tirto.id - KRI Teluk Jakarta tenggelam di perairan arah timur laut Pulau Kangean, Jawa Timur, pada Selasa (14/7/2020) sekitar pukul 09.00 WIB. Seperti kapal Pelni Tampomas II yang terbakar dan tenggelam hampir empat dekade lalu, kapal perang milik TNI Angkatan Laut ini juga merupakan kapal bekas. Tampomas II dibeli dari Jepang, sementara KRI Teluk Jakarta dibeli Jerman peninggalan bekas negara komunis Jerman Timur pada 1994.
Berdasarkan Inpres 3/1992 tanggal 3 September 1992, Presiden Soeharto memutuskan pembelian 39 kapal perang yang terdiri atas 16 korvet, 14 LST (landing ship tank) dan 9 penyapu ranjau. Harga seluruh kapal itu sebesar 482 juta dolar AS.
Pembelian KRI Teluk Jakarta beserta 38 kapal lainnya sempat menghebohkan, pasalnya Tempo (04/06/1994) menyebut harga kapal-kapal tersebut membengkak menjadi 62 kali lipat. Laporan Tempo terbit setelah 9 kapal telah tiba di Indonesia. Sebuah kapal yang kemudian diberi nama KRI Teluk Banten bahkan sudah pernah dinaiki Tien Soeharto.
Hal itu, seperti dilaporkan Merdeka (10/06/1994) yang kemudian dimuat dalam buku Presiden ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XVI 1994 (2008) membuat Soeharto berkomentar, ”Orang-orang yang setengah mengerti ini dan kemudian mengeluarkan pendapat telah memperkeruh situasi, mengadu domba dan mengakibatkan suasana saling mencurigai, sehingga mengganggu stabilitas.”
“Mereka tidak mungkin kita biarkan. Kalau tidak bisa diperingatkan, maka akan kita tindak,” ancam Soeharto.
Maka pada 21 Juni 1994, Tempo yang berani memberitakan mark up pembelian kapal itu dibredel. Kasus itu juga menyeret Menteri Riset Teknologi Baharuddin Jusuf Habibie. Menurut A. Makmur Makka dalam The True life of Habibie (2008), Habibie adalah koordinator tim pembelian. Namun ia membantah menaikkan harga pembelian yang dianggap tidak proporsional. Menurut Habibie, penambahan biaya terjadi karena kapal-kapal bekas itu dimodifikasi agar bisa menyesuaikan dengan iklim Indonesia.
Langkah Soeharto membeli 39 kapal perang bekas Jerman Timur pada 1994 itu mirip Sukarno yang membeli kapal-kapal canggih pada awal 1960-an. Orde Baru kemudian mulai membangun Pangkalan Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung Selatan. Dan di sekitar pangkalan tersebut terdapat markas brigade infanteri marinir ke-4 dan dua batalion infanteri marinir.
Dibeli Hanya Menunda Kehancuran
KRI Teluk Jakarta dengan nomor lambung 541 termasuk jenis kapal pendarat LST yang biasa dipakai untuk mendaratkan kendaraan dan personel marinir dalam operasi amfibi. Sebelum menjadi bagian dari armada TNI AL, seperti dicatat A. D. Baker dalam The Naval Institute Guide to Combat Fleets of the World (2002:320), kapal ini bernama Eisenhuttenstadt dengan nomor lambung 615. Kapal berjenis Frosch-I/Type 108 ini dibangun oleh VEB Peenewerft, Wolgast, Jerman Timur, pada tahun 1979 untuk Volksmarine (Angkatan Laut Rakyat Jerman Timur).
Setelah Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu kembali pada 1990, seperti dicatat Hartmut Ehlers dalam artikelnya "The Naval Facilities at Peenemunde After the German Unification"—yang dimuat dalam jurnal Warship International nomor 3 (1991:227)—kapal Eisenhuttenstadt 615 termasuk kapal kategori C yang tidak akan menjadi bagian dari armada laut Jerman. Sebelum dibeli Indonesia, kapal itu hanya menunggu waktu untuk dihancurkan.
Meski demikian, TNI AL yakin bahwa kapal-kapal bekas Jerman Timur yang dibeli Indonesia akan tetap bisa diandalkan. ”TNI AL yakin sesudah diperbaiki menyeluruh, di Indonesia kapal-kapal-kapal eks Jerman Timur akan mempunyai kekuatan yang tangguh,” tulis A. Makmur Makka dalam The True Life of Habibie (2008).
Salah satu tugas KRI Teluk Jakarta adalah berpatroli dan menindak kapal asing yang masuk mencuri kekayaan laut Indonesia.
Saat Indonesia hendak mengakhiri keberadaannya di Timor Timur, seperti dicatat dalam Timor Timur Satu Menit Terakhir (2008) KRI Teluk Jakarta bersama KRI Cirebon dan KRI Parigi membawa pulang 20 truk dari wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.
Usia KRI Teluk Jakarta tergolong tua. Sejak dibuat Jerman Timur pada 1979, kapal ini telah beroperasi lebih dari empat dekade. Kapal sejenis dengan KRI Teluk Jakarta yang sama-sama bekas Jerman Timur seperti KRI Teluk Peleng (535) dan KRI Teluk Berau (534) pun sudah tidak lagi beroperasi.
KRI Teluk Berau yang dalam armada Volksmarine Jerman Timur bernama Eberswalde Finow dengan nomor lambung 634, sudah pensiun sejak 2012 dan jadi sasaran tembak dalam latihan gabungan TNI AL 2013. Sementara KRI Teluk Peleng yang awalnya bernama Lubben dengan nomor lambung 631, karam saat bersandar di dermaga Pondok Dayung, Jakarta.
Kini, kapal TNI AL bekas Jerman Timur barangkali hanya menanti masa pensiun. Jika terus dipaksakan beroperasi tidak mustahil nasibnya akan seperti KRI Teluk Jakarta yang tenggelam setelah mengalami kebocoran dan dihantam gelombang tinggi.
Editor: Irfan Teguh