Menuju konten utama

Menyemai Solidaritas di Kota Kembang

Festival Kampung Kota diselenggarakan guna menjadi titik kumpul para aktivis agraria, sastrawan, peneliti, musisi, dan perupa.

Menyemai Solidaritas di Kota Kembang
Solidaritas kaum urban Kota Bandung lewat Festival Kampung Kota terinspirasi dari problem serupa di Kulon Progo, Yogyakarta. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Sabtu malam, 9 Desember 2017, Muhammad Rushdi berdiri santai dengan mengenakan celana panjang, kaus hitam, plus jaket jeans. Laki-laki berambut kribo ini tengah menyaksikan rangkaian acara yang disuguhkan Festival Kampung Kota di halaman Balai Warga Kampung Dago Elos, Bandung. Acara ini digelar lesehan di bawah dua lampu sorot.

Di tepi selatan halaman, terbentang spanduk bergambar perempuan mengenakan topi petani yang mengangkat tangan kiri seraya menantang ekskavator. Dalam spanduk berwarna latar biru itu tertulis “Mengkaji, Istoghosah Menolak Penggusuran”. Di tepi utara, stensil hitam bertuliskan “Usir Setan Tanah” menyemat di satu tembok bercat oranye.

Itu spanduk dan stensil bukan hiasan semata. Lembaga Bantuan Hukum Bandung menyebut ada 341 kepala keluarga di kampung Dago Elos terancam digusur.

Tak Sekadar Festival

Pada malam itu Rushdi tidak sendiri. Ada sekitar 21 orang lain. Sekitar pukul sepuluh malam, musisi Ananda Badudu memainkan lagu “Beranda”. Iramanya menyesap ke telinga. Ini hari ke-6 penyelenggaraan Festival Kampung Kota sejak 26 November 2017. Per 9 Desember 2017, sebanyak 13 film, 8 diskusi lintas tema, penampilan 13 seniman, baik musik maupun perupa, telah mengisi kegiatan yang digelar saban Jumat, Sabtu, atau Minggu tersebut.

“Saya sudah empat kali ke sini. Pertama kali datang waktu saya diberi amanat jadi moderator diskusi. Yang selanjutnya karena ada pentas musik, salah satu yang tampil ada musisi yang saya suka,” ujar Rushdi, saat ini menempuh studi di Institut Teknologi Bandung itu.

Menurut musisi folk yang sekaligus menjadi penggagas kegiatan, Sutarjo, Festival dibuat, salah satunya, guna mendampingi warga Dago Elos secara moral. Menurutnya, pendampingan hukum—dalam kasus Dago Elos oleh LBH Bandung—saja tak cukup. Anak-anak muda Bandung perlu meramaikan suasana tempat tinggal warga Dago Elos agar tak merasa sendiri dalam menghadapi sengketa lahan.

“Bayangkan, ada berita muncul di sosial media: hari ini Dago dibongkar. Kira-kira 40 persen warga Bandung mengecam, betapa ngerinya, takut enggak sih penguasa? Semangat itulah yang tidak terbeli. Hari ini, kalau ada berita kayak gitu, sedikit orang yang merespons,” kata Sutarjo, dikenal dengan nama panggung Senartogok, kepada Tirto.

Joko Setiadi, warga Dago Elos yang kini ketua Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan, berpendapat bahwa festival ini bernilai positif.

"Pertama, ini membangun semangat, membakar semangat warga, termasuk untuk Pokmas. Menurut aku, kalau enggak ada acara seperti ini, sepertinya masyarakat Bandung mati suri. Kalau ada ini, kan, masyarakat jadi hidup,” ujar Joko.

Okoy, panggilan akrab Joko, berkata bahwa Festival membuat para pemuda di Dago Elos lebih kompak. Saat ini warga Dago Elos sedang bersiap mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Bandung—rencananya pada Januari 2017.

“Harapan aku sih berhasil banding di pengadilan. Terus kegiatan Pokmas jadi aktif setiap minggu dengan ada kegiatan festival ini.” ujar Joko.

Infografik HL Bandung Lautan Asrama

Ilham dari Kulon Progo, Yogyakarta

Sepekan sebelumnya, 2 Desember 2017, sebelum diskusi bertema “Membangun Media Alternatif”, Herry Sutresna alias Ucok ‘Homicide’, dengan mikrofon di tangannya, menyampaikan orasi singkat.

Intinya, ia mengajak hadirin untuk bersolidaritas kepada warga Kulon Progo yang saat ini memperjuangkan hak-haknya atas ruang hidup yang diklaim penguasa dan pengusaha untuk dibangun bandara baru Yogyakarta serta tambang pasir besi.

Kulon Progo, meski berjarak 300-an kilomter dari Bandung, memiliki makna tersendiri, baik bagi Ucok maupun penggiat Festival. Ditemui selepas diskusi, Ucok berkata bahwa ilham penyelenggaraan Festival datang dari wilayah Kulon Progo.

Pada April 2017, Ucok dan Sutarjo pergi ke Kulon Progo. Keduanya diundang mengisi acara peringatan 11 tahun lahirnya Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo.

Peringatan ulang tahun ini membekas dalam benak Ucok. Menurutnya, acara sederhana itu telah berhasil menjadi titik temu, bukan hanya aktivis agraria tetapi juga para seniman. Selepasnya, Ucok berpikir untuk menyelenggarakan acara serupa di Kota Bandung guna "memperbaiki jejaring yang selama ini parsial, sektarian, dan terlalu eksklusif."

“Untuk melakukan perlawanan, perlu diruntuhkan sekat-sekat antara seniman dan warga. Tugas seniman adalah meruntuhkan kesenimanannya, tugas musisi adalah meruntuhkan kemusisiannya,” ujar Ucok kepada Tirto.

Hal senada diungkapkan Sutarjo. Baginya, Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, yang bermur 11 tahun, menjadi pertanda para warga di sana kuat dan solid.

“Akhirnya rembukan untuk bikin acara serupa di Bandung, cita-citanya ingin menggiatkan ruang publik, menjadi pertemuan antarpersonal, dan mendorong orang untuk melihat bahwa ada yang sedang memiliki masalah di Kota Bandung,” ujar Sutarjo.

Salah satu masalah utama warga Kota Bandung adalah penggusuran. Selain Dago Elos, pemukiman warga di Jalan Stasiun Barat digusur PT Kereta Api Indonesia. Pada 2015, sebuah kampung yang dikenal sebagai nama Kampung Kolase digusur oleh Pemkot Bandung. Lahan yang mereka tempati kini menjadi Taman Teras Cikapundung.

Termutakhir, warga RW 11 Tamansari terancam digusur. Tanah yang mereka tempati akan dibangun Rumah Deret. Dari 90 rumah, hanya 25 rumah yang sudah setuju dan sepakat akan pindah.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (Seknas KPA), sengketa agraria di Indonesia mencapai 450 konflik sepanjang 2016. Mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).

“Awalnya Festival Kampung Kota ingin dilaksanakan di Kebon Jeruk atau Tamansari. Digelar di Dago Elos karena lebih urgen,” ujar Ucok. “Kami sering mendampingi kawan-kawan di penggusuran. Kalahnya itu karena reaksioner. Ketika digusur, baru bantuin. Padahal harusnya bisa tidak seperti itu, harus bisa bersama denyut keseharian para warga.”

==========

Artikel ini direspons oleh Pemkot Bandung dengan hak jawab, dianggap “tidak berimbang” karena tidak ada porsi pernyataan dari Pemkot Bandung. Hak jawab secara lengkap bisa baca DI SINI.

Baca juga artikel terkait KONFLIK LAHAN DI KOTA BANDUNG atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Fahri Salam