tunggal seperti PWI--meski hanya ada perwakilan dari empat kota--dan isu Timor Timur ingin merdeka tengah bergulir, maka dipilihlah kata "aliansi". Menurut Andreas, peserta yang hadir di Sirnagalih tak hanya reporter, tapi juga para editor, kolumnis, fotografer, dan juru kamera, maka selanjutnya disepakati kata "jurnalis". Dan mereka dipersatukan oleh kemandirian serta kemerdekaan pers, hingga akhirnya diputuskan kata "independen". Isi deklarasi sudah disepakati sejak subuh, Andreas yang mengetik kesepakatan dan nama-nama yang akan teken.
Peserta yang hendak membubuhkan tanda tangan dipersilakan menggoreskannya pada naskah deklarasi yang diletakkan di atas meja di lapangan terbuka. Maka hari itu, 7 Agustus 1994, tepat hari ini 26 tahun lalu, Aliansi Jurnalis Independen lahir yang ditandatangani oleh 58 orang.
Isi deklarasi ada beberapa poin, salah satunya menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor, dan pemberedelan pers yang mengingkari kebebasan berpendapat dan hak warga negara memperoleh informasi.
Peserta yang tak membubuhkan tanda tangan seperti Ging Ginanjar, Lea Pamungkas, Marcelino Magno, Indah Nuritasari, dan lainnya memiliki alasan masing-masing.
“Walaupun dengan agak kesal, akhirnya saya dan Ging Ginanjar sepakat tidak menandatangani demi keberlangsungan Suara Independen dan perlawanan kami,” tutur Lea.
Kendati dirahasiakan dan berhati-hati, tetap saja ada beberapa wartawan yang ditegur atasannya sepulang dari Sirnagalih. Lea menyebutkan bahwa Hariyawan Esthu dari Bandung Pos diperingatkan keras oleh pemimpin redaksinya untuk tidak ikut-ikutan.
”Sementara saya diminta mengundurkan diri. Saya ingat betul saat itu, koordinator reportase Tabloid Citra, khusus datang ke Bandung dengan rasa bersalah menyampaikan keputusan ini,” imbuhnya.
Menurut Janet Steele, pemerintah bereaksi keras terhadap AJI. Maret 1995, Sekretaris PWI Parni Hadi mengumumkan bahwa penandatanganan Deklarasi Sirnagalih adalah pengkhianat PWI. 18 penandatangan yang sebagian dari Tempo dikeluarkan dari PWI. Lebih parah lagi, PWI menegaskan semua anggota AJI tidak diperbolehkan bekerja di media apapun.
Editor: Irfan Teguh Pribadi